“Aku menyukai Kakak!”
Lapangan tampak sepi saat sore itu. Semua anak-anak sekolah sudah pulang. Dan sangat nyaman untuknya meneriakkan tiga kata itu dengan bebas.
Mikhayla Symphony, Wanita berponi dengan rambut coklat lurus sedada memegang sekotak cokelat di tangannya. Tanpa kenal lelah ia menjulurkan tangannya ke depan berharap orang di depannya akan mengambil cokelat miliknya.
Hampir sebulan ia melafalkan tiga kata itu supaya bisa mengatakannya dengan lantang kepada orang yang ia sukai. Dan orang yang ia sukai saat ini berdiri di depannya. Dia memiliki mata biru gelap terindah yang pernah Poni lihat. Jika orang lain tidak memperhatikannya, mungkin mereka akan berpikir hanya mata gelap biasa.
Pria itu menatapnya dengan tatapan yang tidak dapat dibaca. Entah dia senang atau marah, Poni tidak bisa memprediksinya.
Poni menggigit bibirnya. Ia mulai merasa gugup dikala kakak kelasnya tidak mengucapkan sepatah katapun. “Um, Kak Ansel...” Poni terdiam sebentar lalu merasakan kebodohannya datang, ia membesarkan kedua matanya. Tanpa memperkenalkan dirinya, ia langsung menyatakan perasannya kepada Ansel. Dia memang benar-benar bodoh. “Ah, Poni lupa. Perkenalkan Kak, aku Poni. Kelas 10. Semenjak masuk ke sekolah ini, Poni mulai menyukai kakak. Semakin hari perasaan Poni semakin tumbuh besar. Dan Poni—”
“Ini tidak lagi sore. Pulanglah.” Ansel berkata kemudian meninggalkan Poni sendirian di tengah-tengah lapangan sekolah yang sepi.
Poni terdiam sejenak sebelum berbalik menatap kepergian Ansel. Ia menunduk, melirik kotak cokelat buatan tangannya sendiri dalam diam. Dia mendesah memikirkan kerja kerasnya kali ini tidak membuahkan hasil. Tapi, bukankah kak Ansel tidak menolak? Bukankah artinya dia masih bisa memiliki kesempatan?
Dengan memikirkan itu saja cukup membuat Poni kembali ke rumahnya dengan semangat. Masih ada waktu... Ya, masih ada waktu untuk membuat Ansel membalas cintanya.
***
Di pagi hari yang cerah, gadis mungil dengan rambut lurus coklatnya sedada sudah siap dengan seragam sekolah. Mikhayla Symphony, gadis yang sering disapa Poni ini bertubuh mungil 156 cm dengan poni tipis di dahinya itu tersenyum manis di depan cermin. Setelah memoles bibirnya dengan lipgloss berwarna merah muda alami, ia segera menuruni tangga.
“Perhatikan langkahmu, Nak.” Bayu, ayah Poni memperingatinya dengan suara baritonnya.
Poni melihat ayah dan ibunya sudah di meja makan, ia segera menghampiri mereka.
“Pa, Ma.” Poni mencium pipi kedua orang tuanya bergantian sebelum duduk di kursinya.
“Di mana adikmu?” tanya Sophia, ibunya.
Poni mengedikkan bahunya ketika menggigit bacon membuat Sophia berteriak memanggil anak bungsunya.
“Nathaniel...?!”
“Iya, Ma. Ini Nath turun.” Nathaniel turun dengan santai seraya memainkan ponselnya.
“Berhenti dulu bermain ponselnya, Sayang. Ayo sarapan sini.”
“Sesekali Mama harus menyita ponsel Nath.”
Nath langsung menatap Poni dengan bengis setelah duduk di sebelah kakaknya. Ia menendang kaki kakaknya di bawah meja membuat Poni mengaduh kesakitan.
“Auw!” Poni menatap adiknya tajam. “Kau berani?”
Poni mengembalikan tendangan adik tercintanya. Kini giliran Nath yang mengadu kesakitan.
“Sudah, sudah. Kalian bukan anak kecil. Kenapa masih saja bertengkar.”
“Nath yang duluan menendang kaki Poni!”
“Mulutmu duluan!”
“Berhenti.” Satu suara dari Bayu membuat mereka berdua berhenti. “Lanjutkan makan kalian, sopir sudah menunggu kalian di bawah.”
“Baik, Pa.” Kompak mereka menjawab dan makan dalam diam walau saling mengirim tatapan maut satu sama lain.
***
Awal mula Poni menyukai Ansel yaitu saat awal-awal ia menjadi murid SMA satu bulan lebih yang lalu. Setiap jam istirahat, Ansel selalu bermain basket bersama teman-temannya di lapangan basket dengan iringan jeritan kaum hawa.
Dari mencuri pendengaran sana sini, rupanya namanya adalah Ansel Julian, sekarang sudah menjadi senior alias kelas 12. Ia merupakan anak pengusaha kaya raya di Indonesia, Völker Group. Kurang dari setahun Ansel akan meninggalkan sekolah kebanggaan mereka.
Semenjak hari itu, setiap jam istirahat Poni dan temannya, Bella akan melihat Ansel bermain basket di lapangan.
Sebulan kemudian, Poni dengan persiapan matangnya menyatakan perasaanya setelah Ansel bermain basket pulang sekolah.
Ia kira Ansel akan membalas perasaannya atau jika tidak, cukup untuk menolaknya dengan halus. Namun yang terjadi...
Hah... Poni menghembuskan nafas.
“Sampai kapan kita hanya bisa melihat kak Ansel dari jauh?” Bella bergumam di sebelah Poni.
Isabella adalah sahabat Poni. Gadis cantik dengan rambut hitam panjang bergelombang yang memikat. Dia lebih tinggi 6 senti dari Poni. Memiliki mata yang besar membuatnya terlihat seperti boneka. Karena kecantikannya, Bella menjadi populer di kalangan kakak kelas. Dia memiliki banyak mantan dan sekarang sedang dekat dengan salah satu kakak kelas bernama Rey.
Poni menggeleng seraya meminum yogurt favoritnya. Poni mendesah saat berkata, “Aku menyatakan perasaanku kepada kak Ansel kemarin.”
“Pasti ditolak.” Bella berkata santai membuat Poni menggeleng pelan.
“Dia tidak menanggapinya.”
Bella terdiam sebentar sebelum melirik Poni dengan shock. “Kau serius?!”
Poni menoleh lalu mengangguk pelan. “Aku tidak tahu apakah dia menerimaku atau menolakku.”
Bella menggelengkan kepalanya kencang. “Bukan, bukan itu pertanyaanku... Seriusan kau benar-benar menyatakan perasaanmu kepada kak Ansel?!”
Tanpa memperdulikan teriakan nyaring Bella, Poni mengangguk polos.
“Oh my God...Terus, bagaimana hasilnya?”
“Bukankah sudah kubilang, kak Ansel tidak menanggapiku. Dia hanya memberikan senyum menawannya lalu menyuruhku pulang.”
Bella hanya bisa terdiam dengan mulut terbuka.
Apa yang Bella teriakan tadi juga didengar oleh Alex, teman sekelas mereka.
“Mik, kamu suka sama Ansel?” tanya Alex yang merupakan salah satu pria tampan di sekolahnya. Dia juga populer.
Di sekolah, Poni dikenal dengan nama Mikhayla. Hanya Bella yang memanggilnya Poni karena itu merupakan nama kecilnya.
Wajah Poni memerah karena malu. Ia mencubit Bella pelan karena ia baru sadar jika teriakan Bella bisa di dengar orang-orang di sekitar mereka..
“Poni sudah menyukai kak Ansel dari awal kita masuk ke sekolah.” Bella menjelaskan sedangkan Poni wajahnya semakin bersemu merah.
Alex memperhatikannya dalam diam. Ia menatap Poni dengan tatapan rumit..
“Jadi, bagaimana ke depannya?” tanya Bella, mendesaknya.
“Selesai kak Ansel main, aku mau memberikan minumanku kepadanya.” Poni menunjuk botol mineral miliknya yang sudah dia habisi setengah.
“Wow. Bukankah itu ciuman tidak langsung?” Bella mencolek pinggang Poni, seolah menggodanya.
Poni mengangguk dengan polos lalu mereka tertawa bersama.
Bella memperhatikan jika Ansel dan teman-temannya sudah selesai bermain. Dengan buru-buru dia berseru kepada Poni. “Eh, kak Ansel sudah selesai main. Cepat ke sana berikan botol cinta bekas milikmu ini!”
Dengan polos, Poni berdiri dan mengangguk. “Okay. Wish me luck.”
Poni berlari kecil menuju lapangan basket bersamaan dengan wanita lain yang juga berniat mendekati Ansel.
Setelah sampai di depan Ansel Poni mengulurkan botol mineral miliknya yang sudah sisa setengah. “Kak Ansel pasti haus. Ini minumannya.”
“Ansel!” panggil seseorang di belakang Poni dengan suara lembut.
Poni menoleh ke belakang mendapati seniornya, Violet berjalan kemari. Violet termasuk gadis cantik di sekolahnya. Dia memiliki tubuh proporsional dengan buah dadanya dan bokongnya yang besar. Berbanding terbalik dengan Poni yang payudaranya masih.... ‘Oke, jangan di bahas’ Poni membatin kesal.
Violet juga membawa botol mineral namun yang masih tersegel. “Ini buat kamu!”
Ansel melirik sebentar minuman milik Poni sebelum mengambil milik Violet.
“Thanks,” gumam Ansel sebelum membuka tutup botol dan meminumnya.
Poni memperhatikan Ansel meminum minuman dari Violet kemudian menunduk menatap botol di tangannya dengan bingung. Kenapa Ansel tidak mengambil minumannya? Padahal minuman miliknya sudah ia isi dengan doa penuh cinta.
Violet dan teman-temannya, Tiara dan Putri tertawa pelan, menertawakan kesedihan Poni.
“Sepertinya kamu lebih butuh minum. Simpan saja untuk kamu.” Ansel berkata kepada Poni dengan sopan. Kemudian meninggalkan lingkaran kecil para wanita untuk bergabung dengan teman-teman basketnya.
“Dia mau memberikan botol minuman bekas mulutnya ke Ansel. Apakah dia bodoh?” Violet mencemooh Poni membuat kedua temannya tertawa.
“Dia terlalu agresif, bukan?” ujar salah satu temannya.
Mereka berkata di depan Poni dengan lantang. Namun Poni tidak mengindahkan perkataan mereka. Ia hanya menatap punggung Ansel yang mulai menjauh.