Pada saat itu bel sekolah berbunyi menandakan istirahat telah usai. Poni berbalik membawa botol miliknya menuju ke kelas bersama Bella yang sudah menunggunya di luar lapangan.
Bella melihat semuanya dengan jelas. Dia merangkul bahu Poni dan memberinya semangat.
“Ini baru di awal, kau sudah ingin menyerah?”
Dengan seringai indah, Poni menggeleng. “Enak saja!”
Mereka berdua tertawa bersama saat masuk ke kelas.
Semenjak hari itu, semua orang tahu bahwa Mikhayla Symphony mengejar Ansel Julian.
***
“Anak kelas 10?” tanya Edward, teman Ansel.
Ansel melirik ke mana tatapan Edward berada lalu bergumam pendek. “Hm.”
“Cantik juga.” Edward menyeringai bodoh.
Ansel kembali melirik Poni yang sudah pergi dengan temannya.
“Siapa namanya?” tanya Edward lagi membuat Ansel menatapnya datar.
“Sepertinya kau menyukainya.”
“Mungkin.” Edward tertawa. “Toh kau tidak menginginkannya, iya kan?”
Ansel tidak menjawab, dia hanya pergi ke kelasnya.
“Hei, kau! Tunggu! Ah, dasar!” Edward mengejarnya.
***
“Mik, ini catatanmu aku kembalikan. Thanks.” Alex menyerahkan buku tulis kepada Poni yang sudah duduk di kursinya.
“Kau sudah selesai mencatatnya?” tanya Poni ramah.
“Hm.” Alex mengangguk. “Lain kali aku akan meminjam catatan pelajaran yang lain. Tidak masalah, bukan?”
“Silahkan.” Poni menjawab dengan senyum indahnya.
“Sekali lagi, terima kasih, ya!”
Poni mengangguk sebagai jawaban.
“Oh iya, Sabtu depan akan ada pertandingan basket antar kelas. Kau bisa datang untuk menonton kelas kita?”
“Benarkah? Kelas kita akan melawan kelas yang mana?”
“Kelas sebelah.”
“Kalau ada kak Ansel, Poni pasti pergi.” Bella mencibir sedikit menggoda Poni di sebelahnya membuat Poni bersemu merah.
Dia memberikan tatapan tajam untuk Bella sebelum mendongak menatap Alex. “Aku akan pergi.”
Jawaban dari Poni yang Alex tunggu membuat anak laki-laki itu merasa lega. Dengan senyum lebar ia berkata, “Bagaimana jika aku menjemputmu?”
“Um...” Poni melirik Bella. “Aku pergi bersama—”
“Poni tidak sabar untuk menunggu Sabtu depan, Alex!” potong Bella membuat Poni kembali menatapnya.
Alex tersenyum semakin lebar yang membuat wajahnya semakin tampan. “Kalau begitu, sampai jumpa Sabtu depan, Mik.”
“Kenapa kau berkata seperti itu?!” bisik Poni setelah Alex pergi ke bangkunya.
Bella membalas tatapan Poni. “Sudahlah... Biarkan saja dia menjemputmu.”
“Bagaimana denganmu?”
“Aku tidak bisa pergi karena aku memiliki acara keluarga di hari itu.”
“Aku pikir kau akan pergi. Jika seperti itu, aku tidak akan berjanji!”
Bella menepuk tangan Poni dengan lembut. “Jika acara keluargaku selesai. Aku akan menyusulmu. Oke?”
Poni mengangguk. “Kau harus berjanji.”
Bella memutar matanya. “Aku berjanji, Mikhayla Symphony.”
Mendengar itu membuat Poni terkikik pelan.
***
“Baiklah, hari ini kita sampai di sini dulu. Minggu depan kita bisa lanjut lagi dengan resep dan teknik yang lain. Sampai jumpa.” Sophia, wanita paruh baya itu tersenyum ramah ketika belasan ibu-ibu pulang satu per satu.
Setelah sendirian di studio masaknya, ia membersihkan ruangan tersebut dan merapikan kembali letak meja dan kursi. Selesai, Sophia kembali ke mejanya di depan dan mulai mengeluarkan beberapa bahan untuk membuat kue. Saat mengaduk, seorang gadis muncul dari balik pintu.
“Mama!”
Sophia mendongak dan tersenyum lebar melihat Poni. “Bagaimana sekolahnya, Sayang?”
“Seperti biasa, banyak tugas rumah, Ma.” Poni meletakkan tasnya di sudut ruangan lalu menuci tangannya. “Poni bantu, Ma.”
“Lepaskan dulu seragam sekolahnya, Poni.” Sophia memarahinya, namun tetap saja ia tersenyum saat menyerahkan adonan kuenya kepada Poni yang sudah menghampirinya. Dia berbalik dan mengambil peralatan yang di butuhkan untuk mencetak kue nanti.
Mikhayla Symphony hanya membalas ibunya dengan cengiran khasnya.
Keluarga Poni bisa dikatakan keluarga yang berada tapi bukan berarti dia anak konglomerat. Ayahnya, Bayu seorang tentara berpangkat Jenderal. Ibunya, Sophia membuka kelas memasak dan memiliki studio memasak sendiri. Setiap pulang sekolah, Poni selalu kemari untuk membantu ibunya memasak. Maka dari itu ia pandai memasak dari kecil. Ia memiliki satu adik laki-laki yang saat ini masih duduk dibangku SMP, Nathaniel. Sedangkan Poni sendiri baru menginjak SMA kurang lebih dua bulan yang lalu. Dia dan adiknya terpaut usia hanya 3 tahun. Walaupun begitu, ia sangat bahagia dengan keadaan keluarganya. Mereka saling melengkapi dan harmonis.
Dan juga, Poni sudah bersahabat dengan Isabella sejak kecil karena kedua ayah mereka sama-sama seorang tentara.
“Oh iya, cokelat kemarin kamu beri kepada siapa, Poni?”
Gerakan tangan Poni melambat seketika. Ia menggigit bibir bawahnya saat menjawab ibunya. “Poni memakannya bersama Bella.”
Kebenarannya adalah cokelat-cokelat itu masih terbungkus dalam kotak di kamarnya. Poni berniat akan memberikannya lagi kepada Ansel besok. Tapi tunggu, apakah baik-baik saja memberikan cokelat kemarin? Apakah perlu ia membuat cokelat lagi?
“Um, Ma... Poni mau buat cokelat lagi. Bella ingin cokelat buatan Poni lagi. Dia bilang rasanya enak.”
“Kamu tahu di mana bahan-bahannya.” Sophia berseru membuat Poni dengan semangat menuju rak-rak bahan kue.
***
“Kak Ansel! Kak Ansel... Tunggu, Kak!” Poni berlari ke arah Ansel sambil membawa sekotak cokelat dua kali lebih besar dari kemarin.
Ansel tidak menanggapi Poni, ia terus berjalan.
Sambil berjalan sejajar dengan Ansel, Poni memberikan kotak cokelat yang ia bawa kepada Ansel dengan paksa. “Kemarin Poni lupa memberikannya kepada kakak. Ini Poni membuatnya lagi yang baru. Ingat untuk menghabiskannya, oke!”
Poni memberikan senyuman yang indah, melambaikan tangannya pada Ansel yang terdiam lalu berlari menuju kelasnya.
Ansel hanya bisa menatap kepergian Poni. Ia menunduk untuk melihat kotak berwarna merah muda di tangannya kemudian pergi ke kelasnya seolah tidak ada yang terjadi barusan. Ketika tiba di kelas dan duduk di sebelah Edward, Edward memanggilnya.
“Siapa yang memberimu hadiah sepagi ini?” Seru Edward yang memperhatikan kotak yang dibawa Ansel. Ia membuka tanpa meminta izin terlebih dahulu dan matanya berbinar bahagia. Karena dia merupakan penyuka makanan manis, Edward hampir saja meneteskan air liurnya. “Taruhan, kau tidak menyukai ini. Artinya aku yang akan mengambil semuanya.”
Edward memakan salah satunya lalu mengerang berlebihan. “Ini sungguh enak. Siapa yang memberimu cokelat ini? Aku perlu berterima kasih kepadanya.”
Ansel tidak menjawab. Ia sedikit mengerutkan dahinya saat Edward sudah memakannya setengah kotak dalam waktu 5 menit.
“Hei, namanya?” Edward mengulangi pertanyaannya.
“... Poni.”
Edward mengerutkan dahinya. “Aku tidak pernah mendengar namanya...”
“Wanita kemarin yang membawa botol minumannya.” Ansel berkata tanpa ekspresi.
“Ahh... Mikhayla...”
“Mikhayla?” Ansel bingung, bukankah wanita itu memperkenalkan dirinya dengan nama Poni.
“Iya, namanya Mikhayla.”
“Sepertinya kau benar-benar ingin mendekatinya.” Ansel berkata dengan dingin. Baru saja kemarin Edward melihat Poni, dan sekarang ia sudah mengetahui nama aslinya.
“Kau tidak tahu? Seluruh sekolah sedang membicarakannya karena dia secara terang-terangan ingin mendekatimu.”
“... Begitu kah?”
Edward mengangguk. “Ya.”
“Siapa namanya?”
“Mikhayla. Mikhayla Symphony. Namanya cantik, bukan? Secantik orangnya. Kemungkinan Poni itu ia ambil dari belakang namanya. Atau bisa juga karena ia menggunakan poni, makanya ia diberi julukan Poni.” Edward tiba-tiba saja berhenti bicara. “Apakah aku terlalu banyak membicarakan Mikhayla? Sepertinya aku memang menyukainya.”
Dengan datar Ansel merampas kotak cokelat dari tangan Edward lalu memberikannya kepada temannya di meja belakangnya.
“Harus berbagi,” ujar Ansel pendek lalu mengeluarkan buku pelajarannya.
Dan Edward hanya bisa terdiam saat cokelat ‘miliknya’ telah dimakan habis oleh Gio dan Daniel.