5 - Kenyataan Tak Terduga

1378 Words
“Into the sky, to win or die.” – Christopher Paolini, Eragon  *** “Luke, cepat bangun! Kau sekolah kan!” Emily meneriaki adiknya yang masih tenggelam dalam mimpi. Jam sudah menunjukkan pukul enam, tapi adiknya masih saja berpetualang di alam bawah sadarnya. Luke Clarkson sayup-sayup mendengar teriakan kakaknya dari lantai bawah. Kesadarannya masih belum terkumpul. Rasanya seluruh badan Luke mengambang di udara. Mimpinya terasa nyata. Perlahan-lahan ia membuka mata. Tangannya meraih-raih ponsel yang biasanya terletak di meja samping kasur. Aneh, rasanya yang ia cari-cari sangat jauh letaknya. Luke pun berusaha menyadarkan mata seutuhnya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari tubuhnya berada dalam posisi tidak wajar. Luke menatap ke sekeliling, lalu mencubit pipinya berulang kali. Ini bukan mimpi. Tubuhnya sedang mengambang di langit-langit kamar. Rupanya mimpi yang ia rasakan benar-benar terjadi. [Astaga, bagaimana ini?! Aku ingin turun!!] jerit Luke dalam diam. Begitu menyuarakan keinginannya keras-keras dalam hati, Luke langsung terjatuh ke kasur. Parahnya, kasur Luke langsung memberikan gaya tolakan yang besar. Luke terpantul lalu berguling di lantai. “Apa-apaan ini, ba-bagaimana bisa?” “Luke! Jangan berencana bolos ya!! Cepat turun atau kutunjukkan semua koleksi majalah maksiatmu ke papa!” Mendengar suara kakaknya yang menggema itu, Luke gelagapan dan meraih ponsel. Ia terkejut untuk kedua kalinya begitu melihat waktu yang ditunjukkan. Buru-buru Luke langsung meraih seragam yang tergantung dan bergegas turun menuju kamar mandi. [Masa bodoh dengan yang tadi! Akan kuselidiki nanti saja. Pokoknya kakak atau siapa pun tak boleh tahu!] Emily bersiap meluncurkan serangannya jika Luke tidak segera turun dan bergegas. Dia akan membeberkan semua koleksi “majalah terkutuk” milik adiknya itu ke papa. Masa bodoh tentang janjinya menjaga rahasia. Hingga sekarang Luke pun tidak berhasil memberikan apa yang dia mau. Mendadak, ia mendengar suara jatuh yang sangat keras. Emily sedikit terkaget dengan suara gaduh yang berasal dari kamar Luke. Emily berdecak, “Apalagi sekarang...” Ia memutuskan untuk naik dan akan mendobrak pintu Luke. Namun begitu Emily menginjak anak tangga pertama, terlihat Luke yang berlarian turun. Tiba-tiba saja Luke tergelincir dan jatuh tepat menimpa sang kakak. Mereka terjatuh heboh. Sudah dipastikan akan ada perang setelah ini. “Kamu ini kenapa, hah?! Cepat berdiri atau kujewer kupingmu!” “Aku bukan anak kecil lagi! Tak perlu meneriakiku seperti itu!” keluh Luke sama kesalnya. “Terus mau dibangunkan pakai cara apa? Kamu mau kusiram saja wajahmu?! Lain kali dengan senang hati kulakukan itu, dasar babi pemalas!” “Kakak!! Argh!!” Emily menjewer kuping adiknya itu hingga memerah. “Cepat mandi!!” “Kakak menghabiskan waktu!! Jika bisa, aku akan terbang menjauh darimu, Kak! Lepaskann!!” Tepat setelah Luke menyelesaikan ucapannya, Tiba-tiba saja Emily mendapati adiknya itu melayang dan bergerak menjauh darinya. Luke gelagapan sekali lagi dengan kondisi tubuhnya. “Astaga terjadi lagi. Aku ingin turun!!” Luke pun terjatuh. Ia langsung berlari ke kamar mandi, meninggalkan kakaknya yang masih terbengong-bengong. Sedikit bingung, tapi Emily menyadari sesuatu. “Luke!! Kau berhutang penjelasan padaku, akan kutagih pulang nanti! Aku berangkat dulu! Kau pakai saja sepeda di gudang! Jangan kira bisa menghindar dariku setelah ini,  brother!!" Emily pun langsung berlari sekencang mungkin. Tak mungkin menunggu bus di jam yang sangat padat ini. Ditambah, jam pertama adalah pelajaran yang paling ditakuti. Luke yang mendengar kakaknya berderap keluar hanya pasrah. [Habis sudah.] *** “Oke, sudah saatnya istirahat. Jangan lupa tugas yang saya berikan tadi. Oh, ya, Emily, tugasmu ditambah dua halaman berikutnya karena telat sepuluh menit pada jam pertama saya,” Bu Nadja langsung bergegas pergi setelah mengucap serentetan kalimat penuh komando mutlak. Emily semakin kesal dibuatnya. Bagaimana tidak? Pasalnya Emily jadi terlambat dan mendapat kesialan gara-gara adiknya yang molor seenak jidat. Belum lagi kekacauan yang dibuat adiknya itu. “Pokoknya dia harus menjelaskan semua padaku.” Emily bergumam ke luar kelas. Sarah yang berada di koridor melihat Emily dan langsung menghampirinya. “Akhirnya.” Emily mengangkat alis. “Kenapa?” “Emily, kau berpura-pura bodoh atau apa? Jelas-jelas kamu menyuruhku pulang lebih dulu waktu itu. Aku menuntut penjelasan!” Sarah mengomel. Emily hanya pasrah. “Bukan hal penting kok.” Sarah tau temannya itu berbohong. Ditatapnya lekat-lekat hingga Emily kebingungan. “Aku tau kau berbohong. Siapa yang kamu temui?” [Anak ini benar-benar susah ditipu!] batin Emily. “Tidak ada.” Sarah mengangkat alis sebentar. “Aneh. Kemarin aku melihatmu berlari kecil ke belakang panggung. Setahuku kamu tak mengenal siapa pun orang-orang di ekstra teater.” “Aku juga dengar gosip, kata anak-anak kelas sepuluh, kemarin ada perempuan yang mengajak Gilbert bicara empat mata. Katanya sih pernyataan cinta. Aku tak percaya bisa secepat itu, padahal baru saja aku ingin mendekatinya.” Sejenak Emily sedikit terkejut. Pastilah orang yang dimaksud adalah dirinya. Seperti biasa, salah paham membuat semua semakin buruk. Jangan sampai ketahuan. Ketika keduanya sedang menuju kantin, di depan mereka ada rombongan orang yang entah sedang mengerumuni apa. Tiba-tiba di antara mereka melintas seorang lelaki yang menyelinap keluar dan berlarian. Matanya berpapasan dengan mata Emily. Mereka juga sama-sama terkejut. “Kak! Bantu aku pergi! Ayo!!” Secara tidak sadar, mendadak tangan Emily sudah digeret oleh tangan laki-laki itu, yang tak lain dan tak bukan adalah Gilbert. Entah apa yang dilakukannya hingga ia dikerumuni orang-orang. Apalagi sebagian besar dari mereka adalah perempuan. *** “Jadi, kenapa kau mengajakku terlibat?” Emily membuka mulut ketika mereka sudah berada di taman belakang. Satu-satunya tempat strategis untuk bersembunyi. Gilbert masih memegangi lututnya dengan sedikit terengah-engah. “Aku hanya pergi ke kantin. Mendadak perempuan-perempuan itu langsung mengerumuni. Mereka berteriak aneh-aneh dan bahkan ada yang ingin menembakku!” Gilbert menjelaskan dengan nafas masih terengah-engah. “Je-jelas, aku harus kabur!” Emily memutar bola mata. “Itu belum menjawab pertanyaanku, dasar. Kenapa kau langsung menyeretku begitu saja?” Gilbert sedikit menarik sudut bibirnya. “Kak.” “Hmm?” “Kujadikan pacar mau tidak?” Pikiran Emily langsung seperti tersambar petir di siang bolong. Otaknya langsung mencari sisi masuk akal dari ucapan Gilbert. “Hah? Apa?!” Gilbert sedikit tertawa. “Ahh, jangan terlalu serius kak. Hahaha. Wajah kakak seram sekarang.” Emily membelalak. “Orang mana yang tidak terkejut, bodoh? Cepat jelaskan maksudmu. Jangan mengajakku main-main!” Gilbert berhenti terkekeh.  “Oke, oke. Suara di pikiran kakak berteriak sangat keras. Hahaha, kakak berbeda dari orang-orang tadi. Kalau mereka, sudah pasti berteriak kegirangan." “Aku punya prinsip menjalani hubungan secara serius setelah benar-benar siap.” Emily menjelaskan panjang lebar. “Aku tidak suka orang yang bermain-main dengan perasaan.” Dia memang bukan tipe gadis yang berpikiran sesuai pada umurnya. Emily berkaca dari kebanyakan temannya yang sudah berpacaran. Kebanyakan dari mereka gagal dalam belajar, susah konsentrasi, dan ujung-ujungnya ketika putus, mereka jadi terlalu terbawa suasana dan tak bisa fokus pada apapun. “Yah, aku mengerti. Aku sengaja menarik kakak agar mereka berpikiran aku sudah ada yang punya,” jelas Gilbert. “Hanya sementara kok. Sampai mereka berhenti mengejar-ngejar lagi.” “Terserah. Aku tidak akan menuruti kemauanmu, itu justru mempersulit nantinya. Mereka mau beranggapan apa, yang jelas kau hanya sebatas adik kelasku, tidak lebih,” ucap Emily tegas. “Aku juga tidak akan menyeret kakak ataupun menyuruh kakak berbuat aneh-aneh. Hanya biarkan aku sering menemuimu, Kak. Boleh?" Gilbert bertanya penuh harap. Cara itu yang terampuh untuk mengusir wanita yang mengejar-ngejarnya. “Kupastikan hanya bertemu sesekali saja” Emily menghela napas panjang. “Terserah saja. Tapi, kenapa kamu tidak memilih teman perempuan satu kelas mungkin, atau yang satu angkatan. Kenapa aku?” “Hehe,” Gilbert tertawa pendek. “Jauh lebih bagus kalau itu kakak. Karena kakak tidak akan berusaha pamer.” Emily ber-oh ria. Pandangannya datar. Meskipun begitu, ia cukup paham dengan maksud Gilbert. [Ada benarnya juga.] Gilbert mengamati Emily. Wajah Emily yang masih bingung entah mengapa membuatnya tertarik. [Pemikirannya juga, benar-benar berbeda dari orang lain.] [Bisa jadi, aku benar-benar suka lho, Kak.] Sejenak tak ada yang bicara diantara mereka. Semua berkutat dilikiran masing masing. Gilbert juga sedikit iseng dengan membaca apa yang dipikirkan Emily. Alisnya sedikit terangkat mendengar suara-suara itu. “Kak, apa adikmu juga memiliki kekuatan seperti kita?” Emily sedikit tersentak. Tentunya ia sadar pikirannya kecolongan dibaca oleh bocah itu. Ia mengangguk kecil. “Sesuai apa yang kau baca di pikiranku. Aku juga tak tahu bagai mana atau kapan Luke adikku punya bakat dan menyadari bakatnya. Tadi pagi ia sepertinya juga belum bisa mengendalikan hingga kecolongan memperlihatkannya di depanku.” Gilbert hanya mengangguk-anggukkan kepala. Emily kembali berpikir. Tiba-tiba saja menemukan ide. “Karena kau sudah tahu, apa kau mau menemui adikku pulang sekolah nanti?” Gilbert hanya menoleh dan mengangkat alis. “Eh?” *** Luke pulang dengan keadaan kacau. Sepeda yang ia pakai tadi tiba-tiba saja bocor dalam perjalanan pulang. Belum lagi ia nyaris mempertunjukkan ke banyak orang perihal kemampuannya. “Kenapa s**l berpihak padaku.” “Karena memang lagi s**l saja, Bodoh!” Emily muncul sepuluh menit kemudian setelah Luke tiba di rumah. Diikuti Gilbert yang langsung membuat Luke menautkan alis. “Aku adik kelas kakakmu. Nathano Gilbert,” jelas Gilbert begitu membaca pertanyaan yang muncul di benak Luke. “Oh. Luke Clarkson. Panggil saja Luke,” ujar Luke acuh tak acuh. “Ada apa ini, Kak? Jarang sekali kau mengundang teman apalagi teman laki-laki.” Emily maju selangkah mendekati adiknya. “Jadi, dia orang yang sama memiliki kemampuan aneh sepertimu." Luke langsung menatap Gilbert tak percaya. Antara bingung dan terkejut. “Ah ya. Jangan lupakan kakakmu ini. Aku juga salah satu berkemampuan aneh sepertimu.” Luke pun semakin membelalakkan matanya. Emily dan Gilbert hanya tersenyum kecil. “Oke. Mari mulai pendiskusian ‘bakat’ kita.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD