FOUR

1839 Words
Kedua kuda itu berpacu pelan tampak mulai kelelahan. Namun Alegra dan Tregon terus memacu kedua kuda yang mereka tunggangi untuk terus berlari cepat. Di belakang mereka beberapa penunggang kuda lainnya tengah mengikuti mereka, berniat menangkap mereka lebih tepatnya. Alegra memekik saat salah satu lutut kudanya tiba-tiba melemas seolah kuda tersebut telah kehilangan seluruh tenaganya. Detik itu juga kuda tersungkur ke depan bersamaan dengan tubuh Alegra yang ikut terjatuh dari atas kudanya. Berguling-guling di tanah yang keras nan kotor. “Kakak ... tolong!!” teriaknya, suara ringisan kesakitan tak hentinya keluar dari mulut Alegra. Sempat tersentak kaget, Tregon melompat turun dari atas kudanya. Lantas dia hampiri sang adik yang tengah terentang di tanah. Bergegas membantunya untuk kembali berdiri. “Kau baik-baik saja?” tanya Tregon dengan cemas. Mendesis ngilu saat mendapati beberapa luka lecet yang mengeluarkan darah terlihat di siku tangan dan lutut adiknya. Bahkan wajah cantik sang adik mendapat sedikit goresan karena insiden ini. “Ayo kita pergi. Mereka masih mengejar kita.” “Aku tidak bisa berdiri kak. Seluruh tubuhku sakit sekali.” Alegra tak berbohong, dia memang merasa seluruh persendian di tubuhnya telah bergeser dari tempat semestinya. Namun Tregon tahu saat ini bukan waktu yang tepat untuk menerima penolakan sang adik. Dia abaikan penolakan adiknya, lantas dia membantu Alegra untuk berdiri. Berniat melangkah menuju kuda hitamnya, namun niatnya harus terhenti dikala menemukan kuda hitamnya terlihat jelas begitu kelelahan. Kuda itu berbaring miring di tanah, tak jauh berbeda dengan kuda putih milik Alegra yang sudah terjatuh lebih dulu. “Mereka kelelahan. Sudah seharian mereka terus berlari.” “Terus bagaimana? Apa yang harus kita lakukan kak?” Tregon menggulirkan kedua bola matanya ke sekeliling tempat mereka berada. Menegang tatkala melihat segerombolan prajurit istana yang mengejar mereka terlihat semakin mendekat. Tak ada waktu untuk berpikir, mereka harus secepatnya bersembunyi. “Kita pergi dari sini.” “Tapi kuda-kuda itu ...” kentara Alegra merasa iba melihat kondisi kuda kesayangan mereka yang nyawanya berada di ujung tanduk. “Kita tinggalkan mereka.” jawab Tregon, sukses membuat Alegra membulatkan kedua matanya. “Meninggalkan mereka? tidak bisa kak. Kita tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja.” “Percuma, mereka sudah tidak bisa berlari.” “Aku tidak mau meninggalkan mereka kak.” Sekali lagi Tregon abaikan penolakan sang adik, dengan mengerahkan seluruh tenaga yang dia punya, dia berlari seraya memapah Alegra agar ikut berlari bersamanya. “Tidak kak, aku tidak mau meninggalkan mereka. Mereka pemberian ayahanda.” Tak hentinya Alegra meronta, mencoba menjauhkan diri dari kakaknya. Dia ingin menghampiri kuda mereka yang sudah tak berdaya. Tak rela sekaligus tak tega jika harus menelantarkan mereka begitu saja. “Kakak!!” teriak Alegra, namun sang kakak tak menggubris ucapannya. Kedua tangan Tregon semakin erat memegangi tubuh adiknya. Memapah sang adik yang kesulitan berjalan. Dia terpaksa melakukan ini demi menyelamatkan nyawa mereka berdua. Jauh di dalam hatinya, Tregon pun merasakan sakit tiada tara karena harus meninggalkan kuda kesayangannya yang sudah bertahun-tahun bersamanya. Mereka berlari menaiki sebuah bukit, sengaja menjauh dari jalan utama agar para penunggang kuda di belakang mereka kesulitan mengejar mereka. Kuda tak mungkin bisa menaiki bukit ini. Mereka tampak kesulitan karena stamina Tregon yang mulai terkuras serta kondisi Alegra yang jangankan untuk berlari, sekadar berjalan pun mustahil bisa dia lakukan sendiri. Beberapa kali pegangan tangan Tregon pada tubuh sang adik terlepas. Beberapa kali pula Alegra harus berguling-guling di tanah bukit yang cukup terjal. Sesulit apa pun pelarian mereka, Tregon tak pernah sedetik pun meninggalkan sang adik. Orangtua mereka sudah tiada, kini hanya dirinya yang bisa melindungi Alegra. Akan dia lakukan apa pun agar Alegra bisa terus hidup meskipun harus dia korbankan nyawanya sendiri. Bagi Tregon yang terpenting sekarang adalah keselamatan adiknya. Entah itu ambisinya untuk balas dendam atau menegakkan keadilan, tak dia pikirkan lagi. “Sedikit lagi Alegra. Sedikit lagi kita bisa beristirahat.” Ucap Tregon menguatkan adiknya. Seulas senyum tersungging di bibir pria tampan itu, indera penglihatannya menangkap sebuah rumah mungil tidak jauh dari tempat mereka berada kini. Berharap dalam hati penghuni rumah itu berbaik hati mau membantu mereka melarikan diri dari para prajurit istana yang tak gentar mengejar mereka. Tanpa ragu Tregon membuka pintu rumah setelah berulang kali dia ketuk namun tak ada tanggapan apa pun dari sang penghuni rumah. Sontak keduanya membekap hidung mereka saat mencium bau busuk yang berasal dari dalam rumah begitu pintu terbuka lebar. “Permisi!!” teriak Alegra, merasa tak enak hati jika mereka menerobos masuk tanpa meminta izin pada pemilik rumah. Orangtua mereka selalu mendidik tatakrama dan kesopanan pada mereka. Terlebih mereka merupakan anggota keluarga kerajaan, tokoh penting yang dijadikan panutan seluruh rakyat kerajaan Vincentius. “Kita masuk saja.” ajak Tregon, sahutan mereka tak mendapatkan respon apa pun dari pemilik rumah. Tregon sangat yakin rumah itu kosong, lagipula mereka tak memiliki pilihan lain selain bersembunyi di rumah tersebut. Mengabaikan penolakan Alegra, Tregon kembali memapah adiknya memasuki rumah. Bau busuk semakin tercium dikala kedua kaki mereka semakin masuk ke dalam rumah. Sepasang saudara kandung itu menggulirkan bola mata ke sekeliling rumah. Kondisi rumah itu tampak tak terawat meskipun perabotan yang tertata di dalam rumah cukup menjadi bukti bahwa rumah itu memang berpenghuni. Tregon melangkah meninggalkan sang adik yang berdiri sambil berpegangan pada kursi kayu. Pria itu melihat beberapa lalat beterbangan menuju satu titik. Rasa penasarannya mulai naik ke permukaan. Lagipula aroma busuk ini ditambah beberapa lalat yang beterbangan membuat Tregon mencurigai sesuatu. Tregon menarik napas panjang dengan tatapannya yang tak lepas dari sebuah ruangan. Dia yakin bau busuk itu berasal dari ruangan tersebut. “Kak, mau kemana?” tanya Alegra namun diabaikan sepenuhnya oleh Tregon. Pria yang berstatus sebagai putra mahkota kerajaan Vincentius itu terus melangkah memasuki ruangan. Dia bekap mulut beserta hidungnya saat sudah tiba di dalam ruangan. Bau busuk itu semakin menyengat. Mendesis lirih saat indera penglihatannya melihat dua tengkorak dalam kondisi berpelukan tengah duduk bersandar pada dinding di atas ranjang. “Jangan ke sini Alegra.” Titah Tregon, ekor matanya melihat pergerakan Alerga yang berjalan tertatih-tatih menghampirinya. Tregon memijit pelipisnya yang berdenyut, tentu saja sang adik tak mungkin menuruti perkataannya begitu saja. Lihatlah ... Alegra terus berjalan tertatih semakin mendekat ke arahnya. “Kyaaa!!” teriak Alegra. Dia bekap mulutnya dengan kedua mata yang siap melompat dari kelopaknya, kini pemandangan dua tengkorak itu pun sudah disaksikan oleh Alegra. “Mereka pasti penghuni rumah ini.” “Kenapa mereka bisa mati seperti ini?” tanya Alegra heran. Melihat kondisi kedua tengkorak itu yang saling berpelukan, bisa dia pastikan mereka memang sudah merencanakan kematian mereka. Mungkinkah mereka bunuh diri? “Jika melihat keadaan di depan rumah, aku rasa mereka sudah menyerah untuk hidup.” “Kenapa bisa mereka menyerah untuk hidup?” “Kau lihat sendiri kan keadaan di halaman rumah, tanahnya berantakan seperti habis digali dengan paksa?” Alegra menganggukan kepalanya, dia pun menyadari kebenaran perkataan kakaknya. Dia juga memang melihat kondisi tanah yang berantakan di sekeliling rumah. “Mungkin itu ulah prajurit istana yang mengambil paksa hasil panen mereka. Mereka tidak punya apa-apa lagi, terlebih hidup di daerah terpencil seperti ini, menurutmu bagaimana mereka bisa melanjutkan hidup mereka?” “Jadi mereka memang bunuh diri.” Tregon mengangguk, setidaknya itulah kemungkinan yang paling logis menurutnya. “Mereka mati karena kelaparan. Ayahanda benar-benar telah ditipu mentah-mentah oleh menteri-menterinya. Mereka melaporkan pada ayahanda bahwa rakyat hidup sejahtera, nyatanya sangat jauh berbeda. Banyak rakyat yang hidup susah dan menderita.” “Semua ini paman Tregon yang menjadi dalangnya kan? Pasti dia yang merencanakan semua ini, lalu memfitnah ayahanda agar mendapat dukungan dari rakyat.” Sahut Alegra ikut mengutarakan argumennya. “Jangan memanggilnya paman lagi Alegra. Si b*****h itu bukan paman kita lagi. Dia itu musuh utama kita. Karena dia orangtua kita meninggal. Dan kita harus hidup sebagai buronan seperti ini. Suatu hari nanti aku pasti akan membunuhnya dengan tanganku sendiri.” Tregon mengepalkan kedua tangannya erat dengan wajah memerah sempurna menahan emosi. “Aku akan selalu mendukung kakak. Aku yakin suatu hari nanti kakak pasti bisa menegakkan keadilan.” Keduanya mencoba tersenyum, menguatkan tekad masing-masing. Ketika tiba-tiba mereka mendengar suara langkah kaki banyak orang yang mendekat ke arah rumah. “Itu pasti prajurit istana.” “Bagaimana ini kak? Jangan sampai mereka menangkap kita.” Alegra panik luar biasa, tak tahu harus melakukan apa agar mereka bisa selamat kali ini. Berbeda dengan Tregon yang masih mampu berpikir jernih dalam kondisi memanas seperti ini. Dia tarik tangan Alegra, membawa sang adik secepat yang dia bisa untuk bersembunyi di bawah ranjang dimana kedua tengkorak berada. Di dalam ruangan menyerupai kamar itu, hanya tempat itulah satu-satunya celah yang bisa mereka gunakan untuk bersembunyi. Tregon membekap mulut sang adik saat para prajurit mulai memasuki rumah. Alegra sendiri tengah berusaha mati-matian agar suara isakannya tidak terdengar keluar. Rasa takut yang dia rasakan sontak membuat air mata itu berjatuhan dengan sendirinya. Bisa dipastikan nyawa mereka tidak akan selamat jika sampai para prajurit itu berhasil menangkap mereka. “Uuh ... bau apa ini?” ucap salah seorang prajurit. Serentak mereka semua membekap hidung mereka karena aroma busuk yang menusuk indera penciuman mereka. “Cepat geledah seisi rumah. Aku tidak tahan dengan bau busuk ini.” Titah prajurit lain yang sepertinya memiliki jabatan paling tinggi dibandingkan prajurit yang lainnya. Serempak para prajurit itu pun memulai pencarian mereka. Mereka singkirkan semua perabotan yang ada di dalam rumah. Mereka menendangnya, menggesernya bahkan ada yang sengaja mereka rusak. Begitu salah seorang prajurit masuk ke dalam ruangan tempat Tregon dan Alegra bersembunyi, seketika tubuh kedua bersaudara itu menegang. Tregon semakin membekap mulut Alegra yang tak hentinya terisak. “Ssssttttt...” desis Tregon pada sang adik seraya dia letakan jari telunjuk di depan mulutnya. Kedua bersaudara ini semakin beringsut ke dalam, kaki sang prajurit tepat berada di dekat mereka. Jika sang prajurit berjongkok dan mengintip ke dalam celah ranjang maka tamatlah riwayat mereka berdua. Tregon memutar otaknya dalam keadaan tegang itu, berusaha mencari jalan keluar seandainya prajurit itu berhasil menemukan mereka. “Huuh ... jadi ini sumber bau busuknya.” Dengus si prajurit saat dirinya mendapati kedua tengkorak dalam posisi sedang berpelukan di atas ranjang. Tregon dan Alegra menegang seketika tatkala melihat pergerakan sang prajurit yang tampaknya hendak berjongkok memeriksa tempat persembunyian mereka. Tubuh Alegra gemetaran hebat. Peluh meluncur mulus di pelipis Tregon yang tak kalah panik dengan sang adik. “Woii ... ayo pergi. Mereka tidak ada disini.” Salah seorang prajurit tiba-tiba menerobos masuk, seketika membuat Alegra dan Tregon mengembuskan napas lega. “Jadi ruangan ini ya sumber baunya?” “Ya, sepertinya mereka mayat pemilik rumah ini.” “Ayo cepat pergi, aku tidak tahan mencium baunya.” Si prajurit yang hendak mengintip ke bawah tempat tidur itu mengedikkan bahunya. Lantas dia pun berdiri, melangkahkan kaki mengikuti rekannya yang sudah berjalan lebih dulu di depannya. Setelah memastikan kondisi rumah telah sepi, Tregon merangkak keluar dari tempat persembunyiannya. Berlari ke arah tengah rumah guna memastikan sekali lagi bahwa semua prajurit telah pergi. Lalu dia pun kembali untuk membantu Alegra keluar. “Mereka sudah pergi.” ucapnya menenangkan Alegra yang masih gemetaran hebat. “Aku takut kak.” Tregon menatap adiknya sendu, memeluknya erat seraya dia elus puncak kepala sang adik. Dia bisa memahami perasaan Alegra, walau bagaimana pun Alegra terbiasa hidup mewah di dalam istana. Namun kini hidupnya seolah jungkir balik, bahkan sekadar mempertahankan nyawa pun butuh perjuangan keras. “Bertahanlah Alegra, jangan pernah menyerah. Kita pasti bisa melewati kesulitan ini bersama sampai akhir. Kebenaran akan selalu keluar sebagai pemenang.” Alegra tak merespon, gadis itu masih setia terisak dalam pelukan kakaknya. “Aku percaya pada kakak. Aku tidak pernah ragu pada kemampuan kakak. Kakak pasti bisa menegakan keadilan suatu saat nanti.” “Jika pun aku tidak bisa, kau lah yang harus menggantikan kakak. Alegra ... sebenarnya kau gadis yang kuat. Bahkan lebih kuat dari kakak.” Alegra mengangguk. Benar yang dikatakan kakaknya, dia tak boleh menyerah hanya karena rintangan seperti ini. Alegra bersumpah di dalam hatinya akan menjadi orang yang tangguh dan tegar. Demi orangtuanya yang mati dengan cara mengenaskan. Demi kerajaannya yang telah direbut orang-orang jahat. Dan demi mendapatkan kehidupan layak di masa depan nanti, Alegra rela melakukan apa pun agar bisa mewujudkan semua itu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD