episode 2

1928 Words
After School Bab 2   Cindy meletakkan tasnya di atas tempat tidur, gadis itu merogoh kantung kecil yang terdapat di dalam tas yang terlihat usang itu. Diambilnya beberapa lembar uang yang ia ambil dari warung di dekat sekolah hasil menitipkan makanan pagi tadi. Ditatanya lembar demi lembar, tak banyak, jumlahnya hanya sekitar tujuh puluh ribu rupiah. “Cindy!!!” teriak Bu Wicaksana, yang tak lain adalah ibu kandung Cindy. Ya, Cindy hanya tinggal berdua dengan ibunya. Ayahnya meninggal dunia, ketika Gadis itu baru berusia satu tahun. Dan ibunya memilih membesarkan putri semata wayangnya itu sendirian. Cindy tidak pernah melarang ibunya jika ingin menikah kembali, namun wanita itu seolah telah menetapkan hatinya pada satu laki – laki, yaitu Jun Wicaksana, suaminya yang telah tiada. Semenjak kepergian sang suami, wanita itu bekerja keras untuk memenuhi kehidupan mereka berdua. Cindy yang masih bayi, harus ia bawa kemanapun ia pergi. Sekalipun semua terasa begitu berat untuk ia jalani. “Ya, bu. Ini uang dari jualan pagi tadi,” Cindy mengulurkan lembaran uang itu. “Habis makanannya?” tanya ibunya dengan senyum yang begitu ramah. “Habis, bu. Lumayan.” “Sekarang kita makan dulu, nanti malam bantu ibu lagi membuat makanan untuk dijual besok,” kata Bu Wicaksana sambil mengambil nasi dan lauk untuk putrinya. Cindy meneguk segelas air, lalu mulai menikmati makan siang yang bisa dibilang sederhana itu. “Bagaimana sekolahmu, Cin?” tanya wanita berusia 42 tahun itu. “Tidak ada masalah, bu. Cindy belajar dengan baik, sekolah sudah memberi beasiswa, Cindy tidak akan membuat kecewa.” Wanita itu tersenyum, mengusap rambut putrinya dengan lembut, “ibu bangga padamu, ibu akan bekerja lebih giat lagi supaya nanti kamu bisa kuliah.” Cindy menggeleng, “tidak, bu. Cindy akan bekerja setelah lulus SMU. Setelah Cindy lulus dan mendapat pekerjaan, maka ibu tidak perlu lagi bersusah payah membuat makanan. Karena Cindylah yang akan memenuhi kebutuhan kita,” kata Cindy dengan senyum manis di bibirnya. “Tapi, nak, sekarang ini sedikit sulit untuk mendapat pekerjaan dengan ijasah itu. Selain itu ibu ingin kamu mendapatkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi.” Tukas ibunya. “Ibu jangan cemas, Cindy pasti mendapatkan pekerjaan. Dan jika nanti Cindy bisa menabung, maka Cindy  akan mengambil kuliah kelas malam, selain itu Cindy akan berusaha mendapatkan beasiswa lagi.” “Baiklah, lakukan semua yang baik untuk masa depanmu. Ibu akan mendukung semua keputusanmu itu, nak.” Cindy tersenyum, kembali mengunyah makanan itu dengan lahap.   .......................   Sementara itu di rumah Deo   “Deo, ibu kan sudah bilang kalau ibu dan ayah sudah sepakat menjodohkanmu dengan Celine. Tapi apa yang kau lakukan? Kau menolak gadis itu begitu saja?” Deo yang sedang asyik dengan ponselnya menoleh, menatap tajam ibunya yang kini duduk di hadapannya itu, “apa aku pernah mengatakan setuju untuk rencana kalian? Aku sama sekali tidak menyukai Celine, gadis bule itu selain dia bodoh juga sangat arogan. Apa ibu ingin memiliki menantu seperti dia?” jawab Deo kesal. “Deo, kami tahu soal itu. Celine memang gadis yang angkuh, tapi orangtuanya memiliki aset yang besar, selain itu perjodohan ini juga akan berpengaruh besar bagi perusahaan kita. Jadi, apa salahnya dengan itu?” kata wanita setengah baya yang masih terlihat elegan itu. “Aku sama sekali tidak menyukainya, apakah ibu menikah dengan ayah juga karena dijodohkan?” kata Deo, membuat mata wanita itu membulat. “Tentu saja tidak,” sahut ayah Deo dari belakang istrinya, “kami menikah karena saling mencintai.” “Ayah, tapi itu berbeda.” Kata istrinya. “Apa yang berbeda, sayang? bukankah pernikahan itu sebaiknya dilandasi rasa saling mencintai? Jika tidak, bagaimana mereka akan menjalani kehidupan setelah pernikahan itu? Deo, putra tunggal kita, sebentar lagi dia beranjak dewasa. Biarkan saja dia menentukan jalan hidupnya sendiri.” Tukas suaminya. “Tapi kemarin ayah setuju, kan? Waktu keluarga kita bertemu dengan keluarga Celine? Kenapa sekarang ayah berkata seperti ini?” protes istrinya. “Ayah tidak mengatakan apa – apa, ayah hanya diam dan mengangguk saja. Itu hanya sebagai rasa hormat terhadap tamu. Bukankah begitu?” sahut laki – laki itu dengan senyum di bibirnya. Deo tersenyum merasa puas dengan kata – kata ayahnya. Pemuda itu kembali menatap ponselnya, sudah berapa kali ia berusaha menemukan akun media sosial milik Cindy. Namun semua usahanya terasa sia – sia. Ada begitu banyak nama Cindy yang muncul ketika ia mengetik nama itu. “Deo, ibu sedang bicara!” kata wanita itu lagi. Kali ini dengan suara mengeras. “Aku juga sudah menjawab, kan, ibu? Apalagi?” sahut Deo. “Sudahlah, sayang, kita jangan memaksanya. Lagipula masa depan Deo masih panjang, terlalu dini untuk membicarakan soal itu.” kata suaminya. “Aku tahu, ayah. Tapi mereka bisa tunangan dulu.” Kata istrinya. Deo yang merasa jengah dengan ucapan ibunya, memilih pergi. Meraih jaket dan kunci motornya. Kemudian pergi mengendarahi motor itu. “Lihat, kan? Anak nakal itu, lagian ayah juga membelanya.” Kata wanita itu dengan raut cemberut. “Sayang, aku hanya tidak ingin mengorbankan Deo untuk kepentingan perusahaan. Lagipula kondisi perusahaan kita juga baik – baik saja. Tanpa perjodohan ini-pun, perusahaan tidak akan gulung tikar.” “Tapi aku ingin Deo menikah dengan wanita yang sederajad, apa kata teman – temanku kalau Deo sampai menikah dengan wanita yang berasal dari keluarga tidak jelas?” Lelaki yang bernama Sasmita itu hanya menggeleng heran, kemudian pergi masuk ke dalam kamarnya. .........................................   Deo berhenti di depan rumah Gea, pemuda itu menekan bel beberapa kali sampai akhirnya Gea muncul dengan wajah sedikit kusut. Gea cukup terkejut melihat siapa yang datang. Ini adalah kali pertama Deo mendatangi rumahnya itu. “Deo?” kata Gea heran. “Hmm, aku datang hanya untuk meminta nomer telephone Cindy, kau pasti punya, kan?” kata Deo tanpa basa basi. “Apa?” “Iya, kenapa?” “Jadi benar ya kalau kau menyukai Cindy?” “Apa kelihatannya begitu?” Deo tersenyum. “Entahlah, tapi sebaiknya jangan Cindy.” Kata Gea cemas. “Hah? Kenapa?” tanya Deo heran. “Ka...karena Cindy, maksudku karena kau...kau tidak layak untuk gadis sebaik Cindy.” “Apa maksudmu, Gea? Aku tidak pantas untuk Cindy? Hey, kau membuatku merasa aneh. Apa yang tidak pantas?” kata Deo yang mulai marah. “Semua orang tahu siapa kau, Deo.” Ucap Gea. “Playboy? Begitu kan, yang kau dengar? Semua itu bohong, apa kau pernah melihatku mempermainkan perempuan? Siapa?” kata Deo. Gea menggeleng, “tidak.” “Kalau begitu, jangan percaya rumor yang tidak ada buktinya. Sekarang berapa nomernya?” “Cindy tidak memiliki ponsel.” Jawab Gea lirih. “Apa? Kau pasti berbohong.” “Tidak. Dia memang tidak  punya. Jangankan ponsel, untuk bisa makan setiap hari saja sudah bagus.” Kata Gea, yang kemudian masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan Deo yang diam terpaku di sana. .......................................   Pagi itu matahari bersinar redup. Awan kelabu bergayut di langit – langit Tuhan. Cindy berlari kecil, menghindari gerimis yang mulai jatuh. Gadis itu terlihat berusaha melindungi keranjang makanan yang ia bawa. Seperti biasa, Cindy masuk ke dalam kantin di dekat sekolahnya untuk mengantar penganan buatan ibunya. “Hari ini ditambah sedikit ya, bu?” kata Cindy dengan senyum cerah melengkung di bibirnya. Cindy dengan tubuh mungilnya itu, berlari menuju sekolah, dengan tas yang ia gunakan sebagai penutup kepala. Sebagian tubuhnya mulai basah, terguyur hujan yang mulai deras. “Cin...Cindy,” Deo berlari menghampiri Cindy dengan payung di tangannya. “Ayo, pakai ini,” kata Deo dan berjalan di samping gadis itu. “Terimakasih,” jawab Cindy lirih. Dan berjalan menuju sekolah. “Ngomong – ngomong, kamu setiap pagi masuk ke warung itu ngapain, Cin?” tanya Deo penasaran. “Aku titip makanan di sana, buatan ibuku.” Kata Cindy dengan senyum manisnya. Deo menatap Cindy dari sudut matanya, ia tidak menyangka jika gadis yang menarik perhatiannya ini harus berjuang demikian rupa untuk bertahan hidup. Itulah mengapa Cindy berusaha keras untuk mendapatkan beasiswa setiap tahunnya. “Aku salut sama kamu, Cin. Ehm, kapan – kapan boleh ngak aku main ke rumah?” tanya Deo. Cindy berhenti, merasa terkejut dengan perkataan itu, “ke rumahku? Tapi...” “Ayo, nanti terlambat lagi,” kata Deo, meraih tangan Cindy dan membawa gadis itu berlari masuk ke dalam kelasnya. “Aku masuk dulu, ya? Terimakasih untuk payungnya.” Kata Cindy dan bergegas masuk ke dalam kelasnya, sementara Deo tersenyum kecil dan pergi menuju kelasnya sendiri. “Sssttt, Cin,” panggil Gea yang duduk di belakang Cindy. “Hmm, kenapa? Kau mau tanya kenapa aku bisa bareng Deo?” jawab Cindy, yang mendapat kekehan dari Dania, “kepo, sih,” “Ah, kau juga kan, Dania.” Kata Gea kesal, mencubit punggung Dania dan gadis itu mengaduh kesakitan. “Tadi kebetulan Deo lagi di halaman, dia lihat aku kehujanan dan menawarkan payung. Cuma itu aja,” jawab Cindy dan kembali sibuk dengan pelajarannya. ...............................   Siang itu, seusai sekolah Cindy berjalan menuju warung, seperti biasa ia harus mengambil uang hasil penjualan makanan tadi pagi. Gadis itu terpaksa lewat jalan di belakang sekolah, karena halaman sekolah masih digenangi air hujan yang cukup tinggi. Sementara Cindy harus menjaga satu – satunya sepatu kets yang ia miliki. Ketika Cindy berjalan di lorong panjang itu, dilihatnya Celine bersandar di dinding, bersama Laras juga Rena. Cindy menghentikan langkahnya, perasaannya mulai tidak enak. Hari ini, Dania dan Gea pulang lebih dulu dan itu membuat Cindy harus berjalan sendirian. “Hei, cewek kampung, ke mari!” ujar Celine, yang berdiri dengan berkacak pinggang. Cindy diam, perlahan ia memilih berjalan mundur. Bagaimanapun juga ia tahu perangai buruk gadis itu. ketika Cindy berniat melarikan diri, tiba – tiba Celine berlari mengejar gadis itu, dan berhasil meraih lengannya. Cindy yang merasa cemas, hanya berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Celine yang begitu kuat. “Cel, mau apa, sih. Lepasin!” pinta Cindy. “Heh, kalian bukannya bantu malah diam saja,” ucap Celine kepada Laras dan Rena yang hanya berdiri menatap mereka berdua. “Kita ngak ikut – ikutan, Cel.” Kata Laras, menarik Rena mundur ke belakang. “Oh, oke. Kalian aku keluarkan dari Sweet rabbit!” teriak Celine, sambil mencengkeram lengan Cindy, semakin kuat. Membuat Cindy berteriak. “Toolloongggg!!!!!” Suara teriakan Cindy memecah seantero ruangan, membuat siapa saja yang mendengar berlari menuju suara itu. begitu juga dengan Deo. Deo yang sejak tadi mencari keberadaan Cindy, langsung mengenali suara itu. ia berlari menuju lorong di belakang sekolah tersebut. “Cindy!” teriak Deo, berusaha melepaskan tangan Celine dari lengan Cindy. Celine yang merasa kesal dan sangat marah, menampar wajah Cindy, begitu ia melepaskan cengkeramannya itu. Cindy yang terkejut, hanya bisa menahan sakit di wajahnya. “Cel, kau gila!! apa yang kau lakukan?” bentak Deo, membawa Cindy ke belakang tubuhnya yang kekar. “Aku sudah memberimu peringatan, tapi kau tak peduli!” kata Celine dengan suara keras. “Peringatan? Kau memang tidak waras, Cindy sama sekali tidak ada hubungannya dengan kita. Aku sudah menolak perjodohan itu, jadi jangan ganggu aku lagi. Kalau sampai ini terjadi lagi, maka aku sendiri yang akan menjadi lawanmu!” kata Deo sambil menarik tangan Cindy pergi. “Deo!!!!!!! Aku marah, aku benar – benar marah!!!!” .................................................. “Mana yang sakit, Cin?” tanya Deo, setelah mereka duduk dan memesan segelas teh di warung itu. “Hanya sedikit perih, kenapa dia terlihat benci sama aku, ya?” tanya Cindy, menyesap tehnya. “Ini salahku, aku minta maaf.” Kata Deo menyesal. “Salahmu? Kenapa?” “Keluarga kami ingin menjodohkanku dengan Celine. Tapi aku menolaknya. Aku tidak pernah menyukai Celine, gadis itu benar – benar manja dan tingkahnya juga buruk. Apa yang harus disukai darinya? Dan mungkin, karena aku sering terlihat bersamamu, maka dia cemburu.” Jelas Deo. “Cemburu? Tapi aku, aku tidak....” Cindy berhenti bicara, ia menatap Deo yang juga menatapnya lembut. Mata itu seolah ingin mengatakan sesuatu. Apakah benar, apa yang diucapkan Dania beberapa waktu yang lalu, jika Deo menyukainya? “Tidak, itu tidak mungkin,” kata Cindy tiba – tiba. Mengalihkan matanya dari wajah Deo. “Apa yang tidak mungkin, Cindy?” tanya Deo, tersenyum lembut. “Bukan apa – apa. Aku harus pulang, ibuku pasti sudah menunggu.” Cindy berdiri setelah memberikan selembar uang kepada pemilik warung itu. “Cin, aku antar.” Deo berlari ke arah motornya, mengambil helm dan memberikannya kepada Cindy. “Tapi,” jawab Cindy, merasa ragu menerima helm itu. “Ayolah, Cin. Aku ngak akan macem – macem kok.” Kata Deo dengan senyum manis di wajahnya. Melihat senyum itu, akhirnya Cindy-pun menerimanya. Dan ini adalah pertama kalinya Deo mengantar gadis itu pulang. Ada senyum kebahagiaan di wajah Deo, ia tidak pernah menyangka jika bisa sedekat ini dengan Cindy. Sekalipun ia tahu, Cindy belum menerima kehadirannya atau Cindy hanya belum menyadari perasaannya saja? Siang itu, mentari mulai menampakkan dirinya, sekalipun udara masih terasa sedikit dingin. Deo melajukan motornya dengan hati – hati, melewati jalanan sempit yang basah karena hujan tadi pagi. “Masuk ke sana, Cin?” tanya Deo, ketika dilihatnya jalanan itu berlumpur. Cindy mengangguk, “aku turun di sini saja, sayang kalau kotor.” Jawab Cindy. “Apanya Cin? Jangan turun. Aku akan mengantarmu sampai ke depan pintu.” Kata Deo, dan perlahan mulai menjalankan lagi motornya. “Tapi, Deo...” “Udah, ngak papa. Kalau kotor bisa dicuci, kan?” Deo tersenyum, dan perlahan masuk ke dalam perkampungan itu, tempat di mana Cindy dan ibunya tinggal.              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD