Pintu elevator bergeser terbuka dan mereka berdua keluar menuju pintu unit apartemen orang tua mereka.
“For your information, aku memiliki tempat tinggal sendiri.”
Poni menatap adiknya terkejut ketika ia berhenti berjalan. “Benarkah? Wow... Di mana?”
Nathaniel mengangguk dan membawa Poni kembali berjalan beberapa langkah lagi dan berhenti tepat di depan pintu unit orang tua mereka, tempat di mana Poni dan Nathaniel menghabiskan masa kecil hingga remaja mereka. Dan Nathaniel mengetik pesan singkat pada ibunya. “Tidak jauh dari sini. Jika kau melihatnya dari dalam apartemen Papa, kau akan melihat unit apartemenku.”
Pintu apartemen terbuka dan terlihat wajah sumringah Sophia, ibu Poni dan Nath.
“Akhirnya kamu sampai juga.” Sophia membawa Poni ke dalam pelukannya. Dan Poni membalas pelukan hangat Ibunya. “Ayo masuk, Papa kalian mengambil cuti hari ini supaya bisa melihat anak gadis satu-satunya.”
Setelah Poni masuk, barulah Nathaniel masuk ke dalam seraya membawa koper milik Poni dan menutup pintu apartemen mereka.
Poni memberikan oleh-oleh yang ia kemas di dalam kopernya kepada Bayu, Sophia, dan Nathaniel. Ia kemudian menghabiskan waktunya di sana hingga hari mulai gelap. Bayu dan Sophia, kedua orang tua Poni menyuruhnya untuk menginap di sana namun Poni menolak dan beralasan bahwa dia harus membersihkan flat sederhana tempat yang nanti akan ia tinggali, flat lama Bella.
Menempuh 40 menit perjalanan, akhirnya mereka tiba di sebuah kawasan yang sederhana. Keluar dari mobil, Nathaniel mengerutkan dahinya ketika melihat sekeliling area tersebut.
“Kita tidak salah alamat, bukan?”
Poni tertawa pelan sebelum menggeleng.
“Ini bukan sebuah penjara kan?”
“Oh kalau begitu itu mobil pejabat, begitu?” Poni menunjuk Porsche mewah yang terparkir tidak jauh dari mobil Nathaniel.
Nathaniel baru menyadari ada mobil mewah di parkiran sana. Ia mengernyit. “Mungkin saja gedung apartemen lain tidak memiliki lahan parkir lagi makanya dia memarkirkan mobilnya di sini.”
Poni hanya bisa menggelengkan kepalanya dan menghela nafas. Ia berjalan terlebih dahulu meninggalkan Nathaniel yang masih terdiam. “Cepat, Nath! Aku sudah lelah.”
Menghembuskan nafas kasar, Nathaniel menyusul Poni yang sedang menunggu elevator turun.
“Bagaimana jika kau menginap di unit-ku dulu untuk beberapa hari?” saran Nathaniel.
“Kenapa?”
“Kita akan mencarikan tempat tinggal yang lebih baik dari ini.”
Pintu elevator bergeser terbuka. Poni dan Nathaniel masuk. Ketika Poni ingin menekan tombol lift, Nathaniel menghentikannya.
“Di sini sangat kotor. Biarkan aku menekannya, lantai berapa?“
Dengan tatapan aneh yang Poni lontarkan kepada Nathaniel, ia berkata, “3.”
Setelah menekan tombol tersebut, Nathaniel kembali mencoba mengajak Poni keluar dari sana. “Aku rasa kau harus tinggal di apartemenku.”
Poni menatapnya kesal. “Apa yang salah dengan apartemen ini? Lingkungannya sangat nyaman, sederhana, termasuk murah dan tidak terlalu ramai. Aku tidak perlu menghamburkan uang hanya untuk tinggal di tempat yang mewah.”
“Kau berkata seolah aku dan Papa adalah seorang pengangguran.” Nathaniel menatap Poni dengan datar.
Pintu lift terbuka, dan mereka keluar. Poni melirik tiap pintu untuk mencari nomor pintu unitnya.
“Apartemen di sini sangat kecil. Aku bertaruh tiap unitnya hanya memiliki satu kamar tidur, satu kamar mandi yang langsung digabungkan dengan kamar kecil, dan satu ruang tamu yang digabungkan dengan ruang makan dan dapur.”
“Satu kamar tidur, satu kamar mandi yang langsung digabungkan dengan kamar kecil, dan satu ruang tamu yang digabungkan dengan ruang makan dan dapur sudah cukup untuk ditinggali oleh satu orang wanita sepertiku.” Poni memutar kedua bola matanya dengan jengah. Setelah mendapatkan pintu ruangannya, Nathaniel segera mengeluarkan kunci dari sakunya.
“Jika aku tahu Bella memberikan kunci apartemen kumuh seperti ini, aku akan membuangnya ketika menjemputmu di bandara.” Nathaniel terus mengomel ketika ia membuka pintu.
“Astaga, Nathaniel.... Berhentilah mengeluh seperti itu!” Poni masuk dan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru unitnya. “Lihat? Tempat ini baik-baik saja untukku. Bersih dan—”
“Terlalu kecil.” potong Nathaniel yang bersandar di daun pintu seraya mengambil gambar keadaan dalam unit apartemen sederhana Poni dengan ponselnya.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Poni.
“Aku akan mengirimkannya kepada Papa. Papa akan mendukungku membawamu pergi dari sini.”
“Jangan macam-macam, Nathaniel. Aku akan menatahkan kakimu jika kau berani menyuruh Papa memindahkanku dari sini.”
Nathaniel tidak membalas. Ia hanya meletakkan kembali ponselnya dalam saku celananya. “Aku bisa mencarikanmu apartemen yang lebih baik dari ini. Aku saja tidak yakin keamanan di sini apakah bagus atau tidak.”
Berkacak pinggang, Poni menatap adiknya dengan kesal. “Jika aku pindah ke apartemen yang lebih mahal—”
“Aku mengatakan ‘lebih baik’.” Nathaniel menyela Poni membuat wanita itu marah.
“Oh jadi kau ingin membiayai kehidupanku hingga aku mendapatkan gaji pertamaku di sini?”
“Aku bisa melakukannya.” Nathaniel menjawab dengan ringan. “Membiayaimu seumur hidup juga aku mampu.”
Poni mendengus. “Hidupi saja pacarmu sana!”
“Aku tidak akan membiarkan pacarku tinggal di tempat menyedihkan seperti ini.”
“Pacarmu akan baik-baik saja tinggal di tempat menyenangkan seperti ini,” balas Poni sarkastik dan merampas koper miliknya yang masih di pegang Nathaniel. “Kau bisa pergi sekarang jika tidak ingin menjadi tamu pertamaku.”
Sudah dapat dipastikan hasilnya akan sia-sia baginya, Nathaniel menghembuskan nafas berat. “Baiklah. Terserah kau saja.”
Setelah itu ia masuk dan menutup pintu.
***
Seorang pria baru saja keluar dari unitnya ketika mendengar keributan tetangganya. Sekilas, ia melihat postur tubuh bagian belakang seorang pria yang mengenakan seragam tentara dengan sebuah koper berwarna baby pink di tangannya. Setelah itu ia tidak mempedulikannya lagi.
“.... aku tidak akan membiarkan pacarku tinggal di tempat menyedihkan seperti ini.”
“Pacarmu akan baik-baik saja tinggal di tempat menyenangkan seperti ini,”
Dia menghela nafas. Obrolan mereka bisa ia dengar. Mengunci pintunya, dia tidak sengaja melirik sebuah tangan yang mengenakan jam tangan mahal mengambil koper dari tangan kekasihnya.
Selesai mengunci pintu kamar apartemennya, ia segera melewati pintu tetangganya tepat saat pria berseragam itu menutup pintu tanpa menoleh keluar. Tapi ketika ekor matanya menangkap seseorang yang ada di dalam selain pria berseragam tadi, dia tiba-tiba berhenti di tempatnya berdiri. Dia melirik ke pintu yang tertutup dan termenung. Apakah dia salah lihat? Ia berdiri cukup lama di sana sebelum kembali berjalan menuju lift.
Ketika pintu lift terbuka, beberapa orang dari perusahaan pengiriman barang keluar dengan membawa banyak kotak yang bisa ia pastikan punya tetangga barunya. Setelah lift sudah kosong, barulah ia masuk.
***
Ketika Poni sedang mengeluarkan isi kopernya yang sudah tidak penuh seperti sebelumnya di apartemen orang tuanya, pintunya diketuk.
Ia mendongak dan melihat Nathaniel berdiri untuk pergi ke ruang tamu dan membuka pintunya. Beberapa orang masuk dan meletakkan apa yang mereka bawa di tepi dinding. Setelah selesai, Nathaniel kembali menutup pintunya. Ketika ia berbalik, ia melihat Poni sudah keluar dari kamarnya.
“Apa ini semua... Loh, bukankah ini kotak-kotak yang aku rapikan sebelum aku ke New York?”
“Aku pikir kau akan membutuhkannya di sini. Jadi aku memesan jasa pengiriman barang untuk membawa ini semua.”
Poni berdecak ketika dia berjongkok dan melihat satu persatu kotak yang masih terlihat bagus. “Bukankah aku sudah bilang untuk tidak perlu merepotkanmu? Aku bisa mengambilnya sendiri besok pagi.”
“Bisakah cukup mengucapkan terima kasih saja atas apa yang aku lakukan untukmu, Kak?” Melihat Poni terdiam, Nathaniel menambahkan, “Aku tidak sama sekali repot dengan apa yang aku lakukan untukmu.”
Poni menunduk dan bergumam pelan. “Thanks.”
Nathaniel menggeleng. “Tidak. Ayo, katakan lebih baik dari itu.”
Poni berdiri kemudian memeluk adiknya dengan gemas. “Terima kasih banyak untuk adikku yang baik hati. Menunduklah agar aku bisa mencium kepala botakmu.”
Nathaniel segera melepaskan pelukan kakaknya yang menyebalkan. “Aku masih memiliki rambut, lihat?!”
Poni tertawa terbahak-bahak.
Mengambil kunci mobilnya, Nathaniel membuka pintu. “Aku juga sudah memesan beberapa kurir untuk mengirimkan pakaian baru untukmu. Kau harus membayar tagihanku, Kak!”
Belum sempat Poni memproses perkataan adiknya, Nathaniel sudah lebih dulu keluar dan menutup pintu.
Pakaian? Tunggu dulu, berapa banyak pakaian yang pria itu beli untuk Poni. Belum lagi, apakah Poni akan menyukai semua pakaian yang dibelikan Nathaniel. kemudian, tagihan katanya? Artinya pria nakal tadi bukan membelikannya melainkan membiarkan Maya berhutang padanya?!
Tersadar, Poni segera menjeritkan nama Nathaniel. “NATHANIEL!!!”
“Aku bersumpah akan memukulnya jika bertemu lagi.” Poni mengomel terus-menerus ketika dia membawa beberapa kotak ke dalam kamarnya. Ia membuka salah satunya dan isinya adalah buku tahunan masa sekolah menengah akhir.
Poni terdiam menatap benda itu. Ia mulai mengambilnya dan melihat foto-foto teman-teman seangkatannya. Wajahnya tersenyum manis dan tangannya tidak berhenti membuka lembar demi lembar halaman. Ketika di halaman terakhir, ia melihat foto seluruh teman kelasnya bersama dia mengenakan gaun dan jas di prom night. Poni berada di tengah-tengah para temannya dengan mahkota dan selempang hitam bertuliskan Prom Queen. Dan ada pria tampan yang menyandang gelar Prom King terlihat bahagia berdiri di sebelahnya.
Poni tersenyum. Kemudian menyimpan kembali buku kelulusan tersebut dan tatapannya terpaku pada buku berwarna merah muda, sejenis buku diary. Setelah beberapa saat terdiam, Poni mengulurkan tangannya untuk mengambil buku tersebut yang memiliki bolpoin berwarna senada di pinggirnya. Poni mengambil bolpoin tersebut dan mencoret sedikit di dalam buku itu. Secara mengejutkan bolpoinnya masih berfungsi.
Membawa buku tersebut, Poni berjalan menuju jendela di kamarnya. Ia duduk di tepi jendela dan membaca catatan yang ia tinggalkan selama masa SMA-nya.