episode 3

1356 Words
After School Bab 3   Wanita setengah baya itu membuka pintu, ketika didengarnya suara motor berhenti di sana. Dilihatnya Cindy, putrinya turun dari motor itu bersama dengan teman lelakinya. Bu Wicaksana mengerutkan kening, tidak biasanya Cindy pulang bersama teman laki-laki. Apalagi teman seperti Deo. “Selamat siang, tante,” sapa Deo berjalan ke arah Bu Wicaksana. Wanita itu tersenyum, kemudian tatapannya beralih kepada Cindy yang hanya diam terpaku. “Maaf, apa kamu teman sekolahnya Cindy?” tanya Bu wicaksana ramah. Deo mengangguk, “benar, saya Deo, teman sekolah Cindy.” “Oh, begitu. Mari, nak, masuk dulu. Terimakasih sudah mengantar putri ibu pulang. Panggil saja ibu, jangan tante.” Wanita itu tersenyum lagi, kemudian masuk ke dalam diikuti Deo juga Cindy. “Cin, ambilkan Deo minum. Oh, ya, di dapur ibu baru saja membuat pisang goreng. Kamu bawa sekalian, ya?” Bu wicaksana kemudian duduk, menatap Deo yang terlihat sedang mengamati rumahnya itu. “Ya, beginilah rumah Cindy, Nak Deo. Sederhana dan kecil, tapi ini adalah rumah warisan dari ayahnya dulu. Hasil keringat selama bertahun – tahun.” “Rumah ini indah dan nyaman, entah mengapa ada rasa hangat di dalam rumah ini.” Kata Deo, membuat wanita itu tersenyum kembali. “Ibu belum pernah mendengar Cindy bercerita soal teman laki – lakinya, jadi ibu cukup terkejut ketika dia pulang bersama Nak Deo.” “Ibu, Deo hanya kebetulan saja lewat, jadi dia memberi tumpangan.” Kata Cindy yang tiba – tiba muncul dari dapur dengan nampan makanan di tangannya. Cindy meletakkan nampan itu, lalu mengeluarkan sepiring pisang goreng dan segelas teh hangat. “Kalau gitu, ibu masuk dulu. Ibu masih harus mengolah makanan pesanan tetangga.” Bu wicaksana berdiri dari kursinya, lalu melangkah ke dapur. Cindy duduk di hadapan Deo, dan baru kali ini, ia benar – benar menyadari wajah Deo yang begitu tampan. “Deo, terimakasih sudah mengantar pulang.” Kata Cindy pelan. “Hmm, mungkin ini kebetulan, tapi aku memang ingin tahu kau tinggal di mana. Apa kau hanya tinggal berdua dengan ibumu?” Cindy mengangguk, “ayah sudah lama tiada, bahkan sebelum aku sempat mengenalnya.” Deo mengernyit, “Maksudmu saat kau kecil? Atau saat kau belum lahir?” “Saat usiaku satu tahun, itu yang dikatakan ibu.” Deo menatap Cindy, entah mengapa ia mampu merasakan apa yang dirasakan Cindy saat ini, kehilangan sosok ayah yang seharusnya menjadi pelindung di dalam keluarganya. “Jadi, selama ini kau hidup seperti ini. Itukah yang menyebabkan kau harus membantu ibumu setiap hari?” kata Deo prihatin. Selama ini Deo, sebagai putra tunggal seorang konglomerat tidak pernah merasakan apa yang dirasakan Cindy. Semua yang ia butuhkan tersedia di depan mata. Apa yang ia inginkan selalu terpenuhi. Semua terasa begitu mudah bagi Deo dan keluarganya. Tapi ada satu hal yang tidak ia miliki, yaitu cinta ibunya. Ibunya adalah salah satu wanita sosialita dari sekian banyak wanita. Kehidupannya yang glamor dan mewah membuatnya tidak pernah memahami Deo, seluruh waktunya habis untuk kehidupan sosial yang katanya penting itu. Deo sendiri tumbuh di bawah asuhan seorang pengasuh. Dan sekarang, wanita yang ia sebut ibu itu, yang tidak pernah mengerti tentang perkembangannya dulu memaksanya untuk bertunangan dengan orang yang tidak pernah ia sukai. Dan seperti biasa, dia selalu ingin memaksakan kehendaknya. “Hmm, itu sebabnya aku sering terlambat ke sekolah. Tapi itu bukan masalah, aku tetap harus membantu, kan?” Deo tersenyum, merasa malu dengan semua keadaan yang ada. “Diminum, Deo, nanti keburu dingin. Kebetulan tetangga mengadakan acara, mereka memesan beberapa camilan dari ibu. Ayo, cicipi.” Kata Cindy sedikit cangung. “Oh, tentu. Besok kalau keluargaku memiliki acara, aku akan rekomendasikan masakan ibumu, pisang ini enak....enak sekali,” kata Deo sambil mengunyah makanannya. “Terimakasih,” kata Cindy, menatap Deo yang terlihat asyik dengan hidangan sederhana itu. ..................................   “Ehm, Cin,” Deo membuka tasnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. “Aku membeli ini untukmu, tolong diterima, ya?” Deo menyodorkan sebuah handphone di hadapan Cindy. “Apa? Kenapa?” tanya Cindy tak mengerti. “Supaya aku mudah menghubungimu. Di dalam handphone ini ada nomerku.” Kata Deo lirih. “Tapi, ini sangat mahal. Aku ngak bisa.....” “Aku mohon, Cindy. Anggap ini sebagai hadiah persahabatan kita.” Kata Deo dengan senyum tulus dari wajahnya. Cindy menatap Deo, ia benar – benar merasa ragu untuk menerima hadiah sebesar itu. selama ini Cindy bahkan tidak berani berharap untuk memiliki sebuah handphone, namun sekarang benda itu ada di hadapannya. “Ayolah, Cin. Aku tidak berniat jahat. Lagipula dengan gawai ini, kau bisa menghubungi mereka kapan saja. Kau juga bisa menghubungiku saat kau membutuhkan bantuan. Aku akan dengan senang hati membantumu.” Kata Deo memaksa. “Terimakasih, Deo. Aku akan menerimanya sebagai tanda persahabatan. Seperti katamu,” jawab Cindy, mengambil gawai itu. Deo tersenyum lega, akhirnya ia memiliki kesempatan untuk lebih dekat dengan Cindy. Kapanpun ia mau. “Tapi, apakah tidak masalah kalau kita berteman?” tanya Cindy lirih. “Oh, kenapa? Apa ini soal Celine?” Cindy mengangguk lemah, “aku takut, dia akan melakukannya lagi.” “Tidak, aku akan menjagamu. Dia tidak akan melukaimu.” Jawab Deo tenang. Deo tersenyum, menatap Cindy dengan pandangan berbeda. Jelas terlihat dari mata pemuda itu jika ia sedang dimabuk cinta. “Jadi, begini ya rasanya,” kata Deo tiba – tiba. “Apa? Apa cemilan ibuku...?” “Tidak...tidak. Aku hanya merasa sangat bahagia.” Cindy menatap Deo tak mengerti, kenapa dia merasa sesenang itu. Semua terlihat jelas di wajahnya. Bibir yang selalu tersenyum, membuat jantung Cindy mulai berdegup tak beraturan. Cindy menyentuh dadanya, ia merasakan jantung itu memang berdetak kencang di sana. Gadis itu memalingkan tatapannya dari wajah Deo, menunduk menatap lantai seolah ingin menyembunyikan rona merah di pipinya. “Cin,” Cindy menoleh ketika Deo memanggilnya lirih. “Besok, aku jemput ya ke sekolah. Jadi, kamu ngak akan terlambat lagi?” kata Deo, yang mendapat tanggapan ekpresi terkejut dari Cindy. “Loh, kenapa? Kok kaget?” kata Deo lagi, yang mulai cemas akan penolakan Cindy. “Ehm, kayaknya aku berangkat sendiri aja, Deo. Aku harus mampir ke beberapa warung untuk menitipkan dagangan ibu.” Jawab Cindy. “Nah, kalau kamu bareng aku, kamu akan lebih cepat sampai ke warung – warung itu, kan? Jadi, akan cepat juga sampai ke sekolah. Apalagi sekarang musim hujan, kalau dagangan ibumu basah bagaimana?” “Benar kata Nak, Deo,” sahut ibu Wicaksana, yang muncul dari arah dapur.” “Ibu mengizinkan kalau saya menjemput Cindy ke sekolah?” kata Deo dengan senyum manis itu. Wanita itu mengangguk, “saya lihat Nak Deo ini anak yang baik dan bertanggung jawab, juga sopan. Ngak ada salahnya kamu berteman dengan banyak orang kan, Cin?” “Tapi, bu, Cindy hanya merasa....” “Ngak usah sungkan, Cin. Aku janji ngak akan macem – macem kok. Aku Cuma pengen berteman baik denganmu.” Jelas Deo. Ibu Wicaksana tersenyum, sambil menyodorkan sepiring nasi goreng di hadapan Deo, dan sepiring untuk putrinya, “kalian makan dulu, ini sudah hampir sore. Ibu akan istirahat sebentar,” kata wanita itu kemudian masuk ke dalam kamarnya. “Cin, ibu kamu baik banget ya, andai aku punya ibu seperti itu,” kata Deo sambil menyuap nasi goreng ke dalam mulutnya. “Emang ibumu kenapa?” tanya Cindy heran “Ibuku jarang di rumah, dia sibuk dengan komunitasnya. Dia ikut banyak kegiatan di luar bersama teman – teman wanitanya. Bahkan kadang sampai ke luar kota, dua atau tiga hari. Kami jarang ngobrol, bahkan membuat nasi goreng untukku saja tidak pernah. Baru kali ini, aku makan nasi goreng dari tangan seorang ibu,” kata Deo tersenyum. “Oh,” “Kok hanya Oh, Cin?” kata Deo tertawa kecil melihat ekpresi simpati dari wajah Cindy. “Ya, aku baru tahu kalau kehidupanmu begitu.” Jawab Cindy ragu. “Iya, memang begitu. Aku besar dengan seorang pengasuh, sampai sekarang dia masih kerja di rumah kami. Padahal, aku sangat ingin seperti anak – anak yang lain, bermanja di pelukan ibunya. Ah, dia memang wanita yang tidak pernah peduli dengan anaknya.” “Kalau ayahmu?” Tanya Cindy. “Ayahku...” tiba – tiba Deo diam, terlihat berpikir, “ayahku bekerja di sebuah perusahaan, dia juga sibuk, tapi kami masih bisa ngobrol walau hanya sebentar. Ayahku masih lebih baik jika dibanding ibu, walau waktunya tidak banyak.” Kata Deo. Deo tidak ingin mengatakan jika ayahnya adalah pemilik sebuah perusahaan yang cukup terkenal. Ia tidak mau, Cindy merasa rendah diri jika tahu semua itu. “OH, setidaknya kamu masih memiliki orangtua yang lengkap, Deo.” Ucap Cindy dengan murung. Deo yang mendengar kalimat itu, tertegun. Ia tidak pernah sedikitpun memikirkannya. Mungkin jika Deo adalah Cindy, barangkali ia juga memiliki nasib yang sama. Selama ini, hanya ayahnya-lah yang bekerja membanting tulang. Sementara ibunya sibuk menghabiskan uang untuk popularitas. “Kau benar, Cindy. Terimakasih untuk semua hidangan ini, tolong sampaikan rasa terimakasihku kepada ibumu, ya. Aku pulang dulu, sampai ketemu besok pagi.” Deo berdiri dari kursinya, diikuti Cindy yang mengantar pemuda itu sampai ke pintu. “Terimakasih, sudah mengantarku. Terimakasih juga untuk pinjaman ponselnya.” Kata Cindy tersenyum. “Pinjaman? Aku memberikan ponsel itu untukmu. Itu milikmu, Cindy.” Kata Deo sambil tertawa kecil, kemudian naik ke atas motornya, “aku pulang,” Deo melambaikan tangannya ke arah Cindy. Gadis itu tersenyum, menghantar kepergian Deo dari rumahnya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD