Alegra dan Tregon tengah duduk di sebuah ruangan, dimana kepala desa Isle Village kini duduk berhadapan dengan mereka. Tak ada orang yang memulai pembicaraan pada awalnya, hingga untuk beberapa saat suasana canggung melingkupi ruangan tersebut.
Tregon yang memang belum menyetujui sepenuhnya rencana gila sang adik, tampak enggan untuk memulai pembicaraan. Begitu pun dengan Alegra yang tiba-tiba merasa takut untuk mengutarakan tujuan mereka datang ke desa itu pada sang kepala desa. Padahal pada awalnya, Alegra sangat yakin dengan keputusannya. Tapi sekarang ... entahlah, tiba-tiba rasa takut menghinggapi hati dan pikirannya.
“Sebenarnya kalian ini siapa?”
Akhirnya sang kepala desa lah yang memulai pembicaraan. Alegra dan Tregon saling berpandangan sejenak, hingga orang yang membuka mulutnya untuk menyahut adalah Tregon.
Tregon tak merasa heran pertanyaan ini meluncur dari mulut kepala desa, walau bagaimana pun desa ini bukan bagian dari wilayah kerajan Vincentius. Laut luas yang memisahkan kedua wilayah ini menjadi alasan yang masuk akal warga desa ini termasuk sang kepala desa tidak mengenal mereka.
“Kami dari keluarga kerajaan Vincentius. Namaku Tregon Vincentius, Putra Mahkota Kerajaan Vincentius. Sedangkan dia ... Putri Alegra Vincentius, adik kandungku,” jawab Tregon, mengatakan yang sejujurnya.
Kepala desa sempat tersentak kaget mendengar identitas kedua tamunya, namun tak bertahan lama karena kini dia menatap tajam pada Tregon dan Alegra, menunjukan secara terang-terangan ketidaksukaannya atas kedatangan mereka ke desa yang dipimpinnya.
“Oh, kalian dari Klan Vincentius rupanya. Aku sudah mendengar berita tentang pemberontakan yang terjadi di kerajaan kalian. Aku dengar kalian dituduh sebagai pengkhianat dan dinyatakan sebagai buronan kerajaan. Apa kalian datang kesini untuk meminta perlindungan kami? Maaf saja, kami tidak ingin mencari masalah dengan menyembunyikan buronan di desa kami.”
Tregon dan Alegra terkejut luar biasa mendengar respon dari kepala desa. Meskipun hal seperti ini sudah diperkirakan oleh Tregon. Namun tidak oleh Alegra. Awalnya dia berpikir karena desa ini bukan bagian dari wilayah kerajaan Vincentius, keberadaan mereka akan diterima dengan baik disini. Kenyataannya meleset jauh dari perkiraannya.
“Bukan itu tujuan kami datang ke desa ini.” Tregon cepat-cepat mengelak, sebelum sang kepala desa mengusir mereka.
“Lalu apa tujuan kalian datang kemari?”
“Kami ...”
Tregon terdiam, dia benar-benar ragu untuk mengatakan ini. Terlalu sulit baginya harus mengorbankan adiknya sendiri hanya demi merebut kembali kerajaan dari para pemberontak.
“Kenapa diam? Apa tujuan kalian sebenarnya?”
“Kami ingin meminta anda untuk membantu kami bertemu dengan Raja Renz Tazio Sylvain.” Alegra yang menyahut, melihat kediaman kakaknya, dia tahu kakaknya masih belum menerima sepenuhnya keputusannya ini. Meski Alegra juga sebenarnya tidak mau dijadikan persembahan, tapi dia sadar inilah satu-satunya cara untuk melawan musuh mereka.
“Kalian ingin bertemu dengan Raja Tazio?” Alegra mengangguk yakin.
“Apa yang kalian rencanakan?”
“Kami ingin menjalin persekutuan lagi dengannya. Kami ingin meminta bantuan Raja Tazio agar kami bisa melawan para pemberontak dan merebut kembali kerajaan Vincentius.”
Alegra mengernyitkan dahinya begitu suara tawa sang kepala desa merasuki gendang telinganya. Tregon tak kalah herannya karena kepala desa tertawa lepas seolah ucapan Alegra sangat lucu baginya. Padahal Alegra mengatakannya dengan serius, tak ada niatan sedikit pun untuk membuat lelucon.
“Kalian sangat tidak tahu diri. Dulu Raja Tazio berbaik hati membantu kalian. Mengirimkan pasukannya untuk membantu clan Vincentius mempertahankan wilayah kekuasaannya bahkan sampai berubah menjadi sebuah kerajaan besar. Tapi lihat apa yang leluhur kalian lakukan?”
Baik Alegra maupun Tregon tak menyahut, mereka memahami sepenuhnya arah pembicaraan kepala desa.
“Kalian tidak tahu berterima kasih. Padahal Raja Tazio hanya meminta kalian mengirimkan persembahan untuknya setiap tahun. Tapi kalian justru mengkhianati Raja Tazio, kalian meninggalkannya setelah kerajaan Vincentius menjadi sebesar sekarang. Dan sekarang, kalian ingin menjalin persekutuan lagi dengannya? Benar-benar tidak tahu malu.”
“Mungkin leluhur kami memang telah melakukan kesalahan. Tapi kami tidak akan mengkhianatinya lagi. Aku sendiri yang akan memastikannya. Kami tidak akan mengecewakan Raja Tazio lagi.” Tregon menyela, dia harus membantu Alegra meyakinkan kepala desa agar bersedia mempertemukan mereka dengan sang Raja ular.
“Raja Tazio tidak murka dan tidak membalas pengkhianatan kalian saja, seharusnya kalian bersyukur. Kalian pikir Raja Tazio bodoh, bersedia membantu orang-orang yang sudah berkhianat padanya. Tentu saja dia tidak sebodoh itu.”
Sang kepala desa berdiri dari duduknya, seolah memberi isyarat bahwa dia sudah tak berminat lagi membicarakan hal ini.
“Lebih baik kalian pergi dari desa ini sekarang juga. Kalian sama saja menggali kuburan sendiri jika bersi keras untuk menemui Raja Tazio,” tambahnya.
“Pak, tolong bantu kami. Bagaimana reaksi Raja Tazio setelah bertemu kami nanti, biarkan kami yang menanggung konsekuensinya. Kami hanya minta bapak membantu kami untuk bertemu dengannya karena kami tidak tahu bagaimana caranya. Tolonglah, Pak,” pinta Alegra.
Kepala desa tak menggubris permintaan Alegra, dia hendak melangkah meninggalkan ruangan. Jika saja Alegra tak menghadangnya. Kepala desa membelalak kaget begitu melihat Alegra yang tiba-tiba berlutut di hadapannya. Tregon tak kalah terkejutnya, dia tak menyangka adiknya sampai merendahkan dirinya sendiri seperti ini.
“Jangan memaksa. Aku tetap tidak akan membantu kalian,” ucap kepala desa tegas.
“Rakyat Kerajaan Vincentius sedang menderita sekarang. Harta mereka dirampas, kebebasan mereka hilang, pikiran mereka dikendalikan oleh para pemberontak hingga mereka lebih mempercayai para pemberontak itu dibandingkan orangtua kami. Orangtua kami bukan pengkhianat seperti yang mereka tuduhkan, justru para pemberontak itulah yang berkhianat.”
“Nyawa rakyat tak berdosa banyak berjatuhan karena ulah para pemberontak. Kami harus segera menumpas para pemberontak itu, menghukum mereka dengan hukuman yang setimpal. Kami harus merebut kembali kerajaan Vincentius agar rakyat terbebas dari penderitaan mereka.”
“Pak, jika anda tidak mau membantu kami karena tidak mempercayai kami, setidaknya bantulah kami demi rakyat Vincentius yang sedang menderita di sana. Apa anda tidak merasa kasihan pada mereka?”
Kepala desa tertegun, dia menatap intens pada wajah Alegra yang basah oleh air matanya. Gadis di hadapannya itu benar-benar tulus dengan ucapannya. Tidak ada kepura-puraan dalam sorot matanya. Keyakinan sang kepala desa pun mulai goyah.
“Raja Tazio tidak mungkin bersedia membantu kalian tanpa imbalan yang kalian tawarkan padanya?”
“Aku ... aku bersedia ditumbalkan untuknya. Bukankah dia selalu meminta persembahan seorang gadis?”
“Alegra,” panggil Tregon lirih, dia sungguh masih belum bisa menerima keputusan adiknya ini.
Alegra menoleh ke arah sang kakak, memberikan senyuman manis untuk meyakinkan kakaknya bahwa dia sudah sangat yakin dengan keputusannya.
“Apa kau yakin bersedia dijadikan persembahan?” Tanya kepala desa, memastikan.
“Aku sangat yakin,” jawab Alegra, tegas.
Sekali lagi kepala desa terdiam, sebelum dia menghela napas panjang seraya memejamkan matanya. Sepertinya dia kalah, ketulusan Alegra berhasil merubah keputusannya.
“Baiklah, kami akan membantu kalian untuk memanggil Raja Tazio. Tapi kami tidak bertanggungjawab dengan apa pun yang akan terjadi pada kalian nantinya.”
“Baik, Pak. Terima kasih,” sahut Alegra, disertai senyuman lebar menghiasi wajahnya.
“Kalau begitu persiapkan dirimu, berdandanlah secantik mungkin. Nanti malam kami akan memanggil Raja Tazio.”
Alegra tersentak, tak menyangka secepat ini mereka akan dipertemukan dengan sang raja ular. Awalnya Alegra mengira masih memiliki sedikit waktu lagi untuk menikmati kebebasannya, terlebih kebersamaannya dengan kakaknya.
“Baik, Pak,” jawabnya, setelah menyadari tak ada gunanya dia protes sekarang, toh memang inilah keputusannya.
***
Tepat di tengah malam yang dihiasi suasana gelap gulita bahkan bulan dan bintang pun seolah enggan menampakan wujudnya di atas langit sana, Alegra dan Tregon ditemani kepala desa serta beberapa tetua Isle Village, kini tengah berada di dalam sebuah ruangan menyerupai kuil.
Tentu saja ruangan itu bukan kuil karena dilihat dari sudut mana pun, ruangan itu bukanlah tempat untuk beribadah.
Tak ada benda apa pun di dalam ruangan itu selain beberapa obor yang apinya tengah menyala terang diletakkan hampir di setiap sudut dinding. Ada sebuah patung ular berukuran sangat besar, berdiri kokoh tepat di bagian paling depan ruangan.
Patung ular itu menampilkan wujud seekor ular raksasa yang tengah menegakkan kepalanya ke atas, sedangkan tubuhnya tengah melilit, saling bertumpuk. Tak ada yang aneh dari patung ular itu dilihat dari sudut mana pun.
Mereka kini tengah berdiri di hadapan patung ular tersebut.
Kepala desa dan beberapa tetua tengah fokus membacakan mantra yang baru pertama kalinya Alegra dan Tregon dengar. Mereka juga tak bisa mendengarnya dengan jelas karena mantra itu diucapkan dengan sangat cepat. Mereka mengucapkan mantra tanpa kesulitan seolah mantra itu sudah sering mereka ucapkan dan sudah dihafal di luar kepala.
Hampir 30 menit berlalu sejak mereka mengucapkan mantra, tak ada apa pun yang terjadi di dalam ruangan.
Alegra yang tengah menunggu disertai detak jantungnya yang berdetak tak karuan saking gugupnya, menoleh pada Tregon. Menyiratkan keraguan pada sorot matanya. Sempat terlintas di pikirannya bahwa Raja Tazio mungkin menolak untuk datang. Tregon tersenyum kecil saat menyadari makna di balik tatapan sang adik. Dia sendiri juga tak yakin Raja Tazio akan muncul di hadapan mereka.
Namun, Alegra dan Tregon tak tahu harus bereaksi seperti apa, saat tiba-tiba terjadi goncangan hebat di dalam ruangan, bagaikan gempa hebat tengah terjadi. Api obor yang awalnya menyala terang, seketika meredup dan hanya menyisakan cahaya temaram.
Yang membuat Alegra dan Tregon semakin terkejut adalah sosok patung ular yang mulai mengalami perubahan. Patung ular itu dikelilingi cahaya keemasan. Kedua mata patung ular yang awalnya menutup, tiba-tiba terbuka dan bersinar.
Alegra nyaris berteriak ketika menyaksikan patung ular di hadapannya sedikit demi sedikit mulai bergerak seolah telah berubah menjadi makhluk hidup.
Goncangan akhirnya berhenti, bersamaan dengan patung ular itu yang telah berubah sepenuhnya menjadi sosok king cobra raksasa yang menggeliat hidup di lantai. Ular itu berwarna hitam pekat dengan corak keemasan pada sisiknya. Ada batu kristal berwarna merah tertancap di dahinya.
Suara desisan khas ular terdengar membahana di dalam ruangan. Kepala desa dan seluruh tetua berlutut detik itu juga begitu sosok Raja Tazio yang mereka agungkan kini memenuhi panggilan mereka.
Tregon menatap pemandangan di depannya tanpa berkedip, seolah keraguannya tentang rumor adanya siluman ular, kini terpatahkan. Dia sudah melihat kebenarannya dengan mata kepalanya sendiri. Berbanding terbalik dengan Alegra yang gemetar ketakutan melihat ular raksasa itu.
“Tuanku, selamat datang,” ucap kepala desa, penuh hormat. Suara desisan sang ular kembali terdengar lebih kencang dari sebelumnya.
“Apa yang kalian inginkan?”
Ular itu berbicara dengan suara berat nan kerasnya, hanya dengan mendengar suara itu sekujur tubuh Alegra semakin gemetar ketakutan. Keputusannya untuk menjadi persembahan sang raja ular tampaknya kembali goyah saat ini. Dia tak berani membayangkan mungkin saja dirinya akan menjadi santapan ular raksasa itu.
“Ada yang ingin bertemu dengan Anda, Tuanku. Mereka dari Klan Vincentius,” ucap kepala desa seraya menatap ke arah Alegra dan Tregon yang berdiri di belakangnya.
Raja ular itu merayap di lantai, menjulurkan lidahnya saat tatapan matanya menghunus tajam pada Tregon.
“Si pengkhianat Klan Vincentius,” ujar sang raja ular, dia merayap menghampiri Tregon.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, Tregon merasa ketakutan sekarang, tatapan dari ular itu begitu mengintimidasi dirinya. Hingga tanpa sadar dia berlutut begitu sosok ular raksasa itu kini berada tepat di depannya.
Padahal sebelumnya tak ada satu pun yang membuat Tregon sampai ketakutan seperti ini. Dulu dia sering mengikuti peperangan dan menghadapi musuh yang ukuran tubuhnya dua kali lebih besar darinya, tapi Tregon tak gentar sedikit pun. Dia mampu mengalahkan musuh sebesar, sekuat dan semenyeramkan apa pun. Akan tetapi, keberaniannya seolah tak ada apa-apanya saat berhadapan dengan sang Raja ular yang menguarkan hawa membunuh di sekujur tubuhnya.
“Tuanku, mereka ingin kembali bersekutu dengan Anda.”
Kepala desa mencoba membantu ketika menyadari ekspresi ketakutan baik di wajah Tregon maupun Alegra. Hingga mereka berdua melupakan tujuan awal mereka untuk menemui Raja Tazio.
“Aku tahu apa yang menimpamu.”
Tregon tersentak, kedua matanya melebar sempurna tanpa ada sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya. Entahlah ... lidahnya terasa kelu di dalam mulutnya.
“Kau membutuhkan bantuanku untuk bisa merebut kerajaanmu. Bukankah begitu?”
Tregon masih terdiam disertai tubuhnya yang masih gemetaran hebat. Namun saat dia melirik ke arah kepala desa serta menyadari sang kepala desa tengah memberikan isyarat padanya agar menyahuti, dia pun meneguk salivanya susah payah.
“B-Benar, Tuan. Tolong bantulah kami,” jawab Tregon, akhirnya berhasil mengeluarkan suaranya.
“Lalu kalian akan berkhianat lagi setelah aku membantu kalian?”
“Tidak akan, kami tidak akan mengkhianati tuan lagi. Kami berjanji.”
Tregon memejamkan matanya serapat mungkin saat sang Raja ular kini merayap semakin mendekatinya. Lidah panjangnya terjulur keluar, maju ke depan guna mendekati wajah Tregon yang nyaris tak sanggup lagi menahan rasa takutnya.
“Darah pengkhianat Klan Vincentius mengalir di tubuhmu. Pengkhianat selamanya akan menjadi pengkhianat.”
“Aku yang akan menjadi raja Kerajaan Vincentius jika kerajaan itu berhasil kami dapatkan kembali. Sebagai penguasa, aku bersumpah mewakili seluruh rakyat yang bernaung di bawah kekuasaan kerajaan Vincentius, kami tidak akan mengkhianati anda lagi. Tolonglah kami, Tuanku.”
Suara desisan teramat kencang kembali meluncur dari mulut sang raja ular.
“Apa imbalan untukku jika aku membantumu?”
Tregon tertegun kali ini. Dia masih tak tega mengatakan adiknya lah yang akan dijadikan sebagai imbalan. Jika boleh memilih, dia lebih senang jika dirinya saja yang ditumbalkan, jangan adiknya.
“Adiknya yang akan dipersembahkan untuk Anda, Tuanku. Putri Alegra Vincentius.” Kepala desa menimpali, dia sadar Tregon tengah dilanda keraguaan saat ini. Khawatir mendapat kemurkaan dari sang raja ular karena pertanyaannya diabaikan, kepala desa memilih untuk membantu menyahuti.
“Majulah, Nak,” titah kepala desa pada Alegra yang berdiri mematung di tempatnya. Tak terdengar sedikit pun suara gadis itu sejak menginjakan kaki di ruangan ini, terlebih sejak Raja Tazio menampakan wujudnya.
Dengan tubuh gemetarnya, Alegra melangkah maju. Bersamaan dengan itu sang Raja ular merayap menghampirinya. Dia bergerak melingkari tubuh Alegra yang semakin gemetaran, bahkan suara giginya yang saling bergemelatuk saking takutnya, terdengar jelas.
Ular besar itu melilit tubuh ringkih Alegra, menjulurkan lidah panjangnya dengan suara desisan menyeramkannya, ketika kepala sang ular kini berada tepat di depan wajah Alegra. Seolah sang Raja ular tengah menelisik lekuk wajah cantik Alegra.
Seketika Alegra memejamkan kedua matanya, dia ingin berteriak sekencang-kencangnya untuk mengungkapkan perasaan takut yang dia rasakan. Namun coba dia tahan mati-matian keinginan itu.
Kondisi itu tak bertahan lama karena sang raja ular tiba-tiba melepaskan lilitannya pada tubuh Alegra, dia merayap perlahan menjauhi Alegra dengan tubuh besarnya yang menggilas permukaan lantai. Lantas dia kembali ke depan ruangan, ke tempat asal dirinya berada ketika masih dalam wujud patung ular.
Ular besar itu melilitkan tubuhnya hingga membentuk tumpukan, lalu menegakkan kepalanya dan dalam sekejap berubah kembali menjadi sebuah patung tak bernyawa.
Tregon dan Alegra terkejut bukan main menyaksikan Raja Tazio yang tiba-tiba pergi tanpa mengatakan apa pun. Meskipun rasa lega lebih besar mereka rasakan dalam hati. Setidaknya mereka masih selamat dan tidak dijadikan santapan oleh ular raksasa itu.
“Apa yang terjadi? Kenapa dia pergi begitu saja? Apa dia menolak untuk membantu kami?” Tanya Alegra, heran sekaligus penasaran dengan reaksi aneh Raja Tazio begitu mengetahui dirinya yang akan dijadikan persembahan.
“Percayalah, Raja Tazio akan mengatakan secara langsung jika dia menolak membantu kalian.”
“Maksudnya?” Tregon ikut menimpali.
“Persiapkan dirimu, Tuan Putri. Besok malam, kami akan mengantarkanmu ke kerajaan Sylvain. Kau beruntung karena Raja Tazio menerimamu sebagai persembahan untuknya.”
Setelah mengatakan itu, kepala desa diikuti para tetua desa melenggang pergi begitu saja meninggalkan ruangan.
Alegra yang merasa lututnya tiba-tiba melemas, seketika jatuh terduduk di lantai. Dia pegangi d**a kirinya dimana di dalam sana detak jantungnya tengah bertalu-talu dengan cepatnya. Spontan air mata meluncur mulus membasahi wajah cantiknya.
Jadi, memang seperti ini nasibnya, besok malam dia akan diserahkan sebagai persembahan untuk sang raja ular.