6 - Petunjuk

1084 Words
“When you compare the sorrows of real life to the pleasures of the imaginary one, you will never want to live again, only to dream forever.” – Alexandre Dumas, The Count of Monte Cristo  *** “Jadi, kau baru tahu tentang kemampuanmu pagi tadi?” Emily membuka suaranya. Luke hanya mengangguk polos . “Tadinya kukira aku hanya bermimpi sedang melayang, nyatanya itu benar-benar terjadi,” kata Luke. Gilbert menantang Luke, “Coba tunjukkan.” Luke menatap Gilbert tajam. “Kau mencurigakan. Buktikan dulu kemampuanmu!” Gilbert memutar bola matanya. Sudah pasti bocah tengil itu meragukannya. “Luke Clarkson. Empat belas tahun. Sekarang kau merencanakan sesuatu setelah ini berakhir,” ucap Gilbert malas. “Perlu kubocorkan hal apa itu ke kakakmu?” Luke mengangguk tanpa ragu. Gilbert sekarang menyeringai. Luke menjadi sedikit resah. “Kak Emily, adikmu ini m***m sekali. Dia berencana pergi ke toko buku lagi untuk membeli majalah –” “STOP! SAMPAI DI SITU SAJA!!" Luke langsung melempar bantal dari sofa dan menghantam tepat di mulut Gilbert. Gilbert tertawa cekikikan puas sambil membalas memukulkan bantal ke Luke. Mereka bergulat bantal terus-menerus tanpa menyadari kekacauan yang mereka timbulkan hingga akhirnya – Bantal kuning melesat dengan gesitnya tepat menutupi hidung Emily yang mancung hingga menutupi keseluruhan wajahnya. Emily yang sedari tadi memandangi ruang tamu yang nyaris seperti habis terserang binatang-binatang di film Jumanji, mendadak langsung roboh dari kursi seketika dengan kepala menghantam lantai. Hening. Bencana segera terjadi. “Luke...” “I-iya, Kak?” “Gilbert...” “Y-ya?” Emily menatap tajam keduanya sambil memegangi kepala. Yang ditatap sudah pasti merasakan pancaran kegelapan dan tertutupnya cahaya pengampunan. Mereka sama-sama menelan ludah. “Kalian ini... Rasakan pembalasanku!!” Emily berteriak heboh, menutup mata, dan berubahlah ia menjadi serigala. Benar-benar serigala, secara harafiah. Tentu saja Gilbert dan Luke menjerit panik. Mereka bermain kejar-kejaran. Tanpa sadar mereka semakin merusak barang-barang yang berantakan. Emily dalam wujud serigala bermain dengan imajinasinya dengan setiap sudut dari ruangan. Ruang tamu itu diubah bentuknya sesuai pemikiran yang diinginkan Emily, berbentuk lingkaran. Perlu diingat, Emily bisa melakukan apa saja dan menjadi apapun sesuai dengan imajinasinya jika ia benar-benar menginginkan hal itu. Bahkan jika sedang serius, tanpa penutup mata dan hanya dengan menutup mata saja, semuanya terwujud. Emily, the talented. *** Sudah dua jam sejak kekacauan itu terjadi. Banyak barang berserakan di sana-sini. Emily yang paling diuntungkan. Dia memanfaatkan situasi dengan baik. “Bereskan semuanya!! Cepat!” “Luke, kau kira bisa menipuku dengan menyembunyikan sampah itu di bawah celah sofa?! Bereskan semua!” “Gilbert!! Ambil buku-buku, koran, dan bantal itu! Rapikan mejanya!” Gilbert mengerucutkan bibir. Sedari tadi ia menahan diri. Suara-suara licik dari pikiran Emily benar-benar mengganggunya sekarang. “Hei, sebagai kakak juga harus membantu dong. Aku tahu semua yang Kak Emily rencanakan. Kaakak memanfaatkan kami dan tidak mau membantu kan?” Gilbert membuka mulut. Emily meliriknya sekilas. Senyum kecil menghias pipinya sekarang. “Aduduh, kepalaku sakit sekali. Kalau begini caranya aku tak bisa menolongmu lagi dari mereka yang mengejar-ngejarmu tadi di kantin. Bagaimana ini...” “Iya, Kak Emily menang. Kubereskan semua. Puas?” Gilbert menyorot tajam, tapi kemudian sorot matanya kembali tenang. [Ya, tertawa saja. Pikiran kakak benar-benar bersuara dengan sangat jujur. Gemas.] “Kakak selalu benar,” timpal Luke yang sudah duduk manis di sofa. Gilbert terpaku sesaat sebelum akhirnya menyadari sesuatu. “Kau tak membantuku? Halo, ini rumahmu bukan rumahku? Cukup satu orang saja yang mengeluh kesakitan dan tak mau membantu.” Luke menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Yahh, itu...ehm Kak Emily...” Emily tertawa licik. “Katanya mau membereskan semua sendiri. Ingat? Kau yang mengatakannya kan? Otomatis Luke tidak perlu lagi terlibat. Toh adikku sudah berkontribusi membereskan sebagian besarnya.” Gilbert mengerucutkan bibir. “Terserahlah, terserah kakak. Dasar kakak adik sama saja! Bikin capek!” Keduanya cekikikan mendengar Gilbert melepas kekesalannya. Gilbert tak peduli dan memilih cepat-cepat menyelesaikan semua. Begitu tangannya meraba-raba lantai di dekat meja tua setelah membereskan semua buku, tangannya menemukan sesuatu. Sebuah kertas usang kekuningan yang sudah agak robek. Terlihat kusam dan tertekuk berkali-kali. [Apa ini?] Diraihnya kertas itu dan membiarkan jari-jarinya menelusuri tekstur dari kertas tersebut. [Kasar, sudah pasti bukan hvs, kertas buku, ataupun karton. Ini apa?] Dibukanya kertas itu. Sedikit penasaran dengan apa yang dilakukan Gilbert di sudut ruangan, Emily dan Luke ikut mendekat. Kosong. Tak ada tulisan maupun coretan. Benar-benar kosong. “Hei, apa ini? Kenapa aku baru melihat kertas ini? Kau menemukan di mana?” tanya Emily lalu menyentuhkan jarinya ke permukaan kertas. Mendadak jari Emily terasa seperti terbakar. Gilbert dan Luke sedikit terkejut begitu melihat reaksi Emily. “Apa yang terjadi? Kenapa jariku panas rasanya begitu bersentuhan dengan kertas itu?” Luke penasaran. Jarinya disentuhkan ke kertas itu. Ia pun melakukan reaksi yang sama. Namun ia merasakan sensasi yang berbeda. “Bukan seperti terbakar, rasanya lebih seperti tersengat listrik.” Gilbert dan Emily menatap Luke. Gilbert semakin penasaran. Dari tadi mereka menyentuh titik kertas yang sama, pusat kertas itu. Gilbert mencoba menyentuh pusat kertas. Tidak terasa apapun. “Tidak terjadi apa-apa,” ujarnya. Emily menatap Gilbert heran. “Bagaimana bisa?” Luke enggan berkomentar dan menatap bekas yang digoreskan Gilbert. Muncul seperti goresan kecil yang belum jelas wujudnya. “Hei perhatikan lagi. Muncul sesuatu setelah kak Gilbert menyentuhkan jarinya di sini.” Luke menunjuk ke pusat kertas. Tak sengaja jarinya juga bersentuhan. Aneh. Dia tak merasakan apa-apa lagi begitu menyentuh bagian yang tadi disentuh Gilbert. Namun, begitu menyentuh bagian lainnya. Sengatan itu kembali muncul. “Sengatannya muncul lagi,” ujar Luke. “Kertas ini bereaksi pada aku dan kak Emily, tapi tidak untuk Kak Gilbert. Sebaliknya, muncul goresan kecil di bekas sentuhan Kak Gilbert. Ketika kusentuh bagian itu, aku tak merasakan sengatan lagi, tapi jika menyentuh bagian lain, jariku tersengat.” Gilbert menatap Luke. Emily balas menatap Gilbert. Ia mulai berpikir akan sesuatu. “Benda ini bereaksi dengan kita semua, tapi yang paling kuat adalah reaksi dari Gilbert. Yang artinya, benda ini memang hanya bisa digunakan olehnya. Goresan itu berarti sesuatu.” Gilbert semakin penasaran. Di sentuhkan seluruh telapak angan kirinya dan diusapkan ke seluruh permukaan kertas dari ujung hingga ke ujung. Sebuah gambar bertinta hitam muncul disitu. Gambar tersebut membentuk suatu pola. Emily tak mengerti, begitu juga dengan Luke. Hanya Gilbert yang dapat membaca dengan jelas. “The Talented. Tujuh tanda, tujuh kepribadian. Saling terhubunglah dan aku akan menjumpai kalian.” Emily dan Luke menatap Gilbert tak percaya. “Tahu isinya? Bisa membacanya?” ucap mereka nyaris bersamaan. Luke yang masih kebingungan hanya merespon dengan anggukan kecil. Kemudian matanya memicingkan lagi pada kertas itu. Sesuatu yang besar menanti mereka. “Petunjuk, kah?” “Untuk apa?” “Siapa pengirim kertas ini?” Berbagai pertanyaan bermunculan. Mereka bergumam begitu saja meneriakkan isi pikiran yang terpendam. Satu hal yang pasti. Mereka tidak hanya bertiga. Masih banyak diluar sana, yang sama seperti mereka. *** “Bagaimana?” “Satu orang telah menerima pesan itu, Tuan.” Seseorang dengan nada suara yang lembut menjawab. “Kalau begitu tinggal menunggu waktu. Dan semuanya akan berkumpul.” Pria itu menutup pintu, lalu kembali duduk di depan piano tua miliknya. “Akhirnya aku bisa mengumpulkan mereka bersama.” “Benar, Tuan. Kita akan mendapat bantuan.” Pria itu kembali memberi perintah, “Sekarang, kau pantau saja mereka. Jangan sampai ‘mereka’ mencurigai dan mengacaukan rencanaku untuk bertemu dengan anak-anak berbakat itu.” “Baik, Tuan.” Wanita itu membungkuk dan memperhatikan setiap ucapan tuannya. “Malu aku mempercayai ‘mereka’ dengan bodohnya. Eksperimen gagalku.” “Apa masih ada yang harus saya lakukan?” Kembali wanita bertanya. “Tak perlu. Awasi saja mereka. Jangan sampai mereka salah bertemu orang.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD