3 : Ujang Abu

1278 Words
    Dia bernama Ardo.  Pria pendiam yang tak sengaja bertemu denganku karena peristiwa khusus.  Saat pertama aku bertemu padanya adalah ketika aku menolongnya dari sergapan perampok yang memukulinya.  Heran, apa yang diharap perampok itu dari sosok pemuda berpenampilan sederhana itu?  Kurasa mereka itu perampok putus asa yang tak kunjung mendapat mangsa yang tepat!     Aku mendengar keributan di jalan sepi itu ketika mobilku sedang melintas disana.     “Tunggu, hentikan mobilnya!” perintahku pada Pak Kelan, supir pribadiku.     Begitu mobil kami berhenti, aku memperhatikan kejadian di belakang mobil kami melalui kaca spion.      “Hanya perampokan kecil di siang bolong, Nona.  Sebaiknya kita abaikan saja,” saran Martin, bodyquard yang sering mengawalku.     Aku paling tak suka diatur, apalagi Martin yang mencoba memerintahku.  Enak saja, siapa majikan disini?  Karena kesal aku sengaja memerintahkan yang sebaliknya.     “Hei, kamu!  Turun dan bantu orang itu!”     “Tapi Nona, Tuan Alfonso telah berpesan kita harus segera tiba di pertemuan penting.  Sebaiknya...”     Brak!!     Aku membuka pintu mobil, lalu bergegas menghampiri pusat keributan yang menyita perhatianku.  Beberapa preman jalanan nampak mengerubungi seorang pemuda yang tak bisa kulihat jelas wajahnya.  Aku tersenyum sinis, lalu melepas sepatu high heelku yang berujung tajam.      “Hei, kalian!”  panggilku memancing perhatian para preman jalanan itu.     Begitu mereka menoleh, aku langsung menyambit mereka dengan sepatu high heelku.     PLETAK!!  Tepat sasaran, ujung runcing sepatuku mengenai hidung bundar salah satu preman itu.  Dia melolong kesakitan sambil memaki-maki mengabsen nama hewan di kebun binatang.     Kerumunan itu buyar, sebagian menghampiriku, sehingga aku bisa melihat lebih jelas pemuda yang menjadi korban perampokan mereka.  Pakaiannya memang lusuh, tapi... amboi, wajahnya sangat rupawan dengan rahang tegas dan mata elangnya yang tajam.  Namun semua itu dibalut dengan kesederhanaan dan wajah nelangsa.. eh kesabaran khas orang biasa.  Dia maskulin sekaligus indah, dibalik sosok lusuhnya.  Ah, aku tak bisa menjelaskan.  Begitu banyak hal pertentangan dalam dirinya.  Tapi aku suka penampilannya, rasanya tak rugi aku menyisihkan lenganku untuk membantunya.     “Jadi, apa kau bersedia memberikan apa yang tak bisa diberikan gembel itu?” seorang preman yang kini berada didepanku bertanya dengan mata menatap nyalang padaku.     Aku tersenyum manis padanya, lalu menjawab, “Tidak!”     Preman itu menggeram marah, tangannya terkepal siap meninjuku.  Namun belum sempat tangan kotornya menyentuh diriku, seseorang mengirimkan tendangan di wajahnya.  Dia Martin, bodyquardku.     BUK!!     Preman itu terpental dan jatuh ke tanah semeter dari tempatku berdiri.  Lalu terjadilah pertempuran antara para preman j*****m itu melawan bodyquard dan supirku yang terlatih bertempur di dunia mafia yang kejam.  Kurasa mereka bisa menghadapinya.  Aku melangkah mendekati pemuda yang terduduk dengan wajah lesu menatap pertempuran didepannya.     “Siapa namamu?” tanyaku arogan padanya.  Aku berdiri didepannya dengan gaya seperti nyonya besar menginterograsi pembantunya.     “Ardo,” jawabnya dengan suara datar.  Ia  menatapku lekat, entah mengapa ada sesuatu yang menggeliat dalam hatiku.  Tatapan itu seakan menembus sukmaku.     “Terima kasih,” katanya perlahan.  “Saya tak akan melupakan budi baik Nona...?”     Dia menanyakan namaku, tapi maaf deh.  Aku tak terbiasa mengumbar namaku pada sembarang orang.   Resiko menjadi putri mafia terkenal, aku harus waspada bila namaku disalahgunakan.     “Kau tak perlu tahu namaku,” kataku angkuh.      Kebetulan pertempuran telah selesai, dengan hasil akhir sesuai perkiraanku.  Pihak kami menang.  Aku menggesek kedua telapak tangannku seakan ingin membersihkan noda kuman yang mungkin menempel disana.     “Selamat tinggal, anggap saja ini hari keberuntunganmu bertemu dengan wanita spesial sepertiku.  Mungkin kedepannya kita tak akan bertemu.  Jaga dirimu baik-baik... Ardo!”     Dengan pesan seangkuh itu aku meninggalkannya yang tengah menatapku nanar.  Sorry hoze, pesona sederhanamu tak cukup untuk membuatku mengikatkan diriku padamu.      I ‘m special!            ==== >(*~*)      Itu pertemuan pertama kami.  Di pertemuan kedua kami, aku mengubah pikiranku untuk tak melibatkan dirinya dalam kehidupanku.     Keadaan terbalik dengan sebelumnya, kali ini ia yang menolongku.  Saat itu rem mobil yang dikendarai Pak Kelan entah bagaimana tak berfungsi dengan baik.   Mobil kami menabrak tiang listrik di pinggir jalan.  Pak Kelan terluka cukup parah.  Kakinya terjepit dashboard mobil yang melesak kebawah.  Aku sendiri baik-baik saja, hanya ada lecet di keningku.  Sialnya kali ini kami berada di jalanan yang sepi dan Martin tak ikut menemani kami.          Aku mencoba mencari pertolongan dengan meminta bantuan melalui ponselku.  Sial, ponselku terpental entah kemana, aku tak bisa menemukannya.  Aku semakin panik begitu melihat kondisi Pak Kelan yang cukup parah.  Tak mungkin aku meninggalkannya begitu saja.  Apa yang harus kulakukan?      Tok.  Tok.  Tok.     Di saat seperti itu ada yang mengetuk kaca jendela mobilku.  Aku menurunkannya dan langsung berhadapan muka dengan Ardo yang menatapku khawatir.     “Anda tak apa, Nona?”     Aku sempat melongo melihatnya, kali ini penampilannya sedikit lebih baik.  Dengan rambut tertata sedikit rapi dan wajahnya tak lebam seperti sebelumnya.  Astaga, dia semakin mempesona dibanding terakhir kali aku melihatnya!     “Nona..?”     “Ehmmmm,” aku menelan salivaku gugup, “aku baik saja, tapi dia..” aku menunjuk Pak Kelan yang duduk di bangku kemudi.     Bergegas Ardo membuka pintu mobil dibagian kemudi, kudengar ia menanyakan beberapa pertanyaan yang dijawab Pak Kelan sambil merintih kesakitan.     "Nona, kita harus segera membawanya ke rumah sakit, sebelum kaki Pak Kelan semakin parah.  Sepertinya dia mengalami patah tulang!” ujarnya khawatir.      “Tapi bagaimana, ponselku... eh, bisa pinjam ponselmu?”      Dia menggeleng tegas.  “Tak keburu Nona, kita yang akan membawanya sebelum patah tulangnya semakin serius hingga menimbulkan cacat.”      Aku semakin gugup, tak sadar aku membiarkan Ardo mengambil-alih langkah-langkah penyelamatan Pak Kelan.  Beberapa saat kemudian kami telah berada di mobil pick up bak terbuka yang dibawa Ardo.  Mobil rongsokannya berjalan cukup tenang meski kami melewati jalanan tak rata.   Aku duduk didepan bersamanya, sedang Pak Kelan dibaringkan di bak belakang, di samping anak sapi, yang dibawa Ardo.       “Apa kau bekerja di peternakan sapi?” tanyaku ingin tahu.      Ia berdeham menjawabnya, “Hmmmm ..”      Daripada meladeni pertanyaanku ia lebih fokus untuk menyetir mobil rongsokannya supaya cepat tiba di rumah sakit.  Kuakui caranya menyetir sangat baik, bahkan boleh dikata ia lebih lihai dibanding Pak Kelan supir pribadiku.  Bagaimana kalau aku memintanya sebagai supir pengganti sementara Pak Kelan belum mampu menyetir karena tulangnya patah?     “Dengar Ardo, aku memiliki kesempatan baik untukmu.  Bagaimana kalau kau menjadi supir penggantiku sementara Pak Kelan tak mampu menyetir?  Aku akan membayarmu puluhan kali lipat dari yang kau dapat saat ini!”     Tak sesuai dugaanku, ia tak menyambut penawaranku dengan antusias.  Ia terdiam cukup lama, sebelum menjawabnya.     “Hanya sementara?  Lalu setelah itu, Anda akan membuangku Nona?” sindirnya halus.     Wah, dia cukup cerdas untuk orang sederhana sepertinya.  Kurasa dia tak akan mau menerima tawaranku.  Tapi aku berusaha membujuknya.     “Setelahnya... kita lihat lagi apa yang bisa kau kerjakan.  Tapi Ardo, aku akan menggajimu sangat besar!  Mungkin itu setara dengan upahmu selama setahun lebih!  Anggap saja kau cuti dari pekerjaan lamamu, bila majikanmu tak mau menerimamu lagi kau bisa mencari pekerjaan lain seperti ini.  Kurasa tak sulit menemukannya kan?”     Kuakui aku egois memberinya alternatif seperti ini.  Dad yang selalu memanjakanku turut membentuk karakterku menjadi angkuh dan cukup egois.  Aku sadar, tapi sulit merubahnya!     “Tak semudah itu, Nona.  Bagi Anda orang kaya, dunia seakan dalam genggaman.  Tapi buat kami, dunia sering tak adil.”     “Ah, sudahlah tak usah berceramah.  Membuatku suntuk saja.  Kalau kau menolak tawaranku aku bisa mencari orang yang lebih kompete..”     “Saya mau, Nona,” potongnya tegas.       Aku terdiam mendengarnya.  Apa dia serius?     “Saya serius,” seakan tahu yang ada dalam benakku dia menyambung ucapannya.  “Dengan satu syarat.. boleh saya tahu nama Nona?”     Astaga, itu syarat yang sangat sepele.  Dengan menyunggingkan senyum manisku aku menjawabnya, “kenalkan namaku BELLA KANIA ALFONSO.”     Itulah awal masuknya sosok Ujang Abuku dalam hidupku.  Nantinya ia akan menjadi pion untuk menyempurnakan pemberontakanku pada keluargaku!            ==== >(*~*)< ==== Bersambung..    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD