“Kalau tidak mau peluk aku, pegang saja pinggiran bajuku dengan erat. Nanti kamu bisa jatuh.” Alex berkata.
“Umm, oke.” Baru saja Poni memegang ujung kemeja sekolah Alex yang keluar dari celana sekolah pria itu, Poni segera melarikan tangannya ke tas Alex.
“Sudah?" tanya Alex.
Dan Poni menjawab, “Sudah."
Alex mulai menyalakan mesin motornya dan keluar dari sekolah mereka. Pria itu mengendarai motornya tidak terlalu cepat maupun lambat. Dalam perjalanan pulang, Alex banyak bertanya dan Poni akan menjawabnya dengan panjang lebar, khas Poni. Dan kadang pembicaraan mereka akan diselingi dengan tawa ketika Poni mendengar lelucon dari Alex.
Tanpa mereka sadari, Ansel diam-diam mengikuti mereka. Ia bahkan bisa melihat dari belakang jika Poni terlalu dekat dengan Alex ketika berbicara. Ia mendengus dengan dingin. Inikah yang namanya mengejarnya? Menyukainya?
Oh Bullshit...
Mencengkram setir kemudi dengan sangat erat, Ansel segera menginjak pedal gas dan mendahului motor Alex.
Alex melihat mobil yang melaju yang melewatinya. Ia termenung. Entah kenapa ia merasa tidak asing dengan mobil tersebut. Ataukah hanya perasaannya saja?
“Setelah jalan ini, belok ke kanan ya, Lex!”
Alex tersadar seketika dari lamunannya. Ia tersenyum dan menjawab, “Oke.”
Sampai di depan gedung apartemen, Poni segera turun. Gadis manis itu melepaskan helm kemudian mengembalikan jaket dan helm milik Alex. “Sekali lagi terima kasih untuk jaketnya.”
Alex hanya tersenyum. Ia melihat apartemen tinggi di depannya. Ia bertanya, “Kamu tinggal di sini?”
Poni mengangguk.
“Kalau begitu aku pulang dulu. Jangan lupa segera masuk ke dalam.”
“Iya. Hati-hati ya, Lex. Dan terima kasih untuk tumpangannya.” Poni melambaikan tangannya sebelum berbalik. Ia bahkan tidak repot-repot melihat apakah Alex sudah pergi atau belum.
Tepat ketika dia berbalik, Poni melihat Ansel yang baru saja keluar dari parkiran bawah tanah dan memasuki lobi ingin menuju elevator. Sepertinya pria itu juga baru tiba sama sepertinya. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Poni segera berlari dengan kecepatan seribu tahun cahaya seraya memanggil Ansel.
“Kak Ansel!”
Ansel tidak meliriknya. Ia menempelkan keycard di sebelah pintu elevator dan menunggu lift turun. Saat pintu elevator telah terbuka, Poni sudah berada di sana. Poni segera masuk dengan terengah-engah.
Alex melihatnya dengan jelas. Dia padahal ingin pergi. Tapi saat mendengar teriakan Poni, ia segera menoleh dan melihat Poni masuk ke dalam lift bersama Ansel.
Wajah Alex segera membeku. Matanya masih melirik pintu lift yang tertutup. Jadi, mereka memang benar tinggal di tempat yang sama? Memikirkan itu tubuh Alex menjadi tegang.
***
Beberapa hari kemudian, Poni pergi ke studio ibunya. Saat ia masuk, ia melihat seorang wanita yang lebih tua dari ibunya. Dia terlihat asyik berbicara dengan ibunya.
Ketika Poni semakin dekat, Sophia melihatnya lewat ujung matanya. Ia memanggilnya dan Poni berjalan dengan cepat menghampiri mereka.
“Poni, ini kenalkan Tante Linda. Tante Linda baru mulai ikut kursus memasak hari ini. Dan ini anak saya namanya Mikhayla Symphony. Panggilannya Poni.” Sophia memperkenalkan Poni pada anggota barunya.
Dengan sopan Poni mencium tangan Tante Linda. “Halo, Tante Linda.”
“Cantik ya anak kamu, Sophia.” Linda memujinya dengan tulus membuat Poni tersenyum malu-malu dengan wajah imutnya. “Poni sudah kelas berapa?”
“Kelas 10, Tante.” Poni menjawab dengan santun.
“Poni sudah punya pacar?”
Dengan wajah memerah Poni melirik ibunya sejenak sebelum menggeleng kaku pada tante Linda.
“Tante punya dua anak cowok lho, mereka berdua tampan-tampan. Dua-duanya masih sendiri juga. Satunya sudah kerja. Satunya lagi masih sekolah, beda dua tahun denganmu. Jika ada kesempatan, Tante akan kenalkan mereka ke kamu.”
Sontak saja Sophia tertawa. Sedangkan Poni hanya tersenyum aneh.
W-wait a minute... Apakah ini percakapan yang susai ketika mereka baru saja bertemu?
Poni menatap tante Linda sekali lagi. Dan wanita paruh baya yang cantik itu menatapnya dengan senyum sumringah. Menggigit bibir dalamnya, Poni bersumpah dia tidak akan ke studio ibunya sebelum 2 jam setelah jam kursus selesai.
Beberapa menit kemudian Poni terlibat obrolan ibunya dan tante Linda. Setelah duduk di dekat tante Linda selama kurang lebih 15 menit, Poni mulai menganggap jika tante Linda adalah orang yang baik dan asyik. Tante Linda tidak seperti wanita yang suka bergosip. Namun entah kenapa, Poni bisa melihat kesedihan di matanya. Seperti ada yang kosong tiap kali Poni menangkap mata sedih tante Linda. Mungkin itu sebabnya dia mengikuti kursus memasak supaya bisa sedikit menghilangkan kesedihannya.
Linda melirik waktu yang sudah tidak awal lagi. Dan dia segera pamit untuk pulang.
“Tante pulang dulu ya, Poni.” Linda berkata ketika mereka berada di luar studio.
Poni menunduk dengan sopan. “Hati-hati di jalan, Te.”
“Sampai jumpa!” Linda melambaikan tangannya pada Poni dan Sophia.
Dan mereka berdua membalas lambaiannya tak kalah ramah. “Sampai jumpa...”
Seorang sopir membukakan pintu untuk Linda dan Linda masuk setelah melambaikan tangannya lagi. Setelah mobil tersebut meninggalkan area mereka, Poni dan Sophia kembali masuk ke dalam studio.
“Ma, ajari Poni masakan Eropa.” Poni berujar berdiri di sebelah ibunya.
“Kenapa tiba-tiba?” Sophia menatap anaknya ketika mencuci tangannya yang diikuti Poni.
“Poni hanya ingin belajar saja.”
Sophia menyenggol bahu Poni dan menggodanya. “Kamu pasti mau memasak untuk orang yang kamu suka, iya kan? Mama selalu perhatikan kamu di rumah. Kamu jadi sering bangun pagi hanya untuk memasak. Terus dimasukkan ke dalam 2 kotak bekal. Ayo, mengaku. Satunya pasti untuk orang yang kamu suka kan?”
“Satunya untuk Bella, Ma.” Poni bergerak menjauh, berpura-pura memilih bahan makanan. Ia bergumam pelan mengalihkan topik pembicaraan ibunya, “Buat dessert atau makanan berat ya?”
Sophia hanya tertawa. Tidak ingin menggoda Poni lagi, ia dengan serius mengajari Poni langkah demi langkah memasak makanan Eropa yang paling mudah.
***
“Mikhayla!”
Poni segera berhenti dan menoleh ke belakang. Ia melihat kak Edward, teman Ansel sedang berlari menuju ke arahnya. Ketika Edward berhenti di depannya, Poni bertanya dengan ramah. “Kak Edward kan ya?”
Edward mengangguk dengan terengah-engah. Ia menenangkan nafasnya yang tersengal-sengal seperti Kakek tua.
“Ada apa ya, Kak?”
“Aku hanya ingin mengatakan bahwa semua masakan buatanmu sangat enak. Aku bersumpah tidak berbohong dengan nama Ibuku.”
Poni mengerutkan dahinya dalam. Jika dipikir-pikir dia tidak pernah memberikan masakan buatannya untuk Edward. Kecuali pria di depannya memakan bekal yang ia buat untuk kak Ansel-nya. Memikirkan itu membuat Poni menatap Edward sangat marah. Pria di hadapannya berani-beraninya memakan masakan penuh cintanya untuk orang yang ia sukai!