A New Country

1294 Words
"Tuan Steve, bangun. Kita sudah sampai." Frank mencoba membangunkan sang bos, tapi nihil.   Bagaimana kalau tubuhnya diguncang saja? Tapi kalau dia bangun dan marah, bisa dipecat! Sungguh gawat! Mencari pekerjaan jaman sekarang sudah sulit. Aku beruntung bisa mendapatkan posisi seperti sekarang dan bertahan sekian lama, walaupun tugasnya berat, pikir Frank, sang asisten.   Steve menggeliat dari posisi semula, lalu perlahan membuka mata. Dia melihat ada Frank di sana. Sang asisten merasa gugup, karena takut dimarahi oleh sang bos, namun mencoba tetap tenang.   "Ada apa? Kenapa membangunkanku?" Suara serak khas orang bangun tidur terdengar dari bibirnya.   "Maaf, Tuan. Kita telah sampai di tujuan." Frank menjawab sang bos yang masih setengah sadar.   "Tujuan? Katakan padaku, kita di mana?" tanya Steve yang segera sadar akan rencana aneh ayahnya.   "Kita di Indonesia, Tuan," jawab Frank yang teringat amanat bos besar, bahwa boleh menjawab pertanyaan Steve bila mereka telah tiba.   "What? Indo--?" Steve tak mengerti. Dia jarang sekali mendengar nama negara yang disebut oleh Frank.   "Indonesia, Tuan. Kita sekarang berada di Jakarta, ibukota negara Indonesia. Dulu Anda pernah lahir dan tinggal di sini sampai umur tiga tahun." Sang asisten menjelaskan.   "Holy crap! It's been a long long time ago! Mana aku ingat!" Steve menggerutu.   Inikah kejutan dari dad? Dia memaksa anak sendiri, untuk datang ke negara yang mana tak bisa diingat sama sekali pernah tinggal di sana? Aku tak bisa berbahasa asing, kecuali Inggris, Italia dan Spanyol, lalu bagaimana nasib selama tinggal di negara tujuan, jika tak ada bahasa yang bisa dikuasai? Mom, seandainya saja kau tidak pergi lebih cepat! keluh Steve di dalam hati.   "Nanti kita tinggal di mana? Gosh, I can't speak their language! It makes me anxious!" Steve menunjukkan rasa tidak sukanya.   "Don't worry, Sir. Kita akan tinggal di suatu apartemen yang khusus. Semuanya sudah dipersiapkan dengan baik!" Frank menenangkan bos yang tengah gusar.   "Awas saja kalau tempatnya tak bagus! Aku mau berganti pakaian dulu baru turun dari sini!" sentak Steve, yang tak menutupi rasa jengkel.   "Baik, Tuan," sahut Frank.   Sang asisten tak mau menjawab lebih banyak, karena takut amukan dari si bos yang tak suka diganggu, terutama bila baru bangun tidur. Frank meninggalkan Steve seorang diri. Pria tinggi tegap itu lalu bangkit dari ranjang, lalu berjalan ke arah koper, setelah itu membuka isinya. Di kedua tangan terlihat jelas telah mengambil semua peralatan mandi yang dibutuhkan, pakaian, dan tak lama kemudian pergi ke bathroom.   Frank tak berani mengganggu, karena bila sampai si bos sudah tak meminta pertolongan, seperti mengambil baju atau hal lain, bisa dipastikan mood Steve akan memburuk seharian. Dia takut salah bicara saat ini.   Saat yakin keadaan aman, sang asisten bergegas masuk ke dalam ruangan tempat di mana putra tunggal Lorenzo tidur, kemudian membereskan barang-barang milik bos yang berantakan, dan keluar dari sana. Ia pun kembali ke tempat duduk, di mana koper berada. Saat tengah mengatur semua barang yang ada, ponsel Frank bergetar dan segera mengambil dari saku celana panjang. Kedua mata itu membulat, ketika melihat nama yang tercantum di layar ponsel dan langsung menjawab panggilan tersebut.   Lorenzo: "Halo, Frank."   Frank: "Halo, Tuan Besar."   Lorenzo: "Kalian sudah mendarat?"   Frank: "Sudah, Tuan."   Lorenzo: "Anakku tidak bertanya tentang rencana liburan yang telah disusun?"   Frank: "Tuan Steve bertanya apa yang akan kami lakukan di sini, tapi saya tidak memberitahunya, Tuan Besar."   Lorenzo: "Bagus. Semua sudah kau cek?"   Frank: "Ya, Tuan. Semua sudah saya cek dan everything is under control."   Lorenzo: "Good. Jangan kau beritahu detail rencana perjalanan ini kepada Steve. Kalau dia mulai kerasan di sana, beritahu aku!"   Frank: "Baik, Tuan Besar. Maaf, boleh saya bertanya?"   Frank agak takut mengemukakan hal itu, karena Lorenzo biasanya tak suka dengan pertanyaan. Akan tetapi tetap mencoba, karena pria muda itu berpikir tak ada salahnya dilakukan.   Lorenzo: "Mau tanya apa?"   Frank: "Kenapa Tuan memilih negara asing? Maksud saya, Tuan Steve bahkan tidak ingat pernah menghabiskan waktu di sini, karena sudah lama berlalu?"   Lorenzo terdiam sesaat. Dia rasanya kesal diberi pertanyaan, tapi asisten Steve melakukan hal itu bukan tanpa alasan. Dia pasti melihat dari reaksi dari sang anak tunggal yang tak mengingat tentang negara yang pernah mereka tinggali di masa lampau. Dia berpikir akan menjawab pertanyaan Frank, karena dia mengenal pria itu sejak lama.   Lorenzo: "Kenapa aku memilih negara itu? Jawabannya adalah Karena sebuah janji yang dibuat oleh mendiang istriku, Nyonya Lorenzo. Itulah alasannya mengapa anakku harus ke sana. Nah, bagian itu juga termasuk bagian terlarang untuk diceritakan!"   Frank akhirnya paham. Nyonya Lorenzo adalah istri yang disegani di kalangan mafia. Sedikit bicara tapi banyak bertindak. Sampai akhir hayat, wanita nomor satu itu selalu setia mendampingi sang suami dan meninggalkan duka mendalam bagi Lorenzo Jameson.   Frank: "Baik, Tuan Besar. Saya mengerti dan memegang teguh janji yang telah diucapkan, termasuk yang ini."   Lorenzo: "Ya. Beritahu aku bila kalian sudah sampai di apartemen."   Frank: "Siap, Tuan Besar."   Lorenzo mematikan sambungan telepon. Frank segera memasukkan ponsel kembali ke dalam saku, lalu menoleh ke belakang, karena ingin memantau apakah bos telah selesai mandi. Dia lega, ternyata Steve belum ke luar dari bathroom. Pria itu kembali melanjutkan aktifitas yang tertunda.   Untung Tuan Steve masih di sana, kalau sudah ke luar dan mendengar percakapan tadi bisa gawat. Tuan Lorenzo sudah menyuruhku bersumpah dan tentu saja tak mau melanggar janji yang telah dibuat sendiri, tekad Frank.   Sementara itu, Steve sengaja bersembunyi di dekat bathroom, tapi Frank tak melihat dengan benar karena terhalang oleh tirai. Dia sudah mengira, bahwa ini semua adalah permintaan sang ayah, yang terkenal suka merahasiakan segala sesuatu, sebagai kejutan.   Dad sudah tahu aku benci surprise, malah dia sengaja berbuat seperti itu! Kalau bukan karena janji yang telah diucapkan setelah membaca surat dari mom, aku tak akan mau kembali! Aku akan berpura-pura tak tahu apa-apa supaya bisa mendapatkan lebih banyak informasi. Mom, I missed you so much, gumam Steve sedih.   Setelah dirasa aman, Steve segera ke luar dari sana, sambil membawa plastik berisi pakaian kotor, dan handuk. Dia melihat pesawat sudah berada di hanggar. Frank sudah menurunkan semua barang bawaan mereka dan menunggu di bawah. Pramugari dan pilot menunggu dan mengucapkan greeting kepada Steve tapi dia tak membalas, hanya tersenyum tipis.   Steve tak mengucapkan sepatah kata pun, lalu dia mengikuti asisten yang memimpin jalan di depan. Di dalam hati, sudah ingin menghukum si asisten, tapi teringat kalau dia berbuat hal itu, tak akan merubah apa pun. Frank sangat setia kepada keluarga Jameson, ditambah sang ayah mempercayainya, sehingga sulit untuk memecat, meskipun sudah sangat ingin dilakukan.   "Kita akan tinggal di mana?" Steve bertanya dengan nada datar setelah mereka masuk ke dalam mobil yang menjemput.   "Di apartemen, Tuan. " Frank menjawab pertanyaan sang bos.   "Sekarang kita berada di kota apa?" Steve bertanya kembali. Ia bertekad, akan menyelidiki seorang diri, bila tak kunjung mendapat jawaban yang memuaskan.   "Kita sekarang berada di Jakarta, Tuan." Frank tak lelah menjawab.   "Macet sekali di sini. Kita baru ke luar dari bandara saja, mobil sudah susah bergerak!" gerutu Steve.   "Jakarta adalah ibukota dari Indonesia, Tuan. Memang sehari-harinya macet." Frank memahami Steve yang masih kesal karena libur dadakan dari bos besarnya.   Tuan Besar menempatkan aku dalam bahaya. Judulnya memang liburan, tapi bos sudah merasa curiga. Sebagai asisten yang sudah sepuluh tahun bekerja dengan Tuan Steve, sudah pasti hafal dengan semua kebiasaan yang ada. Jangan sampai nanti terkena masalah, gumam Frank.   Mobil sempat stuck karena macet. Steve yang tak suka dengan keadaan itu, hanya bisa diam. Dia tahu mau marah seperti apapun, Hal itu tidak akan mengubah keadaan. Pria itu tak sabar, karena ingin mengetahui apa rencana yang dibuat oleh sang ayah, sehingga begitu memaksa, agar segera datang ke negara asing dengan sang asisten.   Aku mendengar dari pembicaraan di telepon bahwa mom membuat janji dengan seseorang, jadi aku harus ke sini. Janji apa itu? Kenapa baru mengetahuinya sekarang? Coba kuikuti saja dulu seperti apa alur yang ada, supaya nanti bisa ketahuan. Benar-benar membuat penasaran saja! pikir pria cerdik tersebut. ***

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD