Satu Nama

725 Words
Hoaaammm, aku terbangun karena jam wekerku. Jam sudah menunjukkan pukul 04.30, segera aku melangkahkan kaki ke kamar mandi mengambil air wudhu. Setelah 5 menit shalat aku berganti baju untuk jogging. Aku menuruni tangga di sana terdapat Aunty sedang menyiapkan bahan makanan untuk sarapan. Beliau memang seorang ibu dan istri yang selalu memastikan semua makanan kami selalu makanan sehat. "Morning Aunty," ucapku sambil memeluknya "Pagi Sayang, kamu mau jogging?" tanya aunty menatapku. "Iya nih Ty, oh ya Sisil belum bangun ya ty?" "Biasanya setelah shalat dia tidur lagi, kamu bangunkan aja sekalian ajak jogging," kata aunty kepadaku. Aku hanya tersenyum menjawab perkataan aunty Vere. Biarkan saja si cantik Sisil melanjutkan mimpinya bertemu dengan pangeran berkuda. "Enggak usah deh Ty, Vio sendiri aja," jawabku pada akhirnya. "Nanti tolong belikan bubur kacang hijau dibtaman komplek ya Sayang," pinta aunty kepadaku. Aku mengangguk mengiyakan. "Oke Ty, aku pergi dulu ya," ucapku seraya aku mencium Aunty. "Iya Sayang hati-hati." Setelah berlari mengelilingi komplek selama 1 jam, tiba-tiba ada yang memanggilku hingga membuatku menoleh menatap ke arahnya. "Viona, kamu Viona kan?" tanya lelaki familiar di hadapanku. Keningku berkerut heran. "Iya, siapa ya?" Aku bertanya sambil mengingat ingat wajahnya. "Aku Regan, temannya Racka Deo." Ah iya dia Regan. Sekarang aku kembali mengingatnya. Dia salah satu senior yang aku suka karena wajahnya begitu tampan dan juga menenangkan. Siapapun yang akan menjadi istrinya kelak, huhh aku iri denganmu. "Oh iya aku lupa, sorry ya." Aku tersenyum ke arahnya merasa tidak enak karena sudah melupakannya. "Bukannya kamu sekolah ke Australia untuk S2 musik ya, kamu hebat tahu bisa dapet beasiswa di sana," puji Regan yang menurutku sangat berlebihan. Lelaki di depanku ini terbilang salah satu idola pada jamannya. Hanya saja, Reganera bukan tipe yang akan mengambil keuntungan dari wanita-wanita yang menyukainya. Bahkan bisa aku katakan, dia tidak pernah sama sekali menjalin hubungan dengan wanita manapun. Ah aku ingat, dia pernah jatuh cinta dengan seorang gadis kala itu—Nadia Mark Wijaya. Sayang sekali perasaan Nadia tidak bisa dibohongi. Nadia lebih menanggapi perasaan Fernando ketimbang mencoba bersama Regan. "Kamu mau pulang setelah ini?" tanya Regan kepadaku. "Kenapa?" tanyaku balik. "Itu ada penjual bubur, kamu mau mampir ke sana?" tawar Regan. "Mau ditraktir nih? Boleh," kekehku mendapat cebikan dari dosen tampan ini. Kami berdua berjalan menuju tukang bubur. Aku tidak menyangka kalau lelaki di sampingku ini juga tidak terlalu pilih-pilih makanan. Aku jadi teringat sosok lelaki yang telah menjadi suami wanita lain. "Jangan menyesal ya sudah mengajakku makan di sini," ucapku menatapnya menggoda. "Tenang saja, kalaupun makanmu habis banyak tinggal aku minta ganti sama Racka," jawabnya tersenyum. Raut wajahku berubah, mendengar nama itu kembali menjadi perbincangan tentu saja tidaklah mudah bagiku. Darahku kembali berdesir hebat, aku merasa ini seperti kembali pada masa di mana aku ditinggalkan karena lelaki yang aku cintai harus menikah dengan wanita pilihan ibunya. "Dia ... maksudku Racka, belum tahu kamu pulang?" tanya Regan menatapku. Aku mencoba tersenyum. "Untuk apa dia tahu, kita tidak perlu saling bertukar kabar lagi seperti dulu," kekehku tersenyum meski aku tahu akan gagal juga. Semangkuk bubur kacang hijau berada dalam tanganku. Aku memasukkan satu demi suap bubur itu tanpa merasakan bagaimana nikmatnya bubur kacang hijau yang melegenda di komplek perumahan kami. Bisa kulihat dari ekor mataku, Regan nampak menatapku penuh pertimbangan. Mungkinkah dia akan mengatakan kepada Racka bahwa aku telah kembali? "Aku dengar dari Nadia, Kakak sudah menjadi dosen ya?" Aku mulai membuka suara, menghilangkan keheningan yang sejak tadi hanya terdengar suara dentingan sendok. "Mm, iya. Kamu sempat bertemu dengan Nadia juga?" tanya Regan masih antusias ketika membahas soal Nadia. Aku mengangguk. Kami memutuskan untuk mengakhiri perbincangan setelah aku usai membungkus beberapa bubur kacang hijau titipan dari aunty. "Duluan, Kak Re," pamitku melangkahkan kakiku kembali ke rumah. Helaan napas panjang terdengar begitu kasar. Aku memegang dadaku yang kini bergemuruh hebat akibat perbincangan tadi menyebut nama seseorang di masa lalu. Entah mengapa hanya memanggil namanya saja sudah membuat tubuh ini bereaksi begitu keras. Kenapa jantungku berdetak seperti dulu? "Vio!" panggil seseorang membuatku berjingkat kaget. Di sana Aunty Vere menatapku dengan kebingungan. "Ada apa?" tanya beliau. "Kenapa wajahmu merah begitu?" lanjutnya lagi menatap wajahku penuh selidik. Aku lantas memegang wajahku spontan. "Hah? Ti-tidak kenapa-napa, Aunty. Hanya lupa memakai sunscreen saja tadi," jawabku gugup. Aku menyerahkan satu kantung plastik berisi bubur kacang hijau kepada beliau. Tanpa menunggu jawaban, aku langsung berlari menaiki tangga rumah untuk menuju kamar pribadiku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD