DUA – “Apakah Anda Punya Pacar?”

1736 Words
Aku tidak tahu apakah Danu penganut istilah orang ganteng, bebas, atau tidak. Akan tetapi, pertemuan pertama—mungkin juga terakhir—ini menimbulkan kesan buruk bagiku. Danu terlambat. Hampir lima belas menit. Namun, dia sama sekali tidak terlihat merasa bersalah. Begitu datang, tanpa meminta maaf atau apa, dia langsung duduk. Mengatakan alasan keterlambatannya pun sama sekali tidak menunjukkan penyesalan, karena telah membuatku menunggu lebih dari lima belas menit. Laki-laki itu lalu memanggil pelayan kafe demi memesan secangkir kopi hitam tanpa gula. Begitu pesanan tiba, dia aduk-aduk kopi tersebut kemudian menyesapnya. Menghela napas dalam-dalam adalah caraku menahan rasa jengkel yang bercokol sejak aku duduk di tempat ini. Setahuku, setiap atlet dilatih untuk disiplin, tapi kenapa lelaki ini datang terlambat dan tak merasa bersalah sama sekali? Apakah informasi tentang atlet yang kudapatkan itu salah? Atau ... hanya Danu yang seperti ini? Satu jam yang begitu berharga. Satu jam yang seharusnya bisa kumanfaatkan untuk mencari berita. Satu jam yang ... ah, aku kesal pokoknya. "Kenapa Anda melihat saya seperti itu?" Aku mengerjap kaget. Kemudian, kesal setengah mati. Bisa-bisanya laki-laki ini tidak merasakan kekesalanku sama sekali? Setelah membuatku menunggu? Luar biasa! Kenapa aku bisa mengidolakan orang seperti ini, sih? Sebelum datang kemari, sudah banyak rencana tersusun di kepalaku. Mulai dari tersenyum secantik mungkin, bersikap anggun, hingga memberanikan diri meminta kontak pribadinya. Sayang sekali, semua itu buyar sejak sepuluh menit aku duduk di sini dan dia, si narasumber yang tidak disiplin ini, baru datang lima puluh menit kemudian. Aku adalah tipe orang yang tidak bisa bersikap ramah pada mereka yang tak menghargai waktu. Meremehkan waktu sama saja dengan tidak menghargai orang lain yang telah menyepakati waktu tersebut. Ha! Tunggu sampai Mbak Vea mendengar tentang ini, aku yakin dia akan mencecarku. Mungkin dia akan berkata, "Kamu enggan beramah-tamah pada orang yang terlambat, tapi kamu suka seenaknya sendiri mengumpulkan berita." sambil menunjukkan wajah nenek sihirnya. Lupakan Mbak Vea untuk sejenak. Sudah cukup selama bertahun-tahun wanita itu menghantui hari-hari produktifku. Sekarang, biarkan aku fokus menggali sebanyak mungkin informasi mengenai lelaki ini. "Tidak ada," jawabku. Dia mengangguk samar sambil menaruh kembali cangkir kopinya. "Menurut manajer saya, wawancara ini akan dilakukan dalam waktu satu jam. Benar?" Lelaki itu menatapku, aku mengangguk. "Buat menjadi tiga puluh menit. Tanyakan saja sesuatu yang belum ada di internet atau media lain," lanjutnya. Anjir, sombong banget! "Tapi, Mas—" "Saya tidak suka dipanggil mas." Kedua tangan yang kuletakkan di bawah meja kukepalkan dengan kuat. Aku tidak yakin bisa sesabar apa menghadapi lelaki yang baru kutahu belangnya ini. Di televisi, dia selalu memasang senyum tiga jari, begitu sopan kepada wartawan. Apakah hanya sekadar pencitraan? Memangnya, atlet juga membutuhkan itu? "Maaf, tetapi manajer Anda sudah sepakat." "Itu, kan, Bang Indra. Saya maunya tiga puluh menit." Lelaki angkuh. Aku berjanji, setelah ini, aku tidak akan lagi mengidolakannya. Kalau perlu, kusebar ke media lain agar keangkuhannya ini diketahui semua orang. Aku hanya mengangguk, menyetujuinya dengan terpaksa. Bagaimanapun sifatnya, dia tetaplah narasumber pentingku hari ini. Lebih baik tiga puluh menit daripada tidak sama sekali. Aku bisa menjadi bulan-bulanan Mbak Vea jika wawancara ini gagal. Lebih parah lagi, karirku sebagai wartawan bisa-bisa segera berakhir. Big no. "Baik," aku menegakkan posisi dudukku, "bisa kita mulai sekarang?" tanyaku hati-hati. Lelaki itu tidak menjawab, hanya menatapku dengan tajam di balik cangkir yang sudah ia angkat kembali untuk disesap. Matanya tampak menelisik, menelitiku, dan itu membuatku risih. Kenapa dia menatapku seperti itu? Apakah dia terpesona? Oho! Fokus, Tris. Aku yakin tatapannya itu tidak berlangsung hingga satu menit, tapi rasanya seperti dua jam. Begitu lama, hingga akhirnya aku kembali bersuara demi menyingkirkan kegugupanku. "Bisa saya mulai wawancaranya sekarang?" Baru setelah itu dia mengangguk. Cangkirnya ia turunkan, tapi masih dipegang, tidak ditaruh ke meja. Menggenggamnya dengan kedua tangan di depan perut. Ya, Tuhan. Bagaimana bisa seorang lelaki menjadi begitu elegan ketika memegang cangkir berisi kopi dengan cara seperti itu? Ah, aku menyesali obsesiku terhadap para lelaki tampan. Harus kukurangi sepertinya. Meski kesal, tetap saja aku meleleh dibuatnya. Lihatlah rambut pendek yang—terlihat—disisir secara asal, menghiasi wajah tampan berhidung mancungnya dengan sangat keren. Kemeja hitam yang ia kenakan cukup kontras dengan warna kulitnya yang putih. Lalu, lengan kemeja yang dilipat hingga ke siku. Fix. Aku meleleh, tapi tidak seperti jelly, ya. Buktinya, aku masih bisa duduk tegak meski hatiku dag-dig-dug tak karuan. Kenapa aku begini, sih, omong-omong? Aku, kan, sedang kesal padanya. Pun sudah berjanji untuk tidak lagi menjadikan lelaki di hadapanku ini sebagai idola. Huh! Fokus lagi, Tris. Fo-kus. "Begini—" "Hampir sepuluh menit Anda habiskan hanya untuk berbasa-basi." Mataku membeliak, menatapnya dengan horor. Ini orang tidak kenal sopan santun, ya? Argh! Ganteng, sih, tapi kalau seperti ini, aku tidak tahu akan tahan atau tidak menginterviu lelaki macam dia. Menyebalkan sekali. Sungguh! Kuembuskan napas perlahan. Stok kesabaran yang digadang-gadangkan oleh kakak lelakiku tak memiliki batas itu nyatanya hanyalah bualan. Buktinya, kekesalanku semakin memuncak sekarang. Masih dengan dongkol yang bercokol, aku mengambil buku catatan kecil beserta pulpen, bersiap mencatat. Lalu, menaruh ponselku di atas meja untuk merekam jawabannya. Aku sulit menulis cepat, jadi rekaman ini sangat dibutuhkan. "Saya Trisha Pitaloka, dari Harian Arena Laga—" "Straight to the point, please." Si-a-lan. Ternyata selama ini aku sudah salah mengidolakan seseorang. Aku jadi penasaran, apakah pemain bola profesional sekelas Bambang Pamungkas juga seperti dia ini? Well, menurut selentingan kabar, sih, Bepe—sapaan akrab Bambang Pamungkas—cukup tertutup kepada wartawan. Bepe, kan, wajar. Dia top scorer Timnas Indonesia, belum ada yang mengalahkan rekor golnya sejak bergabung. Danu—lelaki sombong ini—berada tepat di bawah urutan Bepe yang sudah gantung sepatu, dan itu berarti, dia bisa melampauinya. Wajar juga kalau lelaki ini sombong, 'kan? Masa bodoh! Intinya, Danu adalah lelaki paling arogan yang pernah kutemui. Aku ingin berkata kasar, tapi harus kutahan. Amat sangat rugi jikalau karirku hancur hanya karena manusia tengik yang satu ini. Sesuai permintaannya, aku akan memulai pertanyaan dari yang langsung ke sasaran. Kalau dia masih protes .... "Anda adalah salah satu pemegang gelar top scorer Timnas. Bagaimana perasaan Anda?" "Senang," jawabnya cepat. Aku mengangguk, bersyukur karena dia tidak komplain apa-apa. Kutulis jawabannya sambil menunggu dia melanjutkan, tetapi hingga detik-detik berlalu, meja tempat kami duduk masih saja sepi. Tic toc. Tic toc. Krik ... krik .... Hanya ... hanya itu? Baiklah, jangan salahkan aku jika kesimpulan yang nanti kutulis di artikel bukanlah hal baik. Sial, aku ingin sekali mengeksekusinya. Sungguh. Namun, berpikir kembali pada tujuanku datang ke sini, aku tidak mungkin melakukannya. Wawancara ini dimaksudkan agar media kami mendapatkan sesuatu yang berbeda, yang media lain belum miliki, bukan untuk memiliki bahan agar bisa menjatuhkan salah satu pemain sepak bola paling tersohor ini. Menjadi wartawan itu dituntut untuk objektif alias tidak memihak siapa-siapa. Akan tetapi, pada prakteknya, hal itu mendekati mustahil. Menyelamatkan eksistensi terkadang lebih penting daripada mengungkap fakta. Aku tidak menggeneralisasi media, hanya saja, berdasarkan pengalaman di lapangan memang seperti itu. Media cetak mungkin tidak kentara seperti elektronik dalam hal memihak, tapi percaya padaku, hal tendensius itu ada. Lagi pula, ini terlalu pribadi untuk dijadikan konsumsi publik. Eh? "Beberapa saat yang lalu, mafia bola menjadi perbincangan hangat. Anda sebagai pemain, pernahkah mendapat perintah untuk mengatur skor, atau bentuk lainnya?" Aku harap, lelaki itu mau menjawabnya dengan panjang dan lebar, agar ada laporan yang bisa kutulis. Tiga kalimat pun tidak apa-apa. Kalau dia menjawab hanya dengan satu kata lagi, apa yang akan kutulis nanti? Profil hasil copy lalu paste dari internet, begitu? "Pernah." Aku memandang lurus pada kedua bola matanya, dan tatapan kami berserobok. Gila! Hanya dengan bertatapan seperti ini, kenapa jantungku bisa berdetak tidak keruan? Apakah seperti ini pula yang dirasakan penggemar di luar sana ketika berhadapan langsung dengan idolanya? Terlebih, aku, kan, sedang kesal padanya. "Saya pernah beberapa kali diminta untuk mengalah, membiarkan tim lawan menang. Saya menolak semuanya, karena bagi saya, harga diri klub lebih penting." Jawaban lanjutan lelaki itu membuatku menganga akibat terpana. Hayang salto euy! Dia berdeham, aku mengerjap. Kemudian aku pun ikut berdeham dan melanjutkan, "Ketika Anda membela Timnas pun?" Lelaki itu mengangguk. "Hanya sekali. Saya tidak bisa menyebutkan kompetisinya, tapi saya pernah. Tidak hanya kompetisi di Indonesia yang memiliki permasalahan seperti ini." Kali ini dia terlihat lebih luwes dalam menjawab pertanyaanku. Kesal, terpana, kesal, terpana lagi. Apa, sih, mauku? "Wow! Saya kira hanya Indonesia yang punya mafia bola," timpalku sembari terkekeh. Hening. Dia sama sekali tidak tergerak hatinya untuk menimpali ucapanku. Kuputuskan untuk diam. Lelaki ini memang tidak bisa bercanda sedikit pun, ya? "Baik, pertanyaan selanjutnya." Aku membalik kertas. "Bagaimana pendapat Anda mengenai pergantian nama kompetisi, yang semula Liga Super, kini menjadi Liga 1?" "Apa pun namanya, yang penting pemain memiliki ladang untuk bekerja. Pesepak bola, kan, mata pencahariannya dari bermain sepak bola. Kalau tidak ada kompetisi, dapat gaji dari mana? Ada kompetisi saja masih banyak yang tidak digaji." Nice! Aku yakin dia tidak berniat melucu, tapi sungguh, aku ingin tertawa hingga terpingkal-pingkal rasanya. Namun, kutahan dengan sekuat tenaga. Aku takut dia tersinggung dan mengakhiri wawancara yang hanya sebentar ini. "Jadwalnya masih simpang siur. Semula diumumkan kick-off akan berlangsung pada tanggal 26 Maret. Lalu, muncul lagi pernyataan yang cukup membingungkan, yaitu antara diundur atau tidak. Bagaimana menurut Anda?" "Seperti yang dikatakan pihak Kemenpora, selama tidak melanggar aturan persepakbolaan, tidak apa-apa. Setelah PSSI dibekukan kira-kira setahun, dan kompetisi menjadi tidak normal, saya rasa ini langkah yang baik. Semoga saja, dengan mundurnya Liga 1 ini, seandainya mundur, PSSI sebagai penyelenggara dapat menyuguhkan kompetisi yang jauh lebih baik daripada sebelumnya. Juga, masyarakat bisa menikmati permainan kami tanpa memikirkan drama apa lagi yang akan muncul setelahnya." Ya, Tuhan. Aku benar-benar terpesona. Aku menyukainya sejak pertama kali dia tampil sebagai bagian dari line-up kedua Timnas U-19, sebelas tahun yang lalu. For your information, aku suka menonton sepak bola sejak kelas VII. Di balik arogansinya, ternyata dia memiliki pemikiran yang cukup untuk membuatku terpana. Oh, jangan sampai Metha mengetahui kelabilanku hari ini. Dia akan mentertawakan aku sampai puas, hingga matanya mengucurkan air. Aku tidak akan menceritakan kejadian hari ini padanya. Setelah mengais sisa-sisa kesadaranku, aku kembali menelisik pertanyaan yang lebih relevan dengan masa depan Danu di klub yang menaunginya sekarang. Akan tetapi, sial memang tidak bisa dihindari. Lelaki itu menghentikan wawancara dengan dalih waktu telah habis. Padahal, masih tersisa sepuluh menit, yang seharusnya cukup untuk mengajukan beberapa pertanyaan lagi. "Satu pertanyaan terakhir saja. Saya mohon," pintaku dengan wajah memelas. Danu berdecak, mungkin kesal, tapi tetap mengangguk. Aku tersenyum kegirangan. Satu pertanyaan yang akan kuajukan ini, kuyakini dapat menuntaskan rasa penasaran seluruh kaum hawa yang mengidolakannya. Tentu saja, memuaskankan jiwa fangirl-ku juga. "Apakah Anda punya pacar?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD