4 - Naluri

1183 Words
“Imagination is everything. It’s the preview of life’s coming attractions.” – Albert Einstein  *** “Hei! Kau membawaku kemana?!” Emily meronta-ronta saat Gilbert menyeret paksa tangan kanannya tanpa memberi alasan terlebih dulu. Gilbert hanya melirik sekilas ke arahnya. Begitu menghadap ke depan, ia menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tak ada siapa pun selain mereka berdua. “Oke sekarang saat yang tepat untuk bercerita,” ujar Gilbert dengan ekspresi serius. “Emily Clarkson, kelas 2-9, kakak kelasku. Kakak menemuiku untuk memastikan sesuatu, bukan?” Emily mengernyit. “Bagaimana kau tahu? Kau bisa membaca pikiranku?” Gilbert tersenyum miring. “Jika kujawab ‘ya’, apa itu menjawab semua yang ada di pikiran kakak?” Emily membelalakkan matanya. Gilbert hanya menanggapi dengan menghela napas. “Kakak meragukanku. Aku tahu itu. Aku tahu semuanya. Lima detik lalu kakak tak yakin dengan ucapanku. Baru saja tadi kakak berpikir apa aku memang bisa membaca pikiran.” Emily mengernyitkan dahi lagi dan mendesah. “Oke. Kamu menang. Sudah terbukti. Sejak kapan kamu tahu bakatmu? Apa ada orang lain yang menyadarinya?” Gilbert menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Sejak dulu, tepatnya kapan itu tak penting. Sejauh ini baru Kak Emily saja yang tahu.” Sesaat tak ada yang berbicara di antara mereka. Emily sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan di pikirannya, sedangkan Gilbert merasa jenuh ketika membaca isi pikiran Emily. “Bukan hanya kakak yang pantas bingung di sini. Aku juga bingung. Bagaimana bisa kakakk menyadari ada yang beda dariku dan aku juga menyadari ada yang berbeda dari kakak? Sedangkan aku masih belum mengerti apa bakat kakak?” Gilbert mengubah ekspresi wajahnya. Kali ini menjadi lebih serius. “Sebenarnya siapa kita? Kenapa kita berbeda, Kak?” Emily menatap sebentar wajah kebingungan itu sebelum memutuskan apa yang akan dilakukannya . “Akan kujelaskan.” Gilbert menatap lurus Emily di depannya. “Kalau begitu jelaskan dengan cepat dari bakat kakak.” “Aku bisa menjadi apapun yang aku mau ketika menutup kedua mataku. Jika aku membayangkan diriku menjadi sesuatu, maka itulah yang akan terjadi.” Gilbert tertawa kecil. “Aku tak percaya itu. Bakatku masih tergolong masuk akal, tapi bakat kakak tak bisa dipercaya. Buktikan.” Emily tau ini akan terjadi. Sejak awal percakapannya dengan Gilbert dia paham anak itu akan meragukannya. “Akan kubuktikan. Kamu ingin aku jadi apa, hmm?” Gilbert menaikkan kedua alisnya. “Kakak menantang imajinasiku? Oke. Bisakah kakak berubah menjadi burung merak? Atau kucing bersepatu boot? Badut sirkus mungkin?” Emily memutar bola matanya. “Untuk jadi kucing bersepatu boot, kau harus punya boot dulu untuk dipakai. Apalagi badut sirkus, kau harus menyiapkan seluruh atributnya. Aku bisa mengubah fisik dan mental tapi tak bisa bersamaan dengan atributnya. Itu sama seperti mengubah dirimu jadi musisi tapi tanpa alat musik di hadapanmu.” Gilbert tertawa. “Aku tahu semua itu susah dibuktikan. Katanya bisa menjadi apa saja, kan? Ya, aku tidak salah dong. Sekarang terbukti kakak hanya pembohong.” Emily tidak terima. “Salah satu dari keinginanmu yang bisa diterima cuma burung merak.” Emily mengeluarkan sapu tangan dan mengikat tepat di kedua matanya. Begitu matanya terpejam, ia membiarkan imajinasinya mengambil alih. Emily mulai membayangkan dirinya mengecil dan berubah menjadi seekor burung sebesar ayam dengan bulu berwarna biru dan hijau. Seekor merak. Gilbert memperhatikan kejadian itu dengan seksama. Kakak kelasnya itu perlahan berubah menjadi merak. Namun, satu hal yang mengganjal. “Hei, kakak memang berubah, tapi apa sapu tangan itu harus tetap menutupi pandangan? Apa tidak cukup dengan memejamkan mata saja? Jadi itu hanya berfungsi ketika pandangan kakak tertutup?" Di alam bawah sadarnya, Emily mulai melepas ikat di matanya. Dia berubah seperti semula. “Yah, sebenarnya itu juga tetap berfungsi dengan hanya memejamkan mata, tapi konsentrasiku sering terganggu jadi aku perlu mengikat sapu tangan agar lebih fokus. Itu benar, bakatku hanya berfungsi ketika memejamkan mata,” kata Emily menjawab semua pertanyaan beruntun Gilbert. “Jadi, kakak tak bisa melihat? Itu kelemahannya?” Emily mengedikkan bahu. “Tak sepenuhnya benar. Aku tetap bisa melihat sekelilingku di alam bawah sadar. Seperti lingkungan di alam mimpi. Hanya saja semua warnanya seperti efek foto negatif. Bertolak belakang dari warna nyata.” Gilbert mengangguk-angguk. Emily merapikan penampilannya dan membersihkan sisa bulu-bulu merak yang menempel di bajunya. “Hei, menurutmu ada berapa orang yang 'berbakat' seperti kita?” ucap Emily memecah hening. Gilbert tak merespon. Sibuk menatap langit malam yang bertaburkan bintang. Emily mendengus kesal. “Terserahlah.” “Aku mendengarkan, Kak. Hanya tidak tahu bagaimana menjawabnya. Menurut perkiraanku sangat banyak. Jumlahnya mungkin ratusan mungkin ribuan atau jutaan. Yang jelas mereka terselip dan bersembunyi di antara yang lain, layaknya bintang-bintang. Pertanyaan kakak sama saja seperti 'hei kau tau berapa jumlah bintang dengan gas berwarna merah dan biru?' sudah pasti tidak ada yang tahu. Itu pertanyaan bodoh,” tukas Gilbert. Emily mengerucutkan bibirnya. [Mentang-mentang dijuluki jenius, dia besar kepala!] “Maaf saja buat yang pintar! Aku hanya kakak kelas yang tak sampai sejauh itu untuk berpikir! Kau membuat malu setengah mati. Aku kalah pintar darimu!" celoteh Emily dengan gaya yang sangat ekspresif, mirip orang kesetanan dari sudut pandang Gilbert, tapi lebih mirip remaja labil yang hiperbola dengan nasib yang di dapatkannya. Gilbert tertawa puas melihat emosi kakak kelasnya itu meledak-ledak. Emily mendengus, ia semakin kesal dibuatnya. Namun lama kelamaan bukan hanya Gilbert, Emily pun ikut tertawa. Begitu tawa mereka reda, Gilbert melanjutkan pembicaraannya. “Seperti bintang, pasti ada yang menghilang, ada juga yang mulai membentuk kembali. Ada yang mati, ada yang lahir dengan 'bakat baru'. Jumlah mereka berkurang tapi tetap terus bertumbuh,” jawab Gilbert panjang lebar. “Bisa jadi, seperti itu. Aku yakin banyak orang di luar sana seperti kita, Kak.” Emily mulai berpikir, bakat Gilbert bukan hanya fakta dimana ia bisa membaca pikiran, tapi juga menggunakan logika dan penalaran. Bakatnya menuntun pikiran Gilbert untuk terbuka luas dengan menghadapi segala variabel dan problematika yang saling bermunculan dan mencari jalan keluarnya dengan segala cara. Emily sedikit iri dengan bakat adik kelasnya itu. Bisa membaca jalan pikiran seseorang pasti akan dicap jenius. Padahal dia hanya “berbakat”. Sedangkan bakat Emily, tak bisa digunakan setiap waktu dan setiap kesempatan. Gilbert menatap Emily. Dia tersenyum mendengar semua keirian Emily dalam pikirannya. Kakak kelas yang baru dikenalnya itu ternyata lucu sekali. Gilbert kembali menatap langit sebelum akhirnya melihat Emily lagi. Sejenak ia ragu untuk mengutarakan apa yang terlintas di benaknya. Ia menghela napas kasar sebelum bersuara. “Kak, apa mungkin ini pertanda?” Emily yang mendengar pertanyaan Gilbert langsung mengangkat alisnya. “Pertanda apa?” Gilbert mengedikkan bahu. “Entah. Bisa jadi seperti adanya portal dunia lain, penemuan tak terduga, fakta gelap di balik dunia saat ini, krisis besar, atau yang terburuk, akhir dunia?” Emily hanya tersenyum miring menanggapi ocehan bocah itu. “Jangan konyol. Sebaiknya kita pulang saja, sudah sepi.” Gilbert yang agak melamun langsung tersadar berapa lama waktu yang mereka habiskan di sini. Ia pun hanya mengangguk mengiakan. Menit berikutnya mereka sudah berjalan menuju parkiran sepeda. Emily sebenarnya sedikit terusik mendengar pernyataan Gilbert. Dulu dirinya juga memikirkan kemungkinan apa yang terjadi jika banyak orang memiliki kemampuan seperti dirinya. Pastinya jika ketahuan, seluruh dunia akan heboh. Para peneliti berlomba-lomba menangkap “orang berbakat”, politisi menentang adanya pembahasan kasus tersebut, pemuka agama menyatakan tanda akhir zaman, masyarakat yang kebingungan, netizen yang menghujat dan mencemooh, dan kemungkinan lainnya. Entah mengapa yang terlintas hanya kemungkinan terburuk. Akan tetapi yang pasti, Emily yakin akan suatu hal. “Gilbert, kau harus rahasiakan ini semua.” Gilbert menoleh dan menanggapi dengan nada datar. “Tanpa disuruh aku sudah tahu.” Emily tersenyum kecut. “Ya, ya, terserah. Lalu, soal pertanda yang kau sebutkan tadi.” “Hmm?” Gilbert menggumam dan melirik Emily sekilas. Yang dilirik hanya menatap bocah setinggi tiang itu penuh semangat. “Aku yakin ini pertanda sebuah misteri dunia akan terungkap.” Itulah yang diyakini Emily. Nalurinya, perasaannya sudah memastikan, sesuatu entah apa di dunia serba normal ini menanti mereka. Menunggu saat yang tepat untuk muncul. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD