PART 2

1310 Words
Saat ini aku masih belum percaya bahwa aku berada di dalam salah satu mobil mewah di Singapura bersama seorang lelaki menarik yang melamarku. Maksudku, apa sih hebatnya aku sampai membuat lelaki yang ku yakin bisa memacari model sekalipun ini melamarku ? Dia memperkenalkan diri sebagai Azka Hafiz Reynand. Seorang arsitek yang tinggal di Singapura dan merupakan orang Indonesia. Wajahnya yang sedikit bule membuatku agak kaget saat dia berkata bahwa dia orang Sunda. Yang benar saja?! Mobil sedan yang dikendarai sendiri oleh Azka memasuki jalan kecil dan menunjukan kawasan perumahan. Di malam hari seperti ini, jalanan tampak sangat sepi. Entah jika siang hari akan seperti apa. Selama perjalanan Azka menolak untuk membahas kejadian tadi, juga menolak meminjamkan handphone nya padaku untuk menelepon Anna. Selama perjalanan aku mencoba mengingat apakah aku pernah mencari tahu nomor telepon telepon polisi di Singapura atau nomor telepon kedubes Indonesia disini untuk berjaga-jaga kalau ternyata Azka berniat jahat padaku. Setelah beberapa menit, mobil berhenti didepan rumah berpagar kayu yang berada di sudut jalan. Sebelum Azka benar-benar menghentikan mobilnya, pintu pagar terbuka dan Azka kembali melajukan mobilnya kemudian memarkirnya di carport bersebelahan dengan mobil Alphard dan Range Rover berwarna putih. Well, sepertinya Azka orang yang cukup berada. Tapi itu tetap tidak menutup kemungkinan bahwa dia seorang penjahat. Di zaman sekarang, orang kaya pun bisa menjadi pejahat, apalagi penjahat kelamin. Ewww memikirkan itu membuatku bergidik dan kepalaku tidak bisa berhenti membaca doa-doa meminta perlindungan kepada Tuhan dan mempertanyakan kebodohkanku kenapa mau saja diajak pergi oleh si Azka ini. "Ayo turun" ajak Azka seraya mematikan mesin mobil dan keluar dari mobil. Ragu-ragu, aku ikut keluar dan tanpa sadar memperhatikan halaman kecil rumah Azka yang diterangi lampu berwarna kuning, membuatnya terlihat mewah. "Ayo, masuk. Didalam kamu bisa telfon teman kamu." Aku menurut dan mengikutinya masuk meniti tiga tangga menuju dua pintu kayu dan segera masuk ke dalam rumah bergaya minimalis ini. Saat masuk kedalam, ku tebak rumahnya tidak terlalu besar karena ruang tamunya tidak besar. Ada satu set sofa berwarna hitam dan cermin bulat besar menempel di dinding berlapis wallpaper. Lelaki itu mengajakku masuk ke ruang televisi dan memintaku duduk selagi dia mengambil telefon wireless yang entah berada dimana. Televisi besar menggantung di dinding yang semuanya ku yakin berlapiskan wallpaper. Dengan pekerjaannya sebagai arsitek, aku percaya saja jika lelaki ini sangat kaya. "Ini, coba telefon temen kamu," Azka menyodorkan telefon wireless berwarna silver dihadapanku setelahnya dia kembali menghilang. Segera aku menelepon Anna dan bersyukur begitu mengetahui Anna sudah pulang. Sebelum sempat aku menjelaskan, Anna sudah memutuskan hubungan terlebih dahulu dan aku merasa aneh karena Anna tidak menanyakan keberadaanku dan kapan aku pulang. Temen macam apa sih dia?! Apa jangan-jangan dia berniat menjualku ya?! "Jadi, sepertinya kamu butuh penjelasan?" suara Azka mengagetkanku. Ternyata lelaki itu baru kembali dari dapur saat aku melihat dia membawa dua cangkir berisi cokelat panas dan kopi, sepertinya. Azka duduk dihadapanku. Lelaki ini, kenapa bisa begitu berkharisma?! Wajahnya terlihat dewasa walaupun aku yakin umurnya masih berada dipenghujung kepala dua. Tubuhnya tegap dan tinggi. Mungkin 175-180 cm, entahlah. Aku tidak terlalu pandai mengira-ngira. Lelaki seperti dia, masa sih belum punya pasangan? "Darimana aku harus memulainya?" tanya Azka. Aku mengangkat bahu. "Mungkin dari... bagaimana kamu tahu aku. Tunggu! Memang kamu tahu aku siapa? Mungkin memang kamu salah melamar orang. Orchard kan ramai sekali tadi," kataku cepat-cepat. Setelah ku fikir kembali, mana ada lelaki seperti Azka ini jatuh cinta pada pandangan pertama padaku. Kesimpulanku pasti dia salah orang! Tidak seperti yang aku harapkan, Azka malah tertawa dengan santainya. "Gak mungkin aku salah orang. Kamu Callysta Talia Azzahra, kan?" Wow, dia tahu namaku! Buru-buru ku anggukan kepalaku. "Iya, kok tahu? Kamu bukan stalker kan?," tanyaku memincingkan mata. Azka menjentikan jarinya penuh semangat. "Benar! Aku tidak salah melamar orang." "Aku bingung" keluhku. "Bisa jelasin dari awal kamu tahu aku sampai kamu mutusin buat lamar aku? Aku bahkan gak kenal kamu." "Baiklah. Aku akan menceritakan garis besarnya saja, oke?" ku anggukan kepalaku. Azka berpindah duduk ke sampingku yang memang duduk di sofa untuk dua orang. dari jarak seperti ini, parfum Azka tercium oleh hidungku. Wangi banget! Aku harus tanya apa merek parfum nya nanti. "Aku tau kamu itu gak sengaja waktu ngeliat kamu lagi video call sama Anna—" "Kamu kenal Anna?" tanyaku kaget memotong ucapannya karena seingatku aku hanya menyebut nama Anna saat aku bilang ingin menelepon temanku dan aku menyebutkan nama Anna. Azka tertawa kecil. "Iya aku kenal. Kenalnya karena aku sering ketemu sama Pak Ridwan wakil dubes Indonesia itu. Aku sering main ke rumah dinasnya dan saat itu lihat kamu sama Anna lagi video call lewat laptop. Aku langsung naksir sama kamu" ucap Azka langsung tanpa tahu malu. Sedangkan aku yang mendengarnya, ku yakin wajahku sudah memerah. "Dari situ aku tanya-tanya tentang kamu sama Anna. Dari cerita Anna aku kaya udah kenal kamu seumur hidup, tau gak. Maka dari itu aku putusin buat lamar kamu." "Jadi, acara liburan ini jangan-jangan rencana kamu sama Anna?" Azka mengedikan bahunya. "Gak juga sih. Sebenarnya aku malah mau bulan kemarin tapi kata Anna kamu lagi ujian", kemudian dia menghela nafas, "untung kemarin kamu mau nerima tawaran Anna. Akhirnya niat baik aku tersampaikan juga" ucapnya benar-benar terlihat lega luar biasa. Aku menganggukan kepala selama Azka bercerita. Terharu banget rasanya begitu tahu ada lelaki maha sempurna semacam Azka naksir sama aku hanya karena melihat aku di video call. Tuhan pasti sayang sama aku. "Ngomong-ngomong, umur kamu berapa?" tanyaku begitu melihat wajahnya yang dewasa. "27 tahun. Gak tua, kan? Kita Cuma beda... hm... 6 tahun. Gak masalah buat aku" jawabnya. Gak masalah juga sih buat aku. Tapi, yang jadi masalah adalah aku belum siap nikah. Kerja aja belum, masa udah nikah. Belum bahagiain orangtua. "Kita gak akan nikah dalam waktu dekat, kan?" walau takut, ku coba untuk menyuarakan pikiranku. Azka menatapku lekat-lekat. "Kamu gak mau nikah dekat-dekat ini?" tanyanya dengan tatapan mengintimidasi ku. Buru-buru ku gelengkan kepalaku. "Bukan. Bukan begitu" jawabku cepat. "maksud aku, aku baru kenal kamu. Gimana kalau kita saling mengenal dulu. Satu tahun... gitu..." "Kita bisa saling mengenal setelah menikah, Call" aku tertegun. Dari seluruh orang yang mengenalku, rasanya baru kali ini ada orang yang memanggil ku 'Call' . Selama ini, semua orang terdekatku memanggilku 'Cit' tanpa alasan yang tidak jelas. Alasan yang sampai saat ini akupun tak tahu apa maksud dan artinya. "Kok kamu diam aja? oke, aku kasih kamu waktu untuk mengenal aku, 3 bulan. gimana? Selama itu kita bisa menyiapkan pernikahan kita" putusnya. Aku membelalakkan mataku. "Orangtuaku bahkan belum tahu aku akan menikah. Kamu percaya diri banget bakal direstuin" ucapku sedikit mencibir. Ku lihat Azka tersenyum dan menarik iphone 6 yang berada di nakas samping sofa dan menunjukkan layarnya dihadapanku. Aku menghela nafas lelah begitu melihat pesan-pesan singkat antara Azka dengan mamaku. "Kamu stalker ya?" lirikku sinis. "Setelah tahu nama kamu dari Anna, aku langsung cari tahu tentang kamu. Gak perlu lah repot-repot bayar orang. Cukup dari google sama Anna langsung, aku sampai tahu gimana gaya tidur kamu" sahut Azka puas. Aku menghela nafas. "Terserah kamu deh. Pokoknya aku mau kita saling kenal. Gak fair dong disaat kamu tahu semua tentang aku, aku gak tau apa-apa tentang kamu" dumelku sedikit kesal. Tiba-tiba aku merasa bahwa sudah mengenalnya seumur hidupku hingga aku merasa bisa berkeluh kesah, marah, jengkel dengannya langsung. Tanpa canggung, Azka mengelus pelan kepalaku bahkan dia mencium puncak kepalaku seakan kami sudah bertemu sebelumnya. bertepatan dengan itu, pintu rumah Azka menjeblak terbuka dan muncul seorang bocah perempuan yang berlari kecil dan langsung menubruk Azka yang masih duduk tepat disampingku. “Sebelum kamu tau lebih jauh tentang aku, kenalin dulu, ini Adriana. Anak aku" Azka memangku gadis kecil berambut sebahu itu didepanku dan mengulurkan tangan Adrianna tepat ke hadapanku. Gadis kecil itu menengadah dan menatap Azka penuh minat. "Ad, ini calon mama kamu" ucapan Azka sukses membuatku ingin pingsan. Menikah diusia 21 tahun tidak masalah bagiku. Tapi lain cerita jika menjadi ibu tiri di usia 21 tahun. Ya Tuhan!!!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD