Seorang wanita berambut cokelat panjang baru saja tiba di salah satu airport di Jakarta, Indonesia. Dia mengenakan dress berkerah berwarna putih polos selutut yang elegan dengan lengan gaun sepanjang siku. Dress tersebut memiliki beberapa kancing di bagian atasnya dan memiliki tali panjang yang dijadikan pita di pinggangnya yang ramping. Untuk melengkapi penampilannya, ia menyampirkan micro bag berwarna cream di bahu kirinya, sepasang pump shoes berwarna cream dan kacamata hitam.
Salah satu tangannya yang memakai jam tangan kulit berwarna coklat dari cartier membawa satu buah koper berwarna baby pink. Sedangkan tangan yang lainya meletakkan ponselnya di dekat telinga.
“I'm so sorry, Darlin’. Ini masih di jam kerja dan jika aku keluar sekarang, kau tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, benar?” suara wanita dari seberang telepon terdengar sangat menyesal.
Tersenyum, dia menjawab, “Aku akan menafkahimu hingga kau mendapatkan pekerjaan baru.”
“Kau semakin cepat belajar.” Wanita di seberang telepon bergumam pelan.
“It's okay, Bella. Jangan mengkhawatirkan aku. Aku bisa mendapatkan taksi.”
“No! Aku tidak mengizinkanmu menggunakan taksi ketika membawa banyak barang, Poni!”
Wanita cantik yang bernama Poni itu melirik satu buah koper yang ia bawa. Tidak ada yang lain. Ia bahkan tidak repot-repot membawa pakaiannya yang masih tertinggal di New York. “Well, aku tidak membawa banyak—”
“Aku sudah menyiapkan sopir pribadi untukmu. Tunggu saja di sana dan orang itu akan datang.”
Poni mengernyit halus ketika matanya yang mengenakan kacamata gelap tengah mengedarkan pandangannya ke penjuru arah di terminal airport. Di sana banyak orang lalu lalang sibuk dengan urusan mereka sendiri. Oke, baiklah. Seperti apa sopir pribadi yang Isabella katakan tadi?
Dengan tidak yakin Poni bergumam, “Dia mengenaliku? Apakah aku perlu menulis namaku di sebuah kertas?”
Belum sempat Bella menjawab, sebuah suara yang sangat familiar menyapanya dari belakang.
“Dengan Ms. Mikhayla Shymphony?”
Poni berbalik dan melihat seorang pria tampan dengan tubuh tinggi dan tegap memakai seragam tentara. Dengan efek slow motion, Poni menyingkirkan ponsel di telinganya kemudian melepaskan kacamata hitamnya dengan tangan yang tadinya memegang koper kemudian menatap pria di depannya dengan penuh segala macam emosi.
Pria itu membuka kedua tangannya lebar dengan gaya keren. “Kau tidak merindukanku?”
Tersenyum, meninggalkan kopernya, Poni segera berlari kecil menuju pria itu. Ia melompat dan memeluk leher pria yang lebih tinggi darinya. Pria itu membalas pelukan Poni seraya memejamkan matanya dengan erat.
“I miss you so bad, Poni.”
“Oh I miss you too, Nath.” Poni membalas dengan bahagia.
“Sudah berapa tahun lamanya?” tanya pria yang bernama Nath bergumam. “4 tahun lebih, kan?”
Mata Poni segera kebas. Rupanya sudah lebih dari 4 tahun ia meninggalkan banyak kenangan di Indonesia termasuk orang-orang yang ia sayangi. Mengangguk, satu bulir air mata berhasil lolos. “Benar, sudah lebih dari 4 tahun.”
Nath menghembuskan napas panjang. “Kau pasti merindukan kami.”
Jangan ditanya lagi serindu apa Poni saat ini. Poni tidak menjawab, ia hanya semakin mengencangkan pelukannya di leher Nath dan memejamkan matanya hingga air matanya jatuh di pipinya. Mereka berpelukan cukup lama tidak peduli jika orang lain sedang menatap mereka.
Setelah momen yang mengharukan tadi selesai, Poni menghapus sisa air matanya di pipinya kemudian memberi jarak di antara mereka dan menatap Nath dengan bangga.
“Wow, look at you.... Kau semakin tinggi, Nath.” Poni bersiul membuat Nath segera membusungkan dadanya dengan bangga.
“Aku lebih tinggi darimu, Poni.”
Poni mendengus lalu tertawa pelan. Ia menyentuh seragam Nath. “Aku tidak tahu jika adikku Nathaniel yang nakal kini sudah berubah.”
Ya, benar. Nathaniel yang akrab dipanggil Nath adalah adik laki-laki Mikhayla Shymphony.
Nathaniel memeluk bahu kakaknya dengan satu tangan lalu tertawa. “Papa dan Mama sangat bangga padaku, kau tahu?”
Poni memutar kedua bola matanya sebelum tersenyum kembali.
“Bagaimana, kau bangga juga padaku, benar?”
“Terserah kau saja.” Poni bergumam setengah hati namun Nathaniel dapat menangkap kehangatan dalam nada bicara Poni.
“Aku tahu kau pasti bangga padaku.” Nathaniel tertawa.
“Well, aku sedikit bangga padamu, Nath.” Poni membuat gerakan kecil dengan ujung ibu jari dan jari telunjuknya membuat Nathaniel mengacak rambut panjang Poni.
Menghela napas, Nath mengambil koper Poni lalu membawa Poni keluar menuju mobilnya. “Aku juga sedikit bangga padamu, Poni. Kau mendapatkan gelar sarjana setelah 4 tahun melarikan diri.”
Mendengar balasan yang terdengar seperti sindirian dari Nathaniel membuat Poni meninju pinggang keras Nathaniel hingga pria itu mendesis.
“Kekuatanmu tidak berubah sama sekali.”
Poni tertawa lebar. Karena Nathaniel memeluk bahu Poni, Poni juga memeluk pinggang Nathaniel. Dan mereka berjalan beriringan dengan sesekali Poni akan tertawa ketika Nathaniel menceritakan sebuah lelucon.
“Oh ya, apakah Bella memberikan kunci flat kepadamu, Nath?”
Nathaniel mengangguk seraya menepuk saku seragamnya yang mana terdapat sebuah kunci. “Well, karena Mama dan Papa sudah merindukanmu, kau harus menemui mereka terlebih dahulu.”
Nathaniel kemudian membawa Poni kembali ke unit apartemen mewah mereka terlebih dahulu untuk bertemu kedua orang tua mereka.
Ketika mobil mereka tiba di parkiran bawah tanah apartemen, sekilas ingatan lama kembali menghampiri Poni. Well, tidak ada yang berubah di sini. Nathaniel yang duduk di sebelahnya menyadari bahwa Poni membisu.
“Aku mengusulkan untuk Papa dan Mama pindah, tapi mereka tidak mau... Mungkin jika aku mengatakan alasannya, mereka akan mau melakukannya.”
Poni Memberikan senyum tipis. “Tidak apa-apa, Nath. Kau tidak perlu melakukannya.”
Walaupun Poni mengatakan seperti itu, Nathaniel tetap saja tidak nyaman dengan kondisi Poni 4 tahun yang lalu. Biarpun sudah lebih dari 4 tahun Poni mengalami momen menyesakkan untuknya, tetap saja ketika wanita ini kembali, semua ingatannya akan kembali lagi. Nathaniel tahu itu lebih dari siapapun.
Poni melepaskan seat belt lalu mengajak Nathaniel yang termenung untuk keluar. “Ayo keluar, anak nakal! Kita harus menemui orang tua kita.”
Menatap Poni sekali lagi, ia langsung membuka pintu mobil dan keluar. Mereka berjalan menuju elevator dan masuk ke dalamnya.
Di dalam elevator, mereka berdua terdiam sambil menunggu lift tersebut naik ke lantai unit apartemen mereka.
Tiba-tiba saja Nathaniel membersihkan tenggorokannya sebelum bergumam pelan, “Dia tidak lagi tinggal di sini.”
Senyum yang terpatri di wajah cantik Poni segera membeku lalu menghilang perlahan. Dia sedikit menegang walaupun Nathaniel tidak bisa menangkap emosinya.
“Semenjak kau berangkat, dia sudah tidak lagi tinggal di unit-nya.”
Menelan salivanya, Poni mencoba untuk tersenyum tipis.
“Aku mengatakannya supaya kau tidak takut untuk sering-sering datang kemari. Temui Papa dan Mama tiap kau memiliki waktu luang.”
Poni mendongak untuk menatap Nathaniel lalu mengangguk.
“Kau .... Apakah kau sudah baik-baik saja, Kak?”
Poni menghembuskan nafas pelan kemudian mengusap bahu Nathaniel yang terlihat tertekan. “Aku sangat baik sekarang. Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku, Nath.”
Melihat Nathaniel masih menatapnya dengan tatapan sedih, Poni sekali berkata dengan tegas. “Aku baik-baik saja.”