bc

Fall into Step

book_age16+
8
FOLLOW
1K
READ
second chance
goodgirl
confident
journalists
drama
bxg
city
gorgeous
like
intro-logo
Blurb

Trisha mengagumi Danu Wikrama selama belasan tahun. Bukan perasaan tak terungkap, bukan pula perasaan yang membuatnya menginginkan lebih daripada itu. Namun, satu jam bersama Danu mengubah sudut pandangnya. Mengubah rasa kagum menjadi sesuatu yang membuatnya mengambil langkah. Langkah yang meruntuhkan dinding pertahanan sang bintang.

chap-preview
Free preview
SATU - Party Poopers
Legkingan suara Adam Levine begitu memekakkan telinga, menghentikan langkahku yang tinggal beberapa meter lagi mencapai kantor. Kuhentikan langkah, lalu merogoh ponsel dari tas. Bisa saja aku menerima panggilan ini sambil berjalan, tapi aku tidak mau melakukannya. Lagi pula, masih ada waktu tiga puluh menit sebelum rapat harian dimulai. Ketika kulihat Mbak Vea tertera di layar, aku menggeser ikon berwarna hijau ke sebelah kanan, lalu dengan cepat menempelkan ponsel ke telinga. "Selamat pagi, Mbak Vea." "Selamat pagi, Trisha." Wanita yang—anggap saja—bersahaja dan baik hati itu membalas sapaanku dengan sinis. "Jam segini kamu belum sampai di kantor. Ke mana saja, hah?" Mbak Vea ini kenapa, sih? Jam di tanganku saja masih menunjukkan pukul 06.30 WIB, rapat harian biasa dimulai tepat pukul tujuh, dan Mbak Vea sudah marah-marah? Aku tidak mengerti lagi, deh. Suasana hati mbak Vea sepertinya tidak pernah bagus jika berhadapan denganku. "Saya di bawah, Mbak. Sedikit lagi, juga, saya masuk ke sana." "Saya tunggu kamu di ruang rapat." Sambungan terputus begitu saja setelah mbak Vea merespons dengan jutek. Aku mengentakkan kaki dengan kesal. Dia memang sering semena-mena terhadapku. Wartawan lapangan sepertiku berada di jajaran paling bawah struktur organisasi perusahaan. Jadi, aku tidak bisa berbuat apa-apa jika atasan sudah berlaku semena-mena seperti ini. Hanya bisa manut, manut, dan manut. Tanpa menyimpan kembali ponsel ke tas, aku mulai melangkah dengan lebar. Berdasarkan perhitunganku, tidak memerlukan waktu sampai tiga menit untuk mencapai ruang rapat di lantai dua. Aku tidak menemukan siapa pun ketika sampai di ruang rapat. Benar-benar mengesalkan. Tambah mengesalkan, karena aku tidak bisa marah. Sejak pertama kali bekerja di sini, aku sudah menebak akan mendapatkan banyak tekanan dari wanita satu itu. Dan tebakanku tepat sasaran. Ada saja yang dia lakukan untuk mempersulitku, kesalahan kecilku bahkan selalu terlihat besar di matanya. Kalau bukan karena mimpiku menjadi wartawan, sudah sejak lama aku hengkang dari sini. "Mbak," aku menahan seorang wanita yang kutahu sebagai wartawan foto, "lihat mbak Vea?" "Tadi ada di mejanya." Aku mengangguk sambil berterima kasih. Setelah dia menuruni tangga, aku menutup pintu ruang rapat dengan kasar. Lalu, berjalan beberapa langkah demi membuka pintu ruangan redaksi. Sepagi ini mbak Vea sudah mengerjaiku, membuatku gondok setengah mati. Bisa-bisanya, menyuruhku datang ke ruang rapat dengan cepat, tetapi dia malah asyik tertawa, bergosip dengan Mbak Ayu yang kuyakini topiknya tak jauh dari hal-hal berbau gaya hidup para artis. Sangat menyebalkan! "Saya cari Mbak Vea ke ruang rapat." Aku berucap dengan tangan terkepal erat, menahan diri supaya tidak meledak di hadapan kedua atasanku ini. "Oh, saya lupa." Aku tidak habis pikir. Mbak Vea baru meneleponku beberapa menit lalu, bagaimana dia bisa lupa memintaku cepat-cepar datang ke ruang rapat? Mbak Vea mengambil satu bendel kertas di samping komputernya, menyodorkan benda itu ke hadapanku. Dia bahkan tidak meminta maaf. Ya, Tuhan, aku kesal sekali! Tapi ... aku sungguh tidak bisa berbuat apa-apa. Aku mengambil bendelan kertas yang disebutkan dengan dahi mengerut dan hati berang."Ini apa?" "Kamu gantikan Salma wawancarai Danu. Dia sedang dirawat, terkena demam berdarah." Oh. Pantas saja aku tidak melihat Salma di rapat harian kemarin. Ingatkan aku untuk menjenguknya setelah tugas-tugasku selesai. Aku membaca baris demi baris materi yang diberikan redakturku itu. Jelas sekali, di atas kertas ini tersusun rapi profil seorang lelaki yang kuidolakan. Aku tidak tahu maksudnya apa, sampai mataku membaca daftar pertanyaan untuk wawancara. Aku? Ditugaskan untuk mewawancarai Pramudya Danu Wikrama? Tuhan pasti sedang bercanda! Iya, kan? Setelah sekian lama, akhirnya aku dipercaya untuk mengemban tugas sebesar ini. Tugas besar yang sangat kunanti-nanti. Aku tersenyum lebar, menatap Mbak Vea penuh haru. Berterima kasih melalui sorot mataku yang menghangat. Aku benar-benar ingin menangis karena bahagia sekarang. Tiga tahun menjadi wartawan, ini akan menjadi momen paling berharga dalam hidupku. "Saya tahu ini pertama kalinya kamu mewawancara orang tersohor, tapi saya harap kamu mampu beradaptasi dengan baik." Aku menyambut peringatan bernada keras itu dengan antusias. Aku tidak peduli, karena yang terpenting sekarang adalah mempersiapkan diri. Aku akan mengerahkan segala kemampuanku sebagai seorang wartawan. Tidak boleh melakukan kesalahan. Aku tak mau meninggalkan kesan buruk bagi idolaku sendiri. "Oke, Mbak." Senyumku masih lebar. Bagaimana tidak? Danu, sapaan akrabnya, adalah idolaku sejak pertama kali mengenal sepak bola. Berkat Danu, untuk pertama kalinya aku mempunyai cita-cita. Aku berbalik, bermaksud menjalankan tugas yang baru saja kudapat ini. Namun, belum sempat kakiku melangkah, suara Mbak Vea kembali merasuki telingaku. Tentu saja dengan nada sinis yang selalu melekat pada setiap katanya. "Mau ke mana, Trisha? Aku menoleh perlahan. Tentu, dengan senyum yang masih lebar. Sungguh, aku tidak bisa menghentikannya. "Mau siap-siap wawancara, kan, Mbak." "Rapat harian masih wajib kamu ikuti. Mentang-mentang dapat tugas spesial, kamu mau mangkir?" Tidak menatapku di saat kami mengobrol sepertinya sudah terprogram dalam kepala cantiknya itu. Memangnya aku sejelek apa, sih, sampai-sampai dia tidak mau melirikku? Aku menunduk. Senyumku sirna. Saking senangnya, aku lupa masih harus menghadiri rapat pagi ini. "Maaf, Mbak. Kalau begitu, saya ke ruang rapat sekarang." Mbak Vea tidak menggubris, buru-buru aku berlalu. Aku bersungut-sungut dalam hati, bahkan hingga rapat harian selesai. Wanita jahat itu memaksa kami para wartawan agar bekerja lebih keras dalam mencari informasi, juga proaktif memberikan ide-ide segar dalam hal pemberitaan. Terserah dia saja, lah. Aku melirik jam di tangan sambil menyesap iced coffee latte. Selesai rapat tadi langsung saja aku meninggalkan kantor dan membeli kopi kesukaanku ini di kantin, demi kemaslahatan jiwaku. Aku tidak sanggup kalau harus lama-lama berhadapan langsung dengan Mbak Vea. Wawancara dengan Danu akan berlangsung selama satu jam, dari pukul 13.00 sampai dengan 14.00, masih ada waktu lima jam. Perutku mulas akibat gugup yang terus-terusan melanda. Sangat gugup, sampai-sampai seperti orang yang kehilangan arah. Pekerjaan lain yang harus diselesaikan, bisa tersendat jika aku tidak segera mengumpulkan seluruh kesadaran. Ponselku kembali berbunyi. Mengganggu usaha kerasku mengalihkan kesadaran. Sebuah nama yang tertera di layar membungkam angan-anganku seketika.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
98.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook