Dia ... Viona?

907 Words
Ruang tidur mengusung konsep kontemporer terlihat begitu mewah sekaligus berkelas. Hampir seluruh dindingnya berwarna hitam, dipadukan dengan pilihan seprei dan bantal yang mengusung warna silver mengkilap. Seluruh bagian lantai dilapisi karpet beludru warna abu-abu. Di sana nampak dua orang wanita sibuk memperhatikan pantulan diri di sebuah cermin besar, mereka sibuk memoles wajah masing-masing. Terlihat jelas seorang wanita yang lebih tua tersenyum simpul beberapa kali, ketika ia memandang wanita yang lain. Ya, kedua bidadari itu tak lain adalah Viona dan Aunty Vere. "Viona, cantik sekali dandanmu hari ini," ucap Aunty Vere sembari mengusap bahu keponakannya itu. "Ah, Aunty. Viona enggak dandan, kok. Hanya memakai sedikit bedak tabur." Rona pipi Viona bersemu merah, bagaikan memakai blush on berwarna merah jambu. Memang benar wanita itu tampak sangat manis hari ini. Dirinya dan sang aunty mempersiapkan diri untuk menjemput kepulangan Sisil dari Pulau Dewata. "Dipoles seperti apapun kamu tetap cantik," timpal Uncle Reivan yang berdiri di ambang pintu walk in closet kamar utama. Entah, sejak kapan lelaki yang sudah seperti ayah kandung Viona itu berdiri di sana, memperhatikan keduanya yang sedang bersolek. Mungkin karena terlalu lama menunggu di bawah, sehingga lelaki satu-satunya di kediaman itu menghampiri mereka. "Sayang, apa yang kamu lakukan di situ?" tanya Aunty Vere sembari mengeryitkan alis. Merasa namanya dipanggil, lelaki yang masih tampak rupawan itu mendekatkan bibir di telinga Vere. "Menanti bidadari surgaku selesai berdandan." Viona yang mendengar bisikan rayuan sang paman pun terkekeh. Begitulah mereka, selalu tampak mesra setiap saat. Usia tidak pernah menjadi penghalang, romansa pernikahan bak pengantin baru selalu mereka hadirkan. "Sudah, ayo kita berangkat. Sisil mungkin akan tiba sebentar lagi." Aunty Vere sengaja mengalihkan topik untuk menutupi wajahnya yang merona. Ini bukan kali pertamanya ia mendapatkan rayuan, tetapi perkataan yang terlontar dari mulut manis sang suami selalu berhasil membuatnya salah tingkah. Mobil yang mereka tumpangi pun meluncur bebas, menyusuri jalanan beraspal. Tak butuh waktu lama, mereka pun tiba di Bandara Husein Sastranegara. Tempat yang sama ketika Viona pertama kali menapakkan kakinya di tanah air. "Viona, Aunty dan Uncle parkir mobil dulu ya. Kamu masuk ke ruang tunggu saja dahulu. Nanti kita menyusul," titah Aunty Vere. "Baik, Ty. Viona ke dalam duluan." Sepuluh menit berlalu, kedua orang tua yang mengasuh Viona itu ikut bergabung bersamanya. Menanti kedatangan Sisil yang bepergian bersama sang kekasih—Nata. Perjalanan yang kedua sejoli itu lakukan semata-mata bukan untuk liburan, melainkan ada kesepakatan bisnis yang harus mereka tangani di sana. "Vi!" pekik seseorang dari sisi yang berlawanan dengan posisi Viona duduk. Wanita berparas manis itu sontak celingukan, mencari sumber suara. Manik matanya berbinar melihat kedatangan Sisil bersama Nata. Tanpa sadar ia pun berlari kecil, untuk menyambut kedatangan mereka. "Astaga, kamu benar-benar ikut menjemputku ke mari!" Sisil memeluk hangat sepupu yang dianggap sebagai saudara kandungnya itu. Viona mengerucutkan bibir. "Tentu saja, aku 'kan selalu menepati janjiku." "Aku sangat lapar, huhh," keluh Sisil menyunggingkan senyumnya. Viona memutar bola matanya jengah, entah kenapa sepupunya itu mudah sekali merasa lapar. Beruntungnya, para wanita di keluarganya diberikan keberuntungan dengan bentuk tubuh yang tak pernah mengembang meskipun makan berkali-kali. Sisil terkekeh mendengar ucapan Viona. Sebenarnya ia tidak merasa lapar, hanya saja ingin segera kembali ke rumah dan mengempaskan tubuh di zona ternyaman kaum rebahan. "Ayo kita pulang! Sisil kangen masakan Mommy," rengek Sisil lagi dengan aksen kekanakan. "No! Kita ditraktir Viona, dia mendapt investor katanya," seru Aunty Vere menggoda. Keluarga Viona sempat tidak mengerti bagaimana pemikiran wanita cantik itu. Dia berasal dari keluarga pengusaha, tapi begitu gigih memulai bisnis barunya dengan jerih payahnya sendiri. Salah satu didikan keluarga Corlyn yang selalu menanamkan bahwa semua hasil berangkat dari usaha yang tak pernah sia-sia. Di sisi lain, Racka sibuk memarkirkan kendaraan yang ia kemudikan. Lelaki itu berlari untuk mempercepat langkahnya, menuju ke ruang tunggu. Deru napasnya beradu dengan degupan jantung yang terus memompa darah. "Sorry, Nat. Aku sedikit terlambat," ucap Racka terenggah-enggah. "Enggak apa-apa. Aku juga baru sampai, ayo buruan pulang!" Mereka berdua berjalan menuju tempat di mana Racka memarkir mobilnya. Ekor mata lelaki itu menangkap sekelebat bayangan wanita yang tampak tidak asing baginya. Ya, siluet Viona! Tidak salah lagi, itu wanita yang selama ini dicarinya. Seketika hatinya berbunga-bunga bagaikan padang savana. Ulu hatinya terasa diremas. Meski dia hanya melihat dari balik tubuh. Racka bisa mengenali jelas bahwa wanita itu adalah cinta yang selama ini dia nantikan kedatangannya. Bak menunggu musim semi ketika musim gugur tiba. "Nat, itu Viona!" pekik Racka tanpa sadar. Lelaki itu melangkah dan bersiap untuk mengejar wanita yang amat dipujanya. Namun, pergelangan tangannya dicekal oleh Nata dengan cepat. "Viona? Siapa yang kamu lihat? Aku tidak menemukan Viona tadi," jawab Nata merasa kebingungan. Nata mengira bahwa semua itu hanya halusinasi Racka karena lelaki itu merindukan mantan kekasihnya. "Dia Viona. Aku sangat merindukannya! Vionaaa! Tunggu, aku Viona!" teriak Racka dengan lantang. Lelaki itu tidak peduli berapa banyak mata yang memperhatikan tingkahnya. Racka benar-benar tampak seperti orang gila, ia terus memanggil-manggil nama Viona. Bagaikan seekor kucing jantan yang sedang birahi dan terus mengeong. "Pelankan suaramu, Ka! Kita dilihat banyak orang!" Nata masih berupaya keras menahan sahabatnya. Matanya mengikuti arah pandang mata sahabatnya. Dia melihat Sisil dan keluarganya di seberang sana. Wanita yang tingginya hampir sama seperti tinggi badan Sisil, mungkinkah dia Viona? Di sisi lain, Viona yang sudah masuk ke dalam mobil itu mendengar seseorang menyebut namanya berulang kali. "Aunty, sepertinya ada yang memanggilku, ya?" Viona menatap ke belakangnya, beberapa kali merasa seperti seseorang tengah menyerukan namanya. "Tidak ada. Mungkin itu hanya perasaanmu saja, Vi."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD