Merasakan kalimat dia sendiri bisa membuat malapetaka untuknya, Edward segera menambahkan perkataannya dengan sangat cepat. “Kami selalu menyicipi setiap bekal Ansel. Hanya sedikit, tenang saja. Dia bilang kau yang memberikannya, Mikhayla.”
Poni mengangguk paham yang lebih mengarah ke arah polos. Ia menggigit bibir bawahnya saat bertanya dengan penuh pemikiran, “Umm... Apakah Kak Ansel pernah berkata jika makanan buatan Poni enak, Kak Edward?”
Edward mengangguk cepat. “Dia bahkan menghabiskan makanannya sampai tidak ada yang tersisa.”
Setiap kotak bekal yang dikembalikan oleh Ansel memang selalu bersih. Setiap kali Poni membukanya, ia akan bahagia tak terkira. Tapi mendengar secara langsung dari sahabat Ansel membuat Poni semakin bahagia. Merasa terlalu lebar senyumannya, Poni segera menutup mulutnya. Ia membersihkan tenggorokannya dan menyampirkan rambutnya ke belakang telinga. “Lalu ... Kak Edward, kau ... apa kau tahu makanan kesukaan Kak Ansel? Jika kau menolongku kali ini, aku akan membuatkanmu makan siang juga!”
“Benarkah?" tanya Edward penuh harap.
Dan Poni menganggukkan kepalanya. “Hm. Poni janji!”
“Cookies.” Edwars berkata dengan mata berbinar.
“Cookies? Makanan kesukaan Kak Ansel adalah cookies?” Poni tidak dapat membantu memiliki kerutan di ruang antara alisnya yang rapi. Ternyata pria dingin seperti kak Ansel penyuka cookies.
Edward berdesis. Ia berujar sambil melihat ke arah lain, tidak berani menatap Poni, “Sebenarnya, sangat banyak.”
“Apa saja itu— tunggu, beri Poni waktu untuk mengeluarkan buku dan bolpoin.” Poni membuka tasnya yang berwarna merah muda dan mengeluarkan notebook berwarna pink pastel dan bolpoin tipis yang berwarna senada.
Edward menatap langit di sekolah ketika menyebutkan makanan demi makanan favoritnya, catat, favorit Edward. Dan Poni segera mencatat semua tanpa ada satupun yang tertinggal. Selesai menyebutkannya, Edward merasa dirinya baru saja meneteskan air liur. Ia jadi tidak sabar untuk mencicipi semua yang ia sebutkan tadi. Dengan cepat ia menyeka bibirnya dengan punggung tangannya.
“Oke...” Poni melirik catatannya dan tidak dapat membantu untuk mengerutkan keningnya dalam-dalam merasa ada yang aneh. Sebagian dari yang disebutkan Edward tadi adalah makanan manis seperti cake, ice cream dan cookies, macaroon, cokelat, bahkan donat. “Aku baru tahu kak Ansel sangat menyukai makanan seperti ini...”
Edward mencoba terbatuk-batuk untuk menutupi kebohongannya. Mengalihkan tatapannya, ia menambahkan perkataannya, “Untuk cookies dan macaroon harus satu toples besar jika ingin mendekati Ansel. Ansel lebih menyukai kedua makanan itu.”
Dengan senyum lebar, Poni mengangguk polos. Poni berseru dengan girang, “Terima kasih, Kak Edward. Aku menyayangimu!”
“Aku juga menyukaimu, Mikhayla!” Edward berseru dengan kedua tangan terangkat membentuk hati di atas kepalanya.
Mendengar sekaligus melihat langsung apa yang dilakukan Edward membuat senyum Poni membeku dengan canggung. Ia menggaruk poninya perlahan dan terdiam. Poni bersumpah bahwa saat ini ia sangat ingin menjauh dari Edward.
Sikap Poni yang canggung berbanding terbalik dengan Edward yang penuh emosi bahagia. Ia sangat senang karena ia mendapat koki tetap untuk makan siangnya. Oh astaga, Edward sangat menyukai semangat Poni yang mau memasak untuknya!
Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Poni segera berbalik dan berlari menuju kelasnya. Sedangkan Edward hanya bisa menatap kepergian tergesa-gesa Poni dengan bingung.
Apakah dia baru saja melakukan kesalahan?
***
Bel sekolah berdering menandakan selesainya sekolah hari ini.
“Sebelum pelajaran ini kita akhiri, ingat jangan lupa untuk membentuk kelompok terdiri dari 5 sampai 6 orang per kelompok dan serahkan namanya ke saya besok. Tugasnya itu apa yang kalian catat sebelumnya.”
“Baik, Bu,” jawab siswa di kelas Poni dengan kompak.
Guru sudah keluar duluan dan disusul anak-anak yang lain. Sebelum Poni bisa keluar, Alex sudah berdiri di mejanya.
“Kalian belum memiliki kelompok, kan? Ayo satu kelompok dengan kami.” Alex berkata.
Poni dan Bella melirik dua orang di belakang Alex, ada Abi dan Jimmy. Bella dan Poni saling pandang sebelum mengangguk. Toh, mereka berdua memang belum mencari teman kelompok.
“Bagaimana jika kita mulai kerja kelompok sekarang?” Jimmy memberi saran. “Lebih cepat selesai akan lebih baik.”
Semuanya mengangguk. “Boleh juga.”
“Ingin di mana?” tanya Alex. Ia melirik Poni diam-diam. “Bagaimana jika di rumah Pon—”
“Rumah Bella!” Poni berseru membuat semua orang di sana menatapnya dengan kaget. “Sekarang di rumah Bella, setuju?”
Tanpa menunggu jawaban dari yang lain, Poni segera mengambil tasnya dan berdiri. “Kalau begitu kalian bisa ke rumah Bella dulu dan aku akan menyusul kalian. Bye, semuanya!”
Alex, Abi dan Jimmy terperangah menatap kepergian Poni. Sedangkan Bella hanya berdecak seraya menggelengkan kepalanya.
“Ada apa dengannya? Padahal kan kita bisa pergi bersama-sama. Kebetulan aku dan Alex membawa mobil.” Abi berkata penasaran.
“Bukankah Poni memang selalu pulang awal? Dia memiliki tumpangan lain.” Bella berkata samar sambil mengambil tasnya dan berdiri. “Jika tidak ada yang tertinggal, kita akan pergi sekarang. Ayo!”
***
‘Datang ke kantor sekarang juga.’
Ansel melirik pesan di ponselnya cukup lama. Ia menimang-nimang apakah harus pergi atau tidak kemudian mengusap wajahnya. Ketika ia mengenakan seatbelt, Ia melihat Poni yang berlari menuju mobilnya.
“Kak Ansel, tunggu. Kak! Kak Ansel!” Poni berlari mengejar Ansel yang sudah siap menyalakan mesin mobilnya. Ia segera masuk ke kursi sebelah Ansel dengan terengah-engah.
Huft... Hampir saja ia telat.
“Kak Ansel kenapa tidak menunggu Poni dulu!” Poni bertingkah sangat manja namun Ansel hanya menatapnya dengan datar. Tidak mendapat tanggapan yang ia inginkan, Poni segera mengganti topik pembicaraan.
“Oh iya, Kak Ansel... Pagi ini Poni bertemu kak Edward. Dia bilang Kak Ansel menyukai cookies dan macaroon. Poni akan membuatkannya untuk Kak Ansel dengan bentuk hati sempurna. Poni jamin, Kak Ansel akan menyukainya...” Poni memainkan tali tas sekolahnya dengan malu-malu.
Ansel terdiam. Siapa bilang dia menyukai hal-hal seperti itu?
“Kak Ansel, hari ini juga kotak makan siangnya bersih? Rupanya benar ya, Kak Ansel menyukai masakan Poni.” Poni bersemu ketika membuka kotak bekal Ansel. “Besok Poni akan memasak daging rendang kesukaan kak Ansel. Jadi, jangan lupa untuk menyemangati Poni supaya lebih giat untuk masak makanan untuk Kak Ansel.”
Ansel masih terdiam. Bukankah itu kesukaan Edward? Ansel menghembuskan nafas panjang. Pria itu....!
Mendengar helaan nafas Ansel, Poni berpikir jika ia sudah terlalu banyak berbicara. Maka, Poni segera menutup mulutnya
“Pacarmu tidak mengantarmu pulang?” tanya Ansel. Ia mulai menyalakan mobilnya dan keluar dari gerbang sekolahnya.
“Apa?” Poni mendongak menatap Ansel. Raut wajahnya terlihat jelas terlihat aneh. Siapa yang bilang dia memiliki pacar?!
“Kemarin kau pulang bersama pria yang menggunakan motor. Hari ini dia tidak bisa mengantarmu?”