2. Lamaran Untuk Si Bungsu

1506 Words
I'll search the universe neol dasi chajeul ttaekkaji nohji anheul geoya tikkeul gateun gieokdo gyejeore saegyeojin uriui chueogeun dasi myeot beonigo dorawa neol bureul tenikka (EXO-Universe) Gadis berkrudung baby blue itu menggerak-gerakan kepalanya menikmati musik. Sementra telinganya mendengarkan musik, tangan gadis itu sibuk menghitung uang untuk gaji para pegawai pabrik. Ada sekitar 60 orang yang bekerja di pabrik milik keluarganya itu. Para pekerja yang didominasi oleh ibu-ibu itu, mendapatkan gaji mereka perminggu. Tugas Meidinalah menyiapkan gaji-gaji untuk mereka karena abahnya tidak mau menghitung uangnya sendiri dengan alasan takur kalibur (salah hitung) katanya. Panggilan masuk ke ponsel pintarnya mengganggu keasyikan gadis itu mendengarkan musik. Meidina mengangkat ponselnya itu dan mencibir melihat nama ibunya yang tertera di layar. Jarak rumah dan pabrik hanya berjarak 10 meter saja, kenapa juga ibunya memilih menelpon daripada berteriak memanggil namanya. Sepertinya ibu Sita ini sangat kaya akan pulsa. "Assalamualaikum ibuku yang cantik..." sapa Meidina. "Waalaikum salam, kamu sedang apa Mei?" tanya ibu disebrang telepon. "Menghitung dunia bu." jawab Meidina. "Jangan bercanda, ibu sedang serius..." "Mei gak bercanda bu, Mei emang lagi ngitung dunia alias duit." ucap Meidina sambil terkekeh. "Kamu ini, masih lama gak?" "Sebentar lagi mungkin." jawab Meidina tidak yakin. "Kalau sudah selesai cepat yah, ibu mau minta kamu anterin ibu." "Anter kemana bu?" tanya Meidina heran karena tidak biasanya sang ibu memintanya untuk mengantar ibunya. "Ketemu temen ibu, abis itu belanja."  jawab ibu. "Tumben minta anter sama Mei." "Ah udah cepet selesaikan pekerjaanmu dan segera pulang ke rumah." ucap ibu seraya menutup telepon. Meidina hanya menggelengkan kepala akan sikap ibunya, dia menganggap ibunya kurang seru jika diajak mengobrol. Tapi meskipun ibunya mesin pengomel, dia tetap menyayangi ibunya itu. Meidina menyelesaikan pekerjaannya, tinggal 10 amplop yang belum dia isi dan dia secepatnya mengisi amplop-amplop itu. Menyimpannya di laci meja kerja milik ayahnya dan menguncinya. Meidina menyimpan kunci ditempat rahasianya yang hanya diketahui olehnya dan abah. Bukannya dia dan abahnya tidak percaya pada para pekerja hanya saja bila menyangkut uang banyak kadang orang suka khilaf bukan. Meidina meninggalkan post it untuk ayahnya, karena dia tidak mungkin menghubungi ayahnya yang sedang berada dikebun. Ayahnya itu tipe bapak-bapak gaptek yang hanya bisa menggunakan ponsel untuk menelpon saja, dan pria paruh baya itu juga lebih sering meninggalkan ponselnya di kamar daripada membawanya. Meidina segera meluncur ke rumahnya sebelum omelan ibunya yang mirip rentetan petasan itu meledak. Sebelum keluar pabrik, dia menyempatkan diri untuk berpamitan pada para pegawainyaBenar saja Nyonya Sita sudah siap dengan hijab Syari cantiknya ketika Meidina sampai ke rumahnya. Beruntung ibunya sedang dalam mood bagus sepertinya sehingga omelan ibunya tidak keluar ketika Meidina dengan cengiran khasnya mendekat kearah sang ibu. "Gak usah nyengir, ganti baju sana!" perintah ibunya. "Kenapa mesti ganti baju segala?" tanya Meidina heran, dia memakai celana jogger berwarna baby blue yang serasi dengan hijabnya dan juga kaos sweater berwarna beige. Dia tidak merasa ada yang salah dengan dandanannya. Mereka hanya akan pergi belanjakan, bukan ke kondangan. "Kita mau ketemu temen ibu dulu, ganti baju kamu pake gamis dan pake sedikit make up diwajah kamu." perintah ibu lagi. "Males ah, gini aja gak usah ganti, Mei kan jadi supir ibu gak usah cantik-cantik nanti banyak yang naksir." ucap Meidina dan berjalan melewati ibunya mengambil kunci mobil. Bu Sita menghembuskan nafasnya kesal, dia lupa Meidina memang berbeda dengan Nadira. Meskipun Meidina sama-sama berhijab seperti adiknya tapi mereka memiliki style yang berbeda. Meidina lebih sering menggunakan baju santai atau baju buatannya sendiri yang dia adaptasi dari drama korea yang ditontonya. Meidina hanya menggunakan krudung segitiga atau pashmina yang panjangnya bahkan tidak sampai menutup dadanya. Sebenarnya tidak masalah karena putrinya terlihat sopan dan cantik. Tapi masalahnya ini keadaan berbeda dan bu Sita berharap Mei sedikit menjadi anak manis untuk hari ini. Bu Sita tidak berhasil membuat Mei mengganti pakaiannya dan harus sabar ketika anaknya mengenakan sandal jepit sejuta umat dengan alasan agar mudah menyetir. Dia juga harus menyiapkan telinganya karena selama perjalanan musik berbahasa asing kesukaan putrinya terus mengalun dengan volume yang cukup menulikan telinganya. Sampai di tempat janjiannya dengan sahabat semasa mudanya dulu, bu Sita langsung menyuruh putrinya merapihkan dandanannya. Meidina mengerutkan keningnya heran dengan permintaan ibunya, tapi dia tetap melihat wajahnya di cermin. Tidak ada yang salah dengan dandanannya jadi dia hanya mengangkat bahunya tidak peduli. Wanita berkulit putih itu langsung turun dari mobil mengikuti ibunya memasuki sebuah restoran bergaya joglo. Sepertinya ibunya dan teman ibunya itu salah memilih tempat pertemuan, bagaimana tidak, sekarang baru jam 10 dan bukannya terlalu pagi untuk makan di restoran. "Kenalkan Rahma, dia putriku namanya Meidina." ucap bu Sita saat putrinya mendekat kearahnya. "Meidina tante..." ucap Meidina sopan pada teman ibunya. "Oh ya ampun cantik sekali anakmu Sita, gen nya si Aa sama kamu pas banget berpadunya." ucap wanita paruh baya yang bernama Rahma itu ketika menerima uluran salam dari putri sahabatnya. "Sama cantiknya sama aku dulu kan?" tanya bu Sita. "Bedalah cantikan anak kamu kali." jawab bu Rahma membuat bu Sita cemberut. Dua wanita paruh baya itu terlibat obrolan nostalgia yang tidak dimengerti Meidina. Beruntung disajikan jus mangga kesukaannya di hadapan gadis itu, sehingga dia asyik meminum jus untuk mengurangi rasa bosannya. "Mei, kayaknya ibu bakalan lama ngobrol sama tante Rahmanya, kamu belanja sendiri aja yah." pinta bu Sita pasa putrinya yang telihat bosan mendengarkan obrolannya dengan Rahma. Selain itu dia juga ingin membicarakan sesuatu yang penting dengan sahabat lamanya itu dan belum saatnya Meidina tahu apa isi pembicaraannya. Meidina langsung bersinar cerah mendengar ucapan ibunya, dan langsung menerima daftar belanjaan dari ibunya beserta uang belanjanya dengan bahagia. Gadis itu berpamitan pada ibu dan teman ibunya itu dan bergegas meluncur ke pasar. Meidina memilih belanja di pasar tradisional daripada super market, karena menurutnya di pasar tradisional itu lebih murah dan menyenangkan mendengar acara tawar menawar antara penjual dan pembeli. Meidina suka dengan semua keramaian di pasar dari pada suasana super market. Meskipun terkadang pasar meninggalkan bau tidak sedap, Meidina tetap menyukainya. Setelah selesai berbelanja, Meidina kembali ke tempat ibunya tadi berada. Meidina sedikit heran kenapa ibunya membeli banyak sekali bahan makanan seperti akan kedatangan tamu saja. Meidina membuat ibunya syok ketika mendapati celana putrinya itu sudah terkena banyak cipratan hitam. "Kamu darimana?" tanya bu Sita shock. "Dari pasar atuh bu, kan tadi ibu suruh Mei belanja, aneh banget si ibu." jawab Meidina heran. Rahma tertawa mendengar ucapan Meidina, wanita paruh baya itu terlihat semakin kagum dengan putri dari sahabatnya itu. "Aku sangat menyukai putrimu, dan aku harap dia akan menjadi bagian dari keluargaku." ucap wanita paruh baya itu. "Tante mau adopsi Mei?" tanya Meidina heran mendengar ucapan wanita paruh baya itu. Tawa bu Rahma kembali meledak, dia mendekat kearah Meidina dan memeluk gadis yang baru pertama kali dia temui setelah gadis itu beranjak dewasa dengan sayang. ************* Meidina sedang membantu ibu dan adiknya memasak makan malam. Medina menatap heran pada dua orang wanita yang berwajah sama persis itu. Sejak tadi ibu dan anak itu terus-terusan tersenyum dan sesekali Nadira tersipu malu. Meidina menggaruk kepalanya tidak gatal melihat tingkah dua orang yang tidak melibatkan dirinya pada dunia mereka itu. "Mei, makan diluar yuk...mumpung Aa lagi free nih." ajak Tantra pada adiknya. "Gak boleh, malam ini semua harus makan malam di rumah." ucap ibu menyela. "Tapi Aa udah laper bu, acara masak kalian belum beres." keluh Tantra. "Ini acara sepesial adik kamu jadi kita harus makan bersama di rumah. Nyemil kripik sana buat nahan lapar." perintah ibunya. "Acara sepesial siapa emang?" tanya Tantra heran. "Nadira lah, siapa lagi?" jawab ibunya. Tantra hanya mengangguk mendengar jawaban ibunya, dia melirik pada Nadira yang tersipu. Dia melirik kearah Meidina, adiknya itu sepertinya tidak terlalu menyimak pembicarannya dengan sang ibu. Tantra menghela nafas, entah kenapa dia merasa akan ada hal buruk yang menimpa adik paling disayanginya itu. Suara bel berbunyi tepat setelah makanan penuh terisi makanan. Bu Sita terlihat semuringah dan berjalan cepat menuju pintu masuk. "Waalaikum salam pak Kiayi silahkan masuk..." ucap bu Sita membuat anggota keluarga yang lain ingin tahu siapa yang bertamu. Abah selaku kepala keluarga berjalan ke ruang tamu untuk menemui tamu yang bertamu ke rumahnya. Pria paruh baya itu mengerutkan keningnya bingung ketika melihat keluarga Kiayi sesepuh kampung bertamu ke rumahnya. "Ada keperluan apa pak Kiayi bertandang ke rumah saya?" tanya Abah sopan. "Apa bu Sita belum cerita maksud dan tujuan saya datang?" tanya Kiayi Ahmad. "Sudah pak Kiayi, suami saya sudah tahu." jawab bu Sita sambil mencubit pinggang suaminya agar menurutinya. "Alhamdulillah kalau begitu." ucap pria paruh baya yang menjadi tetua kampung itu. Meidina dengan tingkat kepo tinggi menguping pembicaraan anatara tetua itu, sementara Tantra yang sebenarnya penasarannya juga tetap stay cool di tempat duduknya, tapi dia memasang telinganya baik-baik untuk mendengar pembicaraan para orangtua itu. Tantra menggeser duduknya agar sampai ke ujung sofa tempat Meidina duduk sambil mengintip kearah pintu pemisah antara ruang tamu dan ruang keluarga. "Baiklah, saya akan langsung sampaikan tujuan kedatangan kami adalah untuk meminang putri bungsu bapak Hamdan, Nadira Khumaira." ucap pak Kiayi Ahmad dan disambut dengan dentuman seperti benda berat jatuh. Tantra yang kaget akan apa yang dia dengar tidak sengaja mendorong Meidina yang duduk menempel dengannya. "Aa ih ngapain dorong-dorong Mei segala." protes Meidina. Tantra menarik adiknya itu dan menutup mulutnya supaya diam. Pembicaraan tetua itu berhenti karena keributan di rumah bagian dalam. "Ah maaf, mungkin anak-anak sedang bercanda." ucap bu Sita tidak enak. "Jadi bagaimana jawaban dari lamaran kami?" tanya pak Kiayi lagi. "Kami..." "Kami menerimanya... Tapi pernikahan mungkin akan dilaksanakan paling cepat 6 bulan setelah pernikahan kakaknya Nadira diselenggarakan.." ucap bu Sita memotong ucapan suaminya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD