TWO

2447 Words
Menghabiskan waktu hampir tiga hari, Alegra dan Tregon akhirnya menghentikan perjalanan mereka. Keduanya tengah duduk di atas kuda mereka yang tampak kelelahan karena berlari menempuh jarak yang cukup jauh. Sebuah bangunan menyerupai kastil kini terpampang di hadapan mereka. Dimana di sepanjang kastil tersebut dikelilingi dengan banyak pegunungan. Tembok tinggi nan kokoh ikut melapisi sistem keamanan kastil itu. Dilengkapi gerbang berupa beton yang memiliki duri-duri tajam terbuat dari baja di bagian atasnya. Untuk sesaat, Alegra dan Tregon saling berpandangan seolah meminta pendapat masing-masing untuk memutuskan langkah mereka selanjutnya. Begitu Alegra menganggukan kepalanya, mereka pun memacu kuda yang mereka tunggangi untuk melangkah santai menuju gerbang. Beberapa prajurit yang tengah berjaga di sekitar pintu gerbang tanpa komando membukakan pintu untuk mereka. Embusan napas lega meluncur dari sepasang saudara ini, sempat berpikir mereka akan mengalami kendala saat mendatangi kastil ini. Tapi nyatanya tidak, kedatangan mereka disambut dengan baik. “Keponakan-keponakanku, selamat datang di Montville Castle.” Seorang wanita cantik dengan rambut hitam panjang yang bergelombang, kulit putih pucat serta tubuh kurusnya yang terbalut gaun mewah layaknya putri kerajaan, menyambut mereka dengan suka cita tepat di depan pintu utama kastil. Tanpa pikir panjang Alegra melompat turun dari kudanya. Berlari dengan air mata yang telah tumpah, lantas menghamburkan dirinya dalam pelukan wanita tersebut. “Bibi Aresta,” ucapnya, dengan isak tangisnya yang semakin terdengar memilukan. Wanita itu yang tidak lain merupakan adik kandung Raja Argon, mengelus lembut punggung keponakannya, memahami betul bagaimana hancurnya perasaan sang gadis. “Ayahanda dan ibunda. Mereka ....” “Bibi tahu, beritanya sudah menyebar di kastil ini. Kalian berdua masuklah.” Alegra melepaskan pelukannya, memberi kesempatan pada kakaknya untuk bergantian memeluk satu-satunya kerabat yang mereka miliki. Hanya Arestalah yang bisa mereka percayai saat ini, membuat mereka memutuskan untuk meminta bantuannya. Mereka melangkah masuk ke dalam kastil begitu Tregon melepaskan pelukannya pada sang bibi. Tak heran sedikit pun dengan kondisi di dalam kastil karena tak dipungkiri dulu mereka cukup sering mendatangi kastil tersebut untuk berlibur. Montville castle merupakan salah satu kastil milik kerajaan Vincentius yang dibangun untuk digunakan sebagai tempat peristirahatan. Aresta yang menjadi putri bungsu raja terdahulu menjadi satu-satunya orang yang menjadi penghuni tetap kastil tersebut. Berbeda dengan Reegon yang selalu serakah dan memiliki ambisi untuk merebut tahta raja dari tangan kakak sulung mereka, Raja Argon, Aresta merupakan sosok adik yang selalu mendukung sepenuhnya kekuasaan Raja Argon. Dia pun sangat menyayangi kedua anak Raja Argon. Sesuatu yang wajar membuat kedua saudara itu memutuskan untuk meminta bantuan padanya. Putri Aresta mengajak kedua keponakannya untuk beristirahat di ruang keluarga yang terletak di lantai dua. Memberi perintah pada para dayang yang melayaninya di kastil untuk menyiapkan makanan untuk mereka. Aresta merasa miris sekaligus iba dikala makanan yang disiapkan para dayang sudah tersaji, dan kedua keponakannya tampak menyantapnya begitu lahap seolah sudah berhari-hari mereka tidak memakan apa pun. “Makanlah pelan-pelan. Jangan sampai tersedak,” ucap Aresta, memperingatkan. Ditatapnya dengan seksama penampilan kedua keponakannya, semakin merasa iba saat menyadari betapa menyedihkan penampilan mereka. Pakaian kerajaan yang mereka kenakan sangat kumal, penuh dengan noda tanah. Robek di beberapa bagian. Bukan hanya pakaian mereka yang terlihat menyedihkan. Kulit mereka yang kotor dengan beberapa bekas luka serta rambut panjang Alegra yang biasanya tertata rapi dan indah, saat melihat rambut keponakannya itu begitu berantakan dan tak terurus, bisa Aresta perkirakan sebesar apa penderitaan mereka berdua selama perjalanan menuju kastil ini. “Sepertinya kalian mengalami masa-masa sulit selama perjalanan kemari?” tanyanya, penasaran. “Kami harus melarikan diri dengan susah payah. Paman Reegon memberikan perintah pada Prajurit Istana untuk mengejar kami,” sahut Tregon, yang telah lebih dulu menyelesaikan makannya. “Alegra belum terlalu pandai menunggangi kuda. Berkali-kali dia sempat terjatuh.” Aresta menatap iba pada Alegra, mendesah lelah saat menyadari beberapa luka lecet di tubuh Alegra pastilah disebabkan karena dirinya yang beberapa kali terjatuh dari kuda. “Kami juga harus bersembunyi di hutan untuk beristirahat bila malam tiba,” lanjut Tregon. “Apa yang kalian makan selama di hutan?” Alegra dan Tregon saling berpandangan sejenak. Ketika tiba-tiba Alegra menundukan kepalanya dengan kedua mata berkaca-kaca nyaris menangis. “Kami ... terpaksa memburu kelinci liar,” jawab Tregon, tampak enggan melanjutkan ucapannya. “Kami memakan dagingnya, mentah. Kami tidak bisa membuat api, nyaris tak ada batu di hutan itu. Tanahnya lembab dan penuh lumpur.” Alegra ikut menimpali dengan lelehan air mata yang mulai berjatuhan. Spontan Aresta membekap mulutnya tak percaya kedua keponakannya sampai harus mengalami kejadian mengerikan seperti itu. “Kenapa kalian tidak memakan buah atau sayuran saja? Pasti di hutan banyak buah dan sayuran liar yang tumbuh.” “Tidak ada buah yang bisa dimakan, rasanya pahit bahkan lebih pahit dari obat. Dan sayurannya, kami tidak berani memakannya karena sepertinya mengandung racun,” sahut Tregon. “Kami melihat banyak bangkai dan tulang belulang hewan herbivora di dekat tanaman-tanaman itu,” tambahnya, lebih menjelaskan dikala menyadari raut bingung Aresta. “Malangnya nasib kalian. Bibi sedih mendengarnya.” “Ini semua karena ulah Paman Reegon. Dia bekerja sama dengan para menteri mengkhianati ayahanda dan memfitnahnya. Yang lebih menyakitkan hati, seluruh rakyat yang selama ini selalu dicintai oleh ayahanda, lebih mempercayai kebohongan mereka,” ujar Tregon, penuh emosi. Giginya saling bergemeretak saat mengatakan ini. “Kami tidak bisa melakukan apa pun saat ayahanda dan ibunda diarak dengan tubuh telanjang, dilempari batu dan telur busuk oleh rakyat di sepanjang jalan. Lalu ....” Alegra menjerit di akhir ucapannya, tak sanggup lagi menahan kesedihannya saat bayangan kedua orangtuanya dibakar hidup-hidup kembali terlintas di ingatannya. Aresta ikut terdiam, dia sudah mengetahui semua yang terjadi di depan istana kerajaan tempo hari, tentu termasuk berita sang raja dan ratu yang dibakar hidup-hidup. Dia pun tak ingin membuat luka kedua keponakannya semakin menganga lebar, lantas dia memilih untuk membicarakan hal lain jika saja dia tak mendengar suara Tregon yang kembali mengalun. “Aku bersumpah. Aku akan membalas kematian ayahanda dan ibunda. Aku akan membersihkan nama baik mereka dan merebut kembali kerajaan dari tangan Paman Reegon. Aku memilih mati jika sampai sumpahku ini tidak bisa aku penuhi.” Tregon berucap dengan menggebu-gebu. Raut amarah di wajahnya begitu kentara tidak main-main. Air mata yang mulai meluncur dari pelupuk matanya menandakan bahwa sumpah yang diucapkannya barusan memanglah nyata. Aresta menunduk, menyadari tatapan penuh kebencian dari kedua keponakannya. Meskipun dia merasa membalas dendam adalah perbuatan yang salah. Namun, mengingat ketidakadilan yang mereka terima, untuk kali ini saja dia akan mendukung rencana keponakannya. Bahkan jika perlu, dia akan ikut membantu mereka untuk mewujudkan rencana balas dendam mereka demi menegakkan keadilan yang telah tercoreng. “Bibi mengerti perasaan kalian. Kita bicarakan lagi masalah ini nanti. Sekarang kalian mandilah, ganti pakaian kalian. Lalu istirahatlah.” Tregon dan Alegra kembali saling berpandangan hingga beberapa detik kemudian mereka mengangguk secara bersamaan. *** Malamnya, Aresta mengajak kedua keponakannya untuk berkumpul bersama. Sebuah ruangan santai yang berada di lantai tiga kastil menjadi ruangan yang dipilihnya. Alegra tengah berdiri seraya menatap satu persatu lukisan kakek moyangnya yang terpasang indah di ruangan tersebut. Tregon yang tengah memainkan sebuah pedang yang diletakan di sebuah rak, serta Aresta yang duduk santai dengan buah anggur hijau yang tengah dimakannya. “Bibi.” Aresta menoleh ke arah pemilik suara, Alegra yang tiba-tiba saja memanggilnya. “Kenapa, Alegra?” “Lukisan-lukisan ini, benarkah mereka sosok raja-raja terdahulu kerajaan Vincentius?” “Ya, tidak diragukan lagi. “Lukisan ayahanda juga ada di sini,” sahut Alegra lirih, kedua matanya kembali berkaca-kaca saat menatap sebuah lukisan di mana di dalamnya terlihat seorang pria gagah dengan mahkota di atas kepalanya serta baju besi yang membungkus tubuhnya tengah menunggangi kuda, siap berperang. “Pedang yang kau pegang itu adalah pedang yang dulu digunakan kakek kalian untuk memenggal kepala musuh-musuhnya saat berperang,” ucap Aresta, yang kini beralih menatap Tregon yang tengah menunjukan kemahirannya mengayunkan pedang. “Pedang ini pasti sangat tajam. Rasanya lebih berat dibanding pedang biasa,” jawab Tregon. Lantas kembali dia letakan pedang itu di tempatnya semula. “Kalian kemarilah, ada sesuatu yang ingin bibi ceritakan pada kalian.” Alegra dan Tregon tanpa ragu mengikuti keinginan sang bibi, mereka menghampirinya tanpa kata dan segera mendudukan diri di kursi yang kosong, tepat di sebelah kursi yang diduduki bibinya. “Kita akan membicarakan hal yang serius mulai sekarang. Sebelumnya, aku ingin bertanya dan kalian harus menjawabnya tanpa keraguan. Apa kalian mengerti?” Aresta menatap bergantian wajah Tregon dan Alegra yang tampak kebingungan. Tersenyum kecil saat melihat mereka akhirnya menganggukan kepala. “Tregon, kau bilang ingin membalas ketidakadilan yang sudah menimpa kalian. Kau akan melakukan apa pun demi mewujudkannya. Apa kau serius dengan ucapanmu?” “Tentu saja aku serius, Bi. Aku sudah bersumpah tadi. Pewaris tahta sepertiku tak akan pernah manarik kembali sumpahnya.” Aresta mengangguk, lantas dia beralih menatap ke arah Alegra yang diam membisu. “Dan kau Alegra, apa yang kau rencanakan ke depannya?” Alegra tampak meneguk salivanya, namun sorot matanya yang menatap sang bibi begitu serius tak ayal membuat Aresta tersenyum tipis. Cukup melihat sorot mata itu, dia tahu Alegra pun telah menentukan keputusannya. “Aku akan mendukung sepenuhnya rencana Kak Tregon. Aku akan membantunya mewujudkan ambisi balas dendamnya,” sahut Alegra, yakin. “Benarkah? Kau rela melakukan apa pun untuk membantu kakakmu?” Alegra mengangguk tanpa keraguan. Keinginan untuk membalas dendam tak dia pungkiri begitu menggebu-gebu di dalam hatinya. Dia senang mengetahui sang kakak pun sependapat dengannya. Jadi mustahil dia akan berdiam diri, tentu dia akan membantu sang kakak sampai berhasil melancarkan balas dendamnya nanti. Keadilan harus ditegakkan. “Bibi ingin menceritakan sebuah fakta yang tidak kalian ketahui selama ini. Jadi dengarkan baik-baik.” Tregon dan Alegra saling berpandangan sebelum mereka memusatkan kembali atensi mereka pada sang bibi. “Akan kami dengarkan, Bibi,” jawab Tregon tegas. Aresta mengembuskan napas pelan, sebelum memulai ceritanya, “Berabad-abad tahun yang lalu, sebenarnya Vincentius bukanlah sebuah kerajaan seperti sekarang, melainkan hanya sebuah klan yang nyaris punah.” Tregon mengernyitkan dahi, begitu pun dengan Alegra yang tak pernah mendengar kisah ini sebelumnya. Setahu mereka, sejak dahulu Vincentius memang marga keluarga bangsawan yang memimpin kerajaan besar ini. Hanya sebuah klan? Sungguh kenyataan ini cukup sulit mereka percayai pada awalnya. “Lalu kenapa klan Vincentius bisa mendirikan kerajaan sebesar ini?” tanya Tregon akhirnya, rasa penasarannya sudah terlalu naik ke permukaan. “Karena pemimpin Klan Vincentius saat itu melakukan persekutuan dengan Kerajaan Sylvain. Kalian pernah mendengar kerajaan ini?” Keduanya menggelengkan kepala bersamaan, mereka memang baru mendengar nama kerajaan yang asing di telinga mereka ini. “Kerajaan Sylvain bukan kerajaan biasa. Lebih tepatnya bukan kerajaan manusia.” “Maksud bibi?” Alegra menyambar pembicaraan. “Kerajaan Sylvain merupakan kerajaan siluman ular yang dipimpin seorang raja ular maha sakti bernama Raja Renz Tazio Sylvain.” Keduanya terenyak kaget hingga nyaris melompat dari tempat duduk mereka. Kerajaan siluman ular? Bahkan mempercayai keberadaan bangsa siluman pun masih diragukan. “Memang cerita ini sulit dipercaya, tapi inilah kenyataannya. Bahkan hingga kini ada sebuah desa disebrang lautan, di pulau Island Bay bernama Isle Village menjadi satu-satunya desa yang masih melayani Raja Tazio.” “Apa yang diinginkan pemimpin Klan Vincentius hingga bersekutu dengan raja ular?” Tregon kembali bertanya, dia membutuhkan penjelasan yang lebih mendetail dari bibinya. “Dia ingin menjaga keutuhan Klan Vincentius pada awalnya. Meminta bantuan agar Raja Tazio meberikan bala tentaranya jika ada klan lain yang menyerang. Tapi yang namanya manusia tidak pernah merasa puas. Mereka selalu meminta lebih di saat keinginan pertama mereka tercapai, bukan?” Aresta menjeda ucapannya, meneguk air putih sejenak, sukses membuat kedua keponakannya mendesah frustasi karena ingin secepatnya mendengar keseluruhan kisah itu. “Pemimpin klan meminta wilayah kekuasaan yang lebih besar. Raja Tazio mengabulkannya. Tak tanggung-tanggung dia mengutus bala tentaranya untuk menyerang sebuah kerajaan kecil yang berada paling dekat dengan wilayah milik Klan Vincentius. Dengan mudahnya kerajaan itu tumbang dan diambil alih oleh Klan Vincentius. Sejak saat itu, Klan Vincentius pun berubah menjadi kerajaan.” “Ini sulit dipercaya. Dengan kata lain, tanpa bantuan raja ular itu Kerajaan Vincentius tidak akan pernah ada,” sahut Tregon. “Tepat sekali. Raja Tazio selalu mengabulkan semua permintaan pemimpin klan yang saat itu telah menjabat sebagai raja pertama Kerajaan Vincentius. Termasuk membantu merebut wilayah kekuasaan kerajaan lain hingga Kerajaan Vincentius yang awalnya hanyalah kerajaan kecil, kini menjadi kerajaan sebesar dan sekuat ini. Menjadi kerajaan yang ditakuti kerajaan lain karena tak pernah sekali pun kalah dalam peperangan.” “Benarkah? Betapa baiknya raja ular itu?” Aresta mencebik saat mendengar pujian Alegra pada sang raja ular. Tersenyum sinis setelahnya karena dia belum menceritakan fakta lain di balik persekutuan ini. “Kau percaya dia tidak meminta imbalan untuk segala bantuannya?” “Imbalan seperti apa yang dia minta?” tanya Tregon, tak sabar. Sudah dia duga sang raja ular tidak mungkin begitu saja memberikan bantuan tanpa imbalan apa pun. “Dia meminta setiap tahun Kerajaan Vincentius harus menyerahkan seorang putri untuk dijadikan persembahan.” “Apa dia menjadikan persembahan itu sebagai santapannya?” tanya Alegra, dengan matanya yang membulat sempurna. “Entahlah, tidak ada yang mengetahui apa yang dia lakukan pada putri kerajaan yang dipersembahkan untuknya. Mungkin saja dijadikan selir, bisa juga dijadikan b***k atau mungkin dijadikan makanannya. Tak ada yang berani bertanya pada Raja Tazio.” Aresta kembali menjeda ceritanya. Dia pandangi bergantian wajah keponakannya yang terlihat begitu terkejut mendengar fakta yang dirahasiakan ini. “Kakekku atau kakek buyut kalian ingin mengakhiri persekutuan ini. Dia menjadi raja pertama yang berhenti mengirimkan putri kerajaan sebagai persembahan untuk Raja Tazio. Sudah 150 tahun persekutuan ini terputus. Jika saat itu kakek tidak mengakhiri persekutuan ini, mungkin saja aku dan kau, Alegra, kita akan dijadikan persembahan untuk Raja Tazio.” Alegra menahan napas, tak sanggup membayangkan seandainya persekutuan itu masih berlangsung hingga sekarang. Dalam hatinya dia bersyukur karena kakek buyutnya mengakhiri persekutuan tak masuk akal itu. Tiba-tiba lonceng di puncak menara kastil terdengar tak lama berselang, sukses menarik atensi mereka bertiga. Pertanda bahaya, jika lonceng dibunyikan artinya sesuatu yang berbahaya tengah menuju ke arah kastil. Ketiganya serempak berdiri dari kursi mereka begitu seorang prajurit menerobos masuk tanpa memedulikan sopan santun lagi. Sang prajurit berlutut di hadapan Aresta dengan keringat yang sudah bercucuran membasahi wajahnya. “Apa yang terjadi?” tanya Aresta, panik. “Rombongan prajurit kerajaan sedang menuju kemari. Mereka sudah tiba di dekat gerbang. Selain itu, saya baru saja mendapat kabar. Pangeran Tregon dan Putri Alegra telah resmi dinyatakan sebagai buronan kerajaan. Gambar mereka sudah dipajang di seluruh area Kingsville.” Aresta tak terkejut sedikit pun mendengar kabar ini, hanya saja melihat pergerakan Reegon yang terlalu cepat ini, Aresta berdecak kesal karenanya. Dia tidak boleh kalah cepat dengan kakaknya, lantas dia pun menatap serius ke arah prajurit yang masih berlutut di hadapannya. “Aku menunjukmu untuk menjalankan tugas penting dan bersifat darurat. Sebagai Lady of Montville castle, aku memerintahkanmu untuk mengantarkan Pangeran Tregon dan Putri Alegra keluar dari kastil ini dengan selamat. Gunakan jalan rahasia. Pastikan keselamatan mereka dengan nyawamu.” “Baik, My Lady!” sahut sang prajurit, seraya berdiri tegak dan memasang penghormatan layaknya seorang ksatria. “Apa maksud bibi?” tanya Alegra histeris, berat baginya untuk berpisah dengan Aresta, satu-satunya kerabat yang memihak pada mereka. “Kalian harus pergi. Tempat ini sudah tidak aman. Jika sampai tertangkap, kalian akan dieksekusi mati seperti orangtua kalian. Cepat pergi dari sini.” “Ikutlah dengan kami, Bi. Bibi juga berada dalam bahaya.” Tregon terpaku saat Aresta menggelengkan kepalanya. “Bibi akan mengalihkan perhatian mereka selama kalian melarikan diri dari kastil ini. Cepatlah!” Alegra meronta hebat saat Tregon menarik tangannya untuk pergi. Sang bibi akan mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan mereka, haruskah dirinya pergi melarikan diri begitu saja? Alegra tak terima jika lagi-lagi harus meninggalkan orang terpenting baginya, sama halnya seperti saat dirinya meninggalkan orangtuanya tempo hari. “Jika kalian ingin merebut kembali kerajaan. Ingatlah, kalian tidak akan pernah bisa melakukannya sendiri tanpa bantuan dari dunia lain.” Inilah pesan terakhir yang dikatakan Aresta sesaat sebelum kedua keponakannya menghilang dari balik pintu. Dia siap dan tak gentar sedikit pun menghadapi Reegon, kakak kandungnya yang mungkin saja akan membunuh dirinya karena telah lancang melindungi buronan kerajaan. Sungguh dia tak menyesal melakukan ini. Dia hanya berharap, semoga Tregon dan Alegra berhasil menegakkan keadilan suatu hari nanti. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD