THREE

2118 Words
Dalam ruangan itu, suasana tampak hening, tak ada suara yang terdengar. Hanya helaan napas berat yang sesekali terdengar meluncur dari bibir tipis Aresta. Wanita berusia awal 30-an itu tengah berdiri mematung, di hadapannya sosok seorang pria yang tidak lain merupakan kakak kandungnya, Reegon ... tengah duduk dengan angkuhnya seraya memainkan sebuah belati di tangannya. Ujung belati itu dia putar-putar, sesekali dia ketuk-ketukkan ke meja kayu di depannya. Terus seperti itu dengan tatapan matanya yang sepenuhnya tertuju pada belati. “Jadi, dimana kau sembunyikan kedua buronan itu?” Suara baritonenya yang berat mengalun, Aresta meneguk salivanya panik. Dia sangat mengenal kepribadian kakaknya yang satu ini. Meski mereka saudara kandung bukan berarti Reegon tidak akan menyakitinya. Pria itu kejam, tak akan segan-segan melukai saudaranya sendiri. Terbukti dengan kematian kakak sulungnya dan sang istri yang meregang nyawa dengan cara setragis itu, dibakar hidup-hidup. Dan hal itu bisa terjadi karena Reegonlah penyebabnya. “Mereka itu keponakanmu,” jawab Aresta, mencoba memberanikan diri meski dalam hatinya dia takut bukan main. Tapi dia tidak akan menunjukan ketakutannya, jika perlu dia akan menantang kakaknya ini meskipun konsekuensinya dia akan kehilangan nyawanya. “Aku tidak pernah menganggap mereka sebagai keponakanku. Sekarang katakan padaku dimana kau menyembunyikan mereka?” “Aku tidak pernah menyembunyikan mereka,” jawab Aresta tegas. “Jangan bohong. Ada saksi mata yang melihat mereka masuk ke kastil ini.” Dalam hatinya, Aresta menggeram kesal. Siapa orang yang berani mengkhianatinya hingga mengadukan hal ini pada Reegon? “Katakan dimana mereka?!” bentak Reegon murka. Aresta tersenyum sinis menanggapinya. “Kenapa tidak kau suruh saja para prajuritmu mencari mereka?” tantang Aresta, dia berkacak pinggang di hadapan Reegon, tak merasa gentar sedikit pun meskipun mendapatkan tatapan tajam dari kakaknya yang kejam itu. “Tanpa kau suruh pun, tentu sudah kugeledah seisi kastil ini. Karena mereka tidak ditemukan dimana pun dalam kastil ini. Pasti kau menyembunyikan mereka di suatu tempat, kan? Cepat katakan padaku dimana mereka berada?” Aresta kembali tersenyum sinis, mengundang raut kemurkaan yang semakin menjadi di wajah Reegon. “Cepat jawab!!” “Aku tidak tahu,” jawab Aresta tenang. “Lagi pula jika pun aku tahu keberadaan mereka, aku tidak akan pernah mengatakannya padamu,” lanjutnya yang seketika membuat Reegon bangkit berdiri dari duduknya. Dia menghampiri Aresta, mencengkeram dagu wanita itu dengan kuatnya hingga suara ringisan kesakitan meluncur mulus dari mulut Aresta. “Kau masih tidak mau mengatakan dimana mereka berada?” Aresta menggelengkan kepala, tatapan matanya tampak menantang pada Reegon yang mencengkeram dagunya semakin erat seiring berjalannya waktu. PLAAK Suara tamparan terdengar membahana di dalam ruangan. Tamparan yang dilayangkan Reegon pada sang adik tidaklah main-main, terlihat dari sudut bibir Aresta yang robek dan mengeluarkan darah. Pipinya pun tampak memerah sempurna. Aresta tersenyum meremehkan, rasa sakit pada bibirnya tak dia pedulikan. “Mendiang ayahanda dan ibunda pasti sangat kecewa padamu, Reegon. Hanya demi tahta kau sampai membunuh kakak kandungmu sendiri,” ucapnya, seraya meludahkan darah yang tak henti keluar dari sudut bibirnya. “Jika dipikir-pikir mendiang ayahanda pasti sudah mengetahui sifat busukmu ini. Mungkin ayahanda sudah menduga kelak kau akan melakukan kekejaman seperti ini, itulah sebabnya ayahanda tidak memberimu kekuasaan apa pun. Bahkan kastil ini diberikan ayahanda padaku, bukan padamu.” “DIAM!!” bentak Reegon, teramat kencang. Ingatan kejadian di masa lalu tiba-tiba terngiang di kepala Reegon, bagaimana raja terdahulu yang merupakan ayah kandungnya selalu memperlakukannya berbeda dengan kedua saudaranya. Sejak mereka masih kanak-kanak, sang ayah selalu memuji Argon. Membanggakan Argon di hadapan para petinggi istana. Secara terang-terangan mengatakan bahwa Argonlah yang akan menjadi penerus tahtanya. Sang adik pun, Aresta tak kalah dimanjakan oleh sang ayah. Apa pun yang diinginkan adiknya itu selalu dikabulkan oleh ayahnya. Tapi saat Reegon yang meminta sesuatu pada sang ayah, dia tak serta merta mendapatkannya. Sebaliknya, dia akan dimarahi dengan kata-kata kasar. Bahkan ucapan tak diakui sebagai anak oleh sang ayah pun sudah sering tertangkap indera pendengaran Reegon. Diperlakukan tak adil sejak kecil membuat kepribadian Reegon teramat kejam dan tak memiliki belas kasihan lagi. Menjadi sesuatu yang wajar dia sampai tega membakar hidup-hidup kakak kandungnya sendiri. Dan sekarang adiknya ikut melawan dirinya. Reegon menyeringai pada sang adik, jika Aresta terus menyulut emosinya, dia tak akan segan-segan menghukumnya dengan cara paling kejam yang Aresta sendiri tak akan sanggup membayangkannya. “Ayahanda memang membenciku. Dia memberikan tahta dan kekuasaannya pada Argon, padahal Argon itu pria yang sangat lemah. Dia tidak pantas menjadi seorang raja. Harusnya aku ... akulah yang menjadi raja di Kerajaan Vincentius.” Aresta tertawa lantang sembari menggelengkan kepalanya. Dia tolak mentah-mentah pernyataan kakaknya yang salah besar menurutnya. “Kak Argon tidak lemah, sebaliknya dia pria yang kuat dan perkasa. Itulah sebabnya kau menjatuhkannya dengan cara selicik itu. Kau menusuknya dari belakang, bukan menantangnya secara jantan,” cemooh Aresta. “Tentu saja kau menusuknya dari belakang karena kau sendiri tahu jika kau menantangnya secara jantan, kau sama sekali tidak memiliki sedikit pun kesempatan untuk menang.” Reegon tak kuasa lagi menahan amarahnya. Kembali dia melayangkan pukulan pada wajah sang adik. Berulang kali terus dia pukul dengan sekuat tenaganya, tak merasa kasihan sedikit pun meski berulang kali Aresta jatuh terjengkang di lantai. Wajah cantiknya sudah tak berbentuk lagi karena dipenuhi luka lebam yang mengeluarkan darah segar. “Kau akan menyesal karena sudah mengingatkanku pada kejadian kelam di masa lalu kita, Aresta. Kau akan menyesal,” ancamnya, dia cengkram rahang Aresta yang tengah terduduk lemas di lantai yang dingin. “PENGAWAL!!” teriak Reegon, memaksimalkan volume suaranya. Dia baru melepaskan cengkraman tangannya pada rahang Aresta begitu beberapa pengawal menerobos memasuki ruangan. “Ikat wanita sialan itu. Aku sendiri yang akan menginterogasinya,” titah Reegon, dengan seringaian yang tercetak jelas di wajah bengisnya. Aresta tak mampu melakukan perlawanan apa pun saat para pengawal membopong tubuhnya yang lemas tanpa tenaga. Mereka mengikat kedua tangan dan kakinya dengan tali tambang yang diikatkan pada tiang. Kepala Aresta terkulai ke samping kanan, lalu bergantian ke samping kiri. Rasa sakit pada wajahnya membuat kepalanya pusing luar biasa. Pandangannya mulai memburam, nyaris kehilangan kesadarannya. Dengan kedua mata sayunya, Aresta melihat Reegon berjalan mendekatinya dengan belati yang setia dia genggam. Pria itu memainkan ujung tertajam belatinya, tersenyum lebar menatap ke arah sang adik yang sudah tak berdaya. Pria kejam itu menggores-goreskan ujung belati pada wajah Aresta. Seketika kulit wajah itu pun robek, darah segar mulai menetes keluar. Ringisan kecil mengalun dari mulut Aresta yang robek di beberapa bagian. “Sekarang katakan padaku, dimana kau menyembunyikan Tregon dan Alegra?” tanyanya, dia menekan bagian tajam belati di wajah Aresta cukup dalam. “Aku tidak tahu,” jawab Aresta pelan, dengan sisa tenaga yang dia punya. Tak dia pedulikan lagi rasa sakit di wajahnya. “Kita lihat apakah jawabanmu akan tetap sama setelah merasakan sakit ini.” Aresta menyipitkan mata, melihat Reegon yang lagi-lagi menyeringai, dia tahu sesuatu yang lebih buruk akan segera menimpanya. Dan benar saja firasat buruk Aresta. Dia menjerit tak kuasa menahan sakit saat Reegon menusuk ujung jari-jari tangan Aresta dengan ujung belati di tangannya. “Dimana mereka?!” tanya Reegon lagi, sambil dia tekan ujung belatinya yang tengah menusuk ujung jari Aresta. Keringat bercucuran dari sekujur tubuh Aresta. Rasa sakitnya tak tertahankan. Dia merasa tubuhnya mulai panas dingin dan tak hentinya semua luka di tubuhnya berdenyut nyeri dan ngilu. Aresta menggelengkan kepalanya lagi. Reegon menggeram frustasi, lantas dia mencoba cara lain menyiksa Aresta. Dia mengambil sebuah tang yang tergeletak di atas meja. Dia memang sudah menyiapkan berbagai peralatan yang akan dia gunakan untuk menyiksa Aresta jika adiknya itu tetap tutup mulut. Salah satu benda itu adalah sebuah tang. Reegon memain-mainkan tang itu di depan wajah Aresta. Aresta terbelalak, kedua matanya melotot sempurna. Tubuhnya gemetaran, takut luar biasa saat membayangkan apa yang akan dilakukan kakaknya itu. “Jangan, Kak. Aku mohon,” pintanya lirih, dikala Reegon tiba-tiba melepas sepatu yang melekat di kaki Aresta. “Katakan dimana mereka maka aku akan berhenti.” “Aku tidak tahu. Aku benar-benar tidak tahu dimana mereka,” jawab Aresta, lelehan air mata mulai bercucuran dari kedua matanya. Padahal sejak tadi dia mencoba untuk tegar. Tapi kali ini dia tak sanggup lagi menahan air matanya yang sejak tadi memberontak meminta pembebasan. “Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!” Teriakan Aresta membahana. Tanpa merasa iba sedikit pun, dengan menggunakan tang itu Reegon mencabut kuku ibu jari kaki Aresta. “Cepat, katakan dimana mereka?!!” bentaknya. Dia sudah kehilangan kesabarannya. Aresta kembali menggelengkan kepalanya lemah. Detik itu juga, Reegon kembali mencabut kuku jari kaki Aresta yang lainnya. Terus seperti itu hingga Aresta yang sudah tak sanggup lagi menahan rasa sakitnya, akhirnya jatuh pingsan. “Bangunkan dia!!” teriak Reegon, pada beberapa pengawal yang berdiri di dalam ruangan. Tak ada yang berani membantah perintah Reegon, salah seorang pengawal menyiramkan seember air yang telah dicampur dengan garam tepat ke wajah Aresta. Seketika Aresta kembali tersadar. Napasnya tersengal-sengal karena air garam yang masuk ke dalam mulut, lubang hidung dan kedua matanya. Rasa perih akibat luka di wajahnya yang tersiram air garam kembali membuatnya menjerit kesakitan. “Hentikan. Aku mohon hentikan. Ini sakit sekali. Sakiiiit!!” teriak Aresta. Reegon tertawa terbahak-bahak, tampak puas menyaksikan penderitaan Aresta karena perbuatannya. Tawa itu sirna, kembali digantikan dengan geraman penuh amarah Reegon. Habis sudah kesabarannya menghadapi adiknya yang keras kepala itu. Dia mencengkeram rahang Aresta lagi, mengangkatnya agar pandangan mereka saling bertemu. “Katakan dimana Alegra dan Tregon berada sekarang, maka aku akan mengampunimu. Aku akan berhenti menyiksamu dan aku berjanji akan melepaskanmu.” Aresta tersenyum sinis, membuang ludahnya yang bercampur darah. Ludah itu mendarat sempurna di wajah Reegon. “Sialan! Dasar wanita keras kepala!” teriak Reegon, seraya dia tampar bertubi-tubi wajah Aresta. “Mati saja kau, dasar tidak tahu diuntung!” bentak Reegon lagi, dia pun melepaskan cengkeraman tangannya di rahang Aresta. “Pengawal!!” Detik itu juga beberapa pengawal berlutut di hadapannya. “Wanita sialan itu. Aku berikan dia untuk kalian. Siksa dia sesuka hati kalian. Jangan merasa sungkan hanya karena dia adikku. Mulai detik ini aku tidak mengakuinya sebagai adikku lagi,” titah Reegon. Aresta menegang di tempatnya. “Siksa dia sampai mati. Berikan kepalanya padaku sebagai bukti bahwa dia sudah mati.” Semua pengawal yang tengah berlutut itu menegakan tubuh mereka. Memasang wajah serius, siap sedia untuk menjalankan tugas yang diberikan junjungan mereka. “Cepat lakukan!!” “BAIK, YANG MULIA!!” sahut mereka bersamaan. Aresta bergerak-gerak lemah di tempatnya berdiri, begitu melihat para pengawal yang mulai melangkah mendekatinya. Tali tambang yang masih mengikat kedua tangan dan kakinya, membuat wanita malang itu tak sanggup melakukan perlawanan apa pun. “Jangan mendekat! Pergi kalian!” Sisa tenaganya, Aresta gunakan untuk meneriakan kata-kata itu. Reegon menyeringai puas, para pengawalnya langsung mengikuti perintahnya. Dia pun melangkahkan kakinya bersiap pergi dari ruangan. Dia percayakan masalah Aresta pada para pengawalnya. Di sisi lain, saat pengawal melepaskan tali tambang yang mengikat tubuhnya, seketika Aresta jatuh terduduk. Tubuhnya gemetaran tatkala melihat dirinya kini dikelilingi oleh para pengawal yang menatap lapar padanya. Tak ada belas kasihan atau rasa iba pada raut wajah mereka, seolah mereka telah kehilangan hati nurani sebagai manusia. Aresta mendorong salah satu pengawal yang merentangkan tangan ke arahnya hendak melepas gaun mewah yang dikenakan Aresta. Aresta berlari, menjauhkan diri dengan para pengawal yang kini tengah menertawakan tindakannya yang masih belum menyerah mempertahankan diri. Aresta tahu, dikepung oleh pria sebanyak itu, dia tak mungkin bisa menang. Dalam kepanikan itu tatapan matanya tertuju pada punggung Reegon yang semakin menjauh, nyaris sampai di pintu keluar. “Reegon!!” teriaknya. Reegon menghentikan langkahnya. Dengan disertai kernyitan di dahi, dia pun membalik badan menghadap ke arah sang adik. “Kau bukan manusia. Aku mengutukmu di sini, sebagai orang yang teraniaya karena perbuatanmu.” Aresta mengacungkan jari telunjuknya yang berlumuran darah di bagian ujungnya karena ditusuk belati, mengarah ke arah Reegon yang berdiri mematung. “Kau akan mati mengenaskan. Lebih mengenaskan dariku, Raja Argon dan Ratu Liliana. Lihat saja Reegon, suatu hari nanti keadilan akan ditegakkan.” Setelah mengatakan itu, Aresta berlari menjauhi para pengawal yang hendak menangkapnya. Dia berlari terpincang-pincang dan membenturkan kepalanya sekencang mungkin pada dinding. Aresta terjengkang ke belakang dan ambruk di lantai dengan keningnya yang berlumuran darah. Darah segar dari luka robek di keningnya ikut menempel pada dinding bercat putih s**u itu. Tubuhnya kejang-kejang hebat namun tak ada ringisan kesakitan yang terdengar keluar dari bibirnya. Ruangan dalam Montville castle itu menjadi saksi bisu atas kematian Aresta. Bibir wanita itu tersenyum kecil merasa bangga dengan dirinya yang berhasil menjaga keselamatan kedua keponakannya, dan yang terpenting dia tetap menjaga kehormatan sampai akhir hidupnya. “Dia meninggal, Yang Mulia,” ujar seorang pengawal yang memeriksa kondisi Aresta yang tengah terbujur kaku di lantai. Luka robek di keningnya yang menganga tak hentinya mengeluarkan darah segar. “Baguslah, dia memutuskan mengakhiri hidupnya sendiri. Memang inilah hukuman yang paling pantas untuk seorang pengkhianat sepertinya,” sahut Reegon, tak merasa iba sedikit pun dengan kematian adiknya yang mengenaskan. “Apa yang harus kami lakukan pada jasadnya, Yang Mulia?” “Bakar saja. Biarkan abunya lenyap bersama embusan angin. Tapi sebelum itu, penggal kepalanya dan gantung di gerbang pasar sebagai peringatan untuk semua rakyat agar tidak ada yang berani melawanku karena hukumannya adalah kematian.” “Baik, Yang Mulia.” Reegon tersenyum puas, kini tak ada lagi yang akan membahayakan tahtanya. Seluruh anggota keluarganya yang tersisa telah mati di tangannya. Ketika bayangan wajah Tregon dan Alegra tiba-tiba terngiang di kepalanya, Reegon berteriak frustasi. Dia kesal bukan main karena sampai akhir hidupnya, Aresta tetap merahasiakan keberadaan mereka. “Terus lakukan pencarian. Jangan berhenti sampai kalian menemukan Tregon dan Alegra. Jika perlu, cari mereka sampai ke ujung dunia,” titahnya, dengan memaksimalkan volume suaranya. “Siap laksanakan, Yang Mulia!!” sahut para pengawal, dengan serempak. Untuk terakhir kalinya, Reegon menatap kembali jasad Aresta yang terbujur kaku di lantai yang dingin. Tersenyum miring karena dirinya tak merasa bersalah apa lagi menyesal. Sebaliknya, dia puas melihat kematian Aresta. Reegon melangkah tegap, melanjutkan langkah kakinya yang sempat tertunda. Dia kepalkan kedua tangannya, bersumpah dalam hati akan menangkap dan membunuh kedua keponakannya, bagaimana pun caranya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD