3 - Bertemu Gilbert

1062 Words
“The moment you doubt whether you can fly, you cease forever to be able to do it.” – J.M. Marie, Peter Pan *** Ada yang mengatakan, dunia layaknya sebuah permainan. Bumi beserta isinya hanyalah papan dan manusia adalah pionnya. Sejak kecil, dia selalu berhasil mendapat apa yang kuinginkan. Dia bukan tipikal bocah manja yang merengek-rengek. Dia juga bukan tipikal bocah yang bossy. Anak laki-laki itu tak bergelimang harta, maupun kekuasaan. Keluarganya sangat sederhana. Namun, kecerdikannya memungkinkan semua keinginan yang ia miliki terwujud. Dari dulu, dia bisa mendengarkan suara-suara aneh. Ketika menatap seseorang contohnya. Saat mereka mengatakan “hai”, dia bisa mendengar hal lain seperti “s**l bocah ini lagi” samar-samar. Kejadian ini terus berlangsung hingga suatu ketika dirinya sadar bahwa suara-suara yang ia dengar adalah suara pikiran orang banyak. Hal tak biasa ini tentunya sempat membuatnya dipandang aneh oleh beberapa orang, misalnya teman. Mereka berkata A, dia langsung tahu arah pembicaraan mereka adalah  B. Teman yang hanya memanfaatkannya menjadi tak bisa berkutik lagi. Sewaktu debt collector menggedor pintu rumah keluarganya dan menuntut pembayaran segera, sedangkan keluarganya itu dilanda krisis moneter, tanpa ragu bcah itu menggunakan bakatnya untuk bernegosisasi. Bocah itu menawarkan permainan catur yang ternyata merupakan hobi bagi si penagih hutang itu. Jika debt collector itu menang, maka dalam tiga hari bocah itu berjanji akan melunasi semua hutang, tapi jika anak itu yang menang maka batas pembayaran bertambah sesuai permintaan keluarga. Orang itu menerima dengan tawa mengejek. Tentu saja, anak itu membaca semua strategi yang lawan pikirkan. Bahkan tak luput u*****n kasar dalam pikiran juga terdengar nyaring baginya. Dalam tiga menit, bocah itu melakukan skakmat. Nama anak itu, Nathano Gilbert. Penagih itu tidak terima dan menganggap dirinya curang. Pasalnya, ia lihai dalam bermain catur. Gilbert menawarkan tiga kali kesemptan lagi. Dan ketiga-tiganya Gilbert yang menang. Ia berhasil menyelamatkan keluarganya. Gilbert tak perlu repot-repot menyembunyikan bakat uniknya. Orang-orang bisa menganggap intuisinya sangat tajam. Bakat ini kerap kali ia terapkan dalam perlombaan debat, catur, dan cerdas cermat. Semua yang membutuhkan logika berpikir cepat dan bisa Gilbert “baca” sungguh mudah baginya. Selalu juara pertama. Hadiahnya pun bisa membantu meringankan beban keluarga. Dengan bakat itu, memanipulasi pikiran orang jadi lebih mudah. Gilbert hanya perlu menargetkan arah pembicaraan pada apa yang mereka takutkan dan apa yang mereka rahasiakan. Ia pun mendapatkan apa yang ia mau. Kadang kala, Gilbert bertanya-tanya. Apakah ada yang memiliki bakat seperti dirinya? Atau ada variasi bakat yang hampir mendekati sama seperti bakat miliknya? Gilbert ingin sebuah tantangan. Bertemu dengan orang yang bernasib sama sepertinya. Dan memecah misteri di balik kemampuan “unik” ini misalnya. *** “Tuan, mereka menunggu di luar.” Pria berjas hitam itu melirik ke arah Hammington, sekretarisnya. “Suruh mereka masuk!” Sekumpulan pria dengan setelan abu-abu masuk dan membungkuk hormat. “Jadi, katakan alasan kalian ingin bertemu denganku.” Mereka saling menatap dalam hening.  Panggung dipenuhi ketegangan. Sang pemeran utama benar-benar pandai mendalani karakter seorang detektif handal. “Ada permasalahan di Markas pusat.” Salah satu dari pria berjas abu-abu membuka mulut. “Lanjutkan.” Gilbert berkata dalam ekspresi yang gelap. Penuh keseriusan dan ketegangan. “Kami tak tahu apa yang sebenarnya terjadi tapi –” “Langsung ke intinya!” potong Gilbert sambil memutar bola mata. “Biar kutebak. Sir Thomas tertembak mati? Sebuah pesan ditinggalkan di perkakasnya?” sambung Gilbert menerka-nerka. Bingo! Mata melotot mereka sukses menyatakan “ya” pada ucapan sang detektif. “Isi pesannya, bawa $7000 ke tepian kota dekat pangkalan minyak, pastikan kalian mengirim satu wanita saja, jika tidak seluruh warga kota akan berduka dengan kematian ‘sang duke’,” ucap salah satu pria berjas abu-abu. “Jangan lakukan sesuai perintah surat itu. Semua hanya jebakan. Baik kau serahkan uang tebusan atau tidak ‘sang duke’ pasti tidak akan mati. ‘Tepian kota’ melambangkan gertakan yang menutupi ketakutan mereka sendiri. Mereka sengaja mencari tempat sepi agar tak mudah dilacak. ‘Pangkalan minyak’ berarti mereka tak terlalu memiliki banyak s*****a, pasalnya s*****a api sekecil mungkin bisa memicu ledakan minyak di pangkalan. ‘Sang duke’ tidak ada ditangan mereka melainkan sudah berhasil kabur dan bersembuyi entah di mana. Mereka hanya ingin tujuannya terlaksana. Mereka tak pandai memanipulasi pikiran dan emosi, sehingga gertakan mereka mudah terbaca,” jelas Gilbert menyelidiki kalimat dalam surat itu. Semua takjub dibuatnya. Tak ada yang berpikir hingga sejauh itu. Penonton juga semakin terbawa suasana. Gilbert kembali memberi perintah. “Kepung mereka diam-diam dengan mengirim sekretarisku Hammington. Dia bisa dihandalkan . Intinya jangan serahkan uang itu. Begitu Hammington memberi kode serangan  dengan jarinya, langsung sergap teroris itu ditempat. Sisanya silakan nencari keberadaan ‘Sang Duke, Sir Rafael’ di sekitar pertokoan dekat sungai. Satu-satunya tempat yang aman untuk bersembunyi dalam keadaan terdesak ada di sekitar sungai!” Akting para pemain benar-benar bagus. Hingga akhir acara, Emily masih bertahan di kursinya yang berarti ia tak merasa bosan. Ketika pertunjukkan itu selesai, tepuk tangan meriah kembali terdengar. “Acara sudah selesai, ayo pulang!” seru Sarah begitu melihat hiruk pikuk penonton yang mulai beranjak dari tempat duduk. Emily mengangguk, tapi sesuatu mengenai Nathano Gilbert, entah apa itu, membuatnya merasa aneh. Mungkin hanya perasaannya atau Gilbert memang memiliki sesuatu yang lain dari orang biasa. “Emm, Sarah, seberapa jauh kamu kenal adik kelasmu itu?" Sarah menoleh. Menatap heran temannya. “Kenapa bertanya seperti itu?” Matanya membulat, “jangan-jangan... suka?!" Emily mendesah berat mendengar temannya. Langkah mereka masih jauh dari parkiran sepeda. Jam sudah menunjukkan setengah sembilan. Ia tak boleh berlama-lama lagi. “Ayolah! Langsung ke intinya. Jangan menanyaiku macam-macam! Kau seberapa jauh mengenalnya?” Sarah mengedikkan bahu. “Kami tetangga. Tapi dia tak terlalu mencolok di lingkungan perumahan. Aku juga hanya tahu rumahnya di mana, tidak lebih. Sisanya aku kagum pada pesonanya.” Emily berhenti sejenak. “Aku harus memastikan sesuatu. Ini tak seperti yang kau pikirkan percayalah. Kau boleh pulang lebih dulu!” Sarah menggelengkan kepala, pusing dengan tingkah Emily. “Urgh! Apalagi sekarang?" *** [Back stage] Emily mencari-cari dari kerumunan orang itu. Berjas hitam berjas hitam, ayo kau bisa temukan, pikirnya. Namun s**l, terlalu banyak orang disitu hingga ia tak bisa menemukan. SLAP! Tiba-tiba kaki Emily tergelincir ke depan. Lantai tadi ternyata bekas ketumpahan air. Oh tidak! Ini bencana! Aku akan jatuh! Emily memejamkan mata menahan rasa sakit yang akan dirasakannya. Namun ditunggu beberapa detik, ia tak merasakan memar atau pun dinginnya lantai. Lengannya merasa hangat, hidungnya merasakan bau parfum dan gel rambut yang pekat. Netranya terbelalak seketika ketika melihat siapa yang menahannya. Tubuhnya kembali tegak lagi. “K-kau, Nathano Gilbert, kan?” tanya Emily terputus-putus. Ia bingung harus bertanya bagai mana mengenai perasaan “aneh” nya. Perasaan yang mengganggu ketika orang itu menabrak dirinya. Perasaan adanya “kesamaan” di antara mereka. “Sudah tahu tapi masih tanya,” jawab Gilbert dingin. Sejenak alisnya diangkat. Mencoba mendengar suara-suara pikiran dari gadis di depannya. “Maaf. Aku tak sopan. Akan kujawab pertanyaanmu. Ikut aku.” Gilbert menarik lengan Emily. Gadis itu memberontak, butuh penjelasan. Gilbert sedikit menganggukkan kepala, netra kehijauannya menangkap keraguan dalam sorot Emily. “Aku sudah mengerti maksudmu mencariku. Ikut aku. Aku juga butuh penjelasan.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD