“Oh my God. Aku bercanda, Poni!”
Mendengar jawaban Bella membuat Poni terkikik. “Give your phone to me.”
Bella mendengus dan memberikannya.
Poni segera menyimpan nomor Ansel ke ponselnya sebelum menyerahkan kembali ponsel milik Bella. Well, tentang ponselnya yang kehabisan baterai saat ia mengatakannya di mobil Ansel, itu hanya kebohongan Poni untuk mendapatkan nomor kak Ansel.
***
Mobil yang dikendarai oleh Ansel berhenti di depan perusahaan Völker Group. Masih mengenakan seragam sekolah, ia masuk dengan santai dan berhenti di depan resepsionis.
Seorang karyawan baru segera menyambutnya dengan ramah dan senyum yang sangat lebar. “Selamat sore, ada yang bisa saya— aw!”
Teman di sebelahnya segera menunduk hormat. “Maaf, Tuan Muda. Dia masih karyawan baru—”
Ansel menghentikannya dengan gerakan tangan. “Katakan kepada Pak Hendryk jika saya sudah tiba. Saya akan menunggu di sana.” Ansel menunjuk salah satu tempat tunggu sofa di lobi perusahaan.
“Pak Hendryk sudah berpesan bahwa Anda bisa langsung ke ruangannya.”
Ansel mengangguk singkat. “Terima kasih.”
Ansel segera berjalan menuju elevator yang mengantarkannya langsung menuju ruang kerja ayahnya.
“T-Tuan Muda?” karyawan baru tersebut merasa shock berat dengan wajah pucat. “Aku... aku tidak akan dipecat, bukan?”
Wanita di sebelahnya menggelengkan kepala pelan. “Kedepannya, kau harus tahu wajahnya. Dia adalah anak bungsu Pak Hendryk.”
“Aku kira anak Pak Hendryk hanya Pak Al. Aku baru tahu anak-anak Pak Hendryk sangatlah tampan. Tapi kenapa dia sangat dingin ya? Berbanding terbalik dengan Pak Al yang ramah. Tapi tetap saja, dua-duanya sangat tampan.”
“Huss! Jangan sembarangan membicarakan anak Bos. Apalagi masih di jam kantor.” Temannya menegurnya membuat dia menunduk malu.
“Maafkan aku...”
Temannya mendekat dan kemudian berbisik, “Jam istirahat nanti baru boleh bergosip.”
Mereka berdua saling pandang sejenak sebelum bersama-sama tertawa kecil.
***
Ansel mengetuk ruangan ayahnya dan setelah mendengar seruan masuk, ia segera masuk. Hendryk hanya sendirian di dalam kantornya. Ia sedang menatap pemandangan di luar dinding kaca.
Ansel duduk di sofa panjang dan Hendryk segera menyusul.
“Ada apa, Yah?”
”Kamu akan segera lulus kurang dari setahun. Ayah hanya ingin bertanya apa kamu sudah menentukan ingin kuliah di mana? Di Indonesia atau di luar negeri?”
“Ansel belum memikirkannya.” Ansel menjawab dengan jujur. Ia memiliki niatan untuk kuliah di luar negeri. Tapi itu hanya pikiran yang terlintas begitu saja.
“Jika kamu masih bingung atau tidak tahu universitas yang cocok, kakakmu sudah menyarankan beberapa kampus yang bagus untukmu.” Hendryk memberikan sebuah map berisikan beberapa sekolah luar negeri dan menunjukkannya kepada Ansel yang kaku tanpa disadari Hendryk.
Rekomendasi dari Al? Apakah si berengsek menyebalkan itu ingin menjauhkannya juga dari tempat kelahirannya?
Ansel pikir dengan meninggalkan rumah, Aldevaro tidak akan mengganggunya. Pria itu malah mencoba berinisiatif untuk membuangnya lebih jauh dari ayah dan ibunya.
Keinginan Ansel tentang kuliah di luar negeri seketika sirna saat itu juga.
Pegangan ringan Ansel di lengan sofa menjadi cengkraman yang erat dan tegang. Wajahnya dengan cepat menjadi dingin hingga tak tersentuh. Karena ia menunduk, Hendryk tidak bisa melihatnya dengan jelas.
“Kamu bisa memikirkan dahulu. Jika masih tidak cocok, Ayah yang akan mencarinya untukmu. Atau jika kamu punya kampus impian, Ayah dan Mama adalah orang dibarisan pertama yang akan mendukung keputusanmu, Ansel.” Mencondongkan tubuhnya menghadap Ansel, Hendryk menatapnya dengan serius. “Ayah sangat membutuhkanmu ‘di sini’.”
Ansel mengulurkan tangannya perlahan mengambil map tersebut. Ia mencengkramnya dengan sedikit gemetar sebelum mengangguk kaku. “Kalau hanya membahas ini, Ansel akan memikirkannya di apartemen. Ansel akan pulang, Yah.”
“Hm. Hati-hati, Nak. Jangan lupa untuk istirahat.”
“Ayah juga.”
Ansel segera berdiri dan memeluk ayahnya ingin pergi dengan cepat. Ia tidak bisa terlalu lama di kantor keluarganya. Jika menetap barang semenit saja, seseorang akan mengunjungi ruangan Hendryk dan menyapanya dengan lagak ramah.
Tapi saat ia membuka pintu, seseorang yang tidak ingin lihat muncul di depannya dengan senyuman sialannya.
“Aku dengar kau berkunjung ke perusahaan, Dik.”
Ansel menatap dingin Al. Ia mengepalkan tangannya dengan erat berharap bisa membuatnya menahan emosinya untuk tidak memukul pria di depannya ini.
“Lho, kau terlihat seperti ingin pergi?” Al menatap Ansel dengan pandangan bertanya-tanya. “Kau baru saja datang. Bukankah terlalu awal untuk pulang? Ini masih sore. Ayo duduk dulu dan berbincang dengan Ayah. Ayah sangat merindukanmu. Begitu juga aku.”
“Aku harus pulang sekarang.” Ansel berkata dengan gigi terkatup.
“Dia sangat lelah setelah pulang sekolah. Biarkan saja dia pulang. Akan ada waktunya kita berkumpul lagi.” Hendryk berucap seraya berjalan mendekati mereka.
“Wah, kebetulan sekali. Ayo kita turun bersama-sama. Aku juga sudah menyelesaikan pekerjaanku.” Al menatap Ayahnya. “Ayah, kami pulang dulu. Ayah jangan lupa pulang lebih awal supaya Mama tidak kesepian.”
Hendryk memukul bahu Al dengan main-main sebelum terkekeh. “Sebentar lagi aku akan pulang. Nah, tunggu apa lagi? Cepat keluar dari ruanganku.”
“Ayo, Dik.” Al tersenyum miring.
Setelah bisa mengunci amarahnya, Ansel berjalan duluan menuju elevator yang disusul Al. Mereka berada di dalam lift bersama.
Karena Ansel memiliki watak yang pendiam dan dingin, alhasil Al yang mengajaknya berbicara duluan.
“Bagaimana?” tanya Al yang Ansel tahu pertanyaan itu tentang apa.
Ansel tidak menanggapinya membuat Al terkekeh.
“Aku yakin kau akan memilih di Amerika.” Al menatapnya penuh pengertian.
Ansel meliriknya tajam membuat Al mengangkat sebelah alisnya.
“Aku sudah memberimu pilihan. Kau bisa pergi ke sana dan hidup bahagia atau di sini hidup dengan bodoh dan sengsara.”
Rasanya Ansel ingin meninjunya.
Pintu lift terbuka. Seorang pria yang tak lain adalah asisten pribadi Al sudah berdiri di sana menunggu Al. Ansel berjalan keluar dengan cepat begitupun Al. Ia menyamai langkah kaki adiknya. Dan asistennya mengikuti tepat di belakang mereka.
Saat di basement Kantor, Ansel mendengar kembali Al berbicara.
“Kita sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama sebagai saudara kandung. Sudah lama juga kita tidak saling bercerita. Ayo pulang bersamaku.”
“Aku mengendari mobilku,” tolak Ansel datar.
“Kalau begitu aku akan menumpang denganmu.” Al bersuara tepat di depan mobil Ansel.
Ansel berhenti kemudian menatap kakaknya. Ia berkata dengan dingin, “Aku tidak ingin mengantarmu.”
“Ouch. Itu menyakiti perasaanku, sungguh.” Al berdesis main-main. “Jika kau tidak mau mengantarku pulang, lalu siapa?”
“Asistenmu menunggumu.”
Ansel membuka pintu mobil dan masuk. Saat sedang memasang seat belt, tiba-tiba saja Al masuk ke sebelah tanpa diundang.
“Keluar,” perintah Ansel mencoba bersabar namun Al terlihat seolah dirinya tuli.
“Wah, interior mobilmu tidak berubah sama sekali ya.”
“Aku bilang keluar.” Ansel memejamkan matanya dan kedua tangannya mengepal dengan sangat erat.
“Oh apa ini?” Al mengambil kotak bekal berwarna pink dari tas makanan lalu menunjukkannya kepada asistennya yang masih berdiri di luar mobil. “Aku baru tahu adikku menyukai warna merah muda. Bagaimana jika aku membelikanmu yang baru, sedangkan ini kita buang? Ini terlihat sudah jelek.”
Sekarang, Ansel benar-benar kehilangan kesabaran.
Dia keluar dari mobil dengan cepat, mengitari mobil, lalu menarik Al keluar dari mobilnya dengan kasar. Melihat tangan Al masih memegang kotak bekal, ia menatap Al dengan sangat dingin, sangat berbahaya.
“Lepaskan.” Ansel berucap dengan sedikit bergetar karena amarah. Kedua tangannya menarik kerah kemeja Al dengan kuat.
“Kau yang harus melepaskanku.” Al tertawa geli mengingat bahwa Ansel yang menarik kerah bajunya. Sedangkan dia tidak memegangi Ansel.
“AKU BILANG LEPASKAN, SIALAN!”
Mendengar teriakan Ansel tepat di depan mukanya membuat Al terdiam. Ini adalah pertama kalinya Ansel meneriakinya hanya karena lelucon yang ia buat. Berbeda dari sebelumnya ketika mereka pertama kali bertengkar. Ansel hanya memberinya punggung dingin dan menganggapnya tidak ada. Tidak seperti saat ini, hanya karena memegang kotak makanan. Bahkan asisten di belakangnya sangat terkejut melihat wajah menyeramkan Ansel.
“Tuan Muda Ansel—”
Al segera memotong ucapan asistennya dengan gerakan tangannya yang menganggur. Tangan satunya lagi yang memegang kotak makanan tersebut segera dilemparkannya ke dalam mobil seraya memberikan senyuman.
“Dengarkan aku. Di masa depan jangan pernah menyentuh barangku lagi.”
Al mengangkat sebelah alisnya menantang. “Kenapa jika aku tidak mengikuti perkataanmu? Apakah aku akan terluka?”
“Jika kau melakukannya, kau tidak akan melihat adikmu lagi.” Ansel melepaskan tangannya dari kemeja Al dengan kasar membuat Al mundur selangkah.
Ansel menutup pintu di belakang Al dengan kasar kemudian menuju kursi pengemudi. Ansel segera masuk ke mobil, tanpa menggunakan seat belt, ia segera mengendarai mobilnya dengan laju.
Al memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan memperhatikan mobil Ansel yang menghilang dari pandangannya. Tatapannya kemudian beralih ke asistennya. Ia melirik asistennya dalam diam. Dan asistennya yang mengetahui makna dari tatapan bosnya segera menunduk dalam.
“Saya akan mencari tahu dan akan menyerahkan infonya malam ini juga.”
***
Di tengah jalan, ponsel Ansel berdering. Ia tidak mengangkatnya dan memfokuskan diri untuk menenangkan emosinya. Dia masih melaju dan menyalip kendaraan apapun yang menghalangi jalannya. Ia sudah mencoba menghirup dan menghembuskan nafas dengan kasar akan tetap hal itu tidak membuatnya menjadi lebih baik.
Deringan ponsel kembali mengisi ketegangan yang ia buat dalam mobil seolah tidak pantang menyerah. Ansel melirik nomor yang tidak dikenal dan segera menutupnya. Tapi, ponselnya kembali berdering dengan nomor yang sama membuatnya kesal setengah mati.
Ia menyampirkan earphone di telinganya dengan dingin dan menjawab dengan kasar, “Apa?!”
Poni terkejut dan menegang. Sepertinya pria itu sedang kesal. “.... Halo, Kak Ansel? Ini Poni. Kak Ansel di mana? Poni sebentar lagi selesai kerja kelompok.”
Tanpa Ansel sadari, tangannya yang mencengkram setir kemudi perlahan mengendur. Wajahnya juga tidak lagi memiliki jejak bahaya dan menyeramkan. Ia mulai kembali tenang dengan perlahan.
“Aku sedang di jalan.”
Walaupun nada suara Ansel dingin seperti biasa, Poni tetap mempertahankan nada cerianya. “Oh oke. Hati-hati ya, Kak.”
“Hm.” Ansel bergumam pelan sebelum melepaskan earphone.