Setelah dari kediaman keluarganya, bukannya kembali ke apartemen, Ansel justru pergi ke perkumpulan teman-temannya. Malam itu, Edward, Gio, dan Daniel sedang bermain tenis di lapangan. Ketika melihat Ansel datang, mereka mulai bermain berpasangan. Gio dan Daniel melawan Ansel dan Edward.
Mereka pikir pertandingan kali ini akan menjadi pertandingan seperti biasa, namun setelah Ansel masuk ke lapangan, pertandingan mereka berubah menjadi sengit. Khusus Gio dan Daniel, mereka benar-benar kewalahan mengejar bola dari Ansel yang ke sana kemari. Ansel seolah dirasuki hantu malam ini membuat mereka merinding. Bahkan Edward di sebelahnya bisa merasakan ada yang tidak beres.
Dengan berteriak, dia memaksa mereka berhenti bermain. “All right, OK, guys. Kita berhenti sampai di sini. Permainan berakhir! Dammit...”
Ansel yang sedang bersiap memukul bola berwarna hijau tersebut segera berhenti. Ia mengerjapkan matanya dengan pelan kemudian menatap Gio dan Daniel yang terengah-engah di seberang Net. Merasa bahwa hari ini dia terlalu berlebihan, Ansel segera melepaskan raket yang ia genggam sangat erat sedari tadi hingga jatuh di dekat kakinya. Kemudian berjalan menuju kursi panjang dan teman-temannya segera menyusul.
Edward memberikan sebotol air mineral kepada Ansel kemudian duduk di sebelah pria itu. “Kau bertemu kakakmu?”
Ansel tidak menjawab. Ia hanya menatap Edward sekilas lalu meminum beberapa teguk.
“Bukankah Al tidak pernah pulang awal ketika kau mengunjungi orang tuamu?” tanya Daniel dengan aneh.
Secara garis besar, mereka tahu tentang Ansel. Mereka sudah bersahabat sangat lama, sangat normal bagi mereka mengetahui perang dingin antara Ansel dan kakaknya, Al. Dan mereka juga tahu hari Jumat adalah waktu bagi Ansel berkunjung ke kediaman keluarganya. Ansel memilih waktu itu karena hanya hari itu jadwal super sibuk Al. Al bisa pulang pukul 1 pagi atau bahkan bisa menginap di kantor.
“Dia bilang dia merindukanku.” Ansel menjawab dengan datar membuat teman-temannya tertawa.
Gio menggelengkan kepalanya. Ia menyampirkan tas raketnya di bahu kemudian berseru, “Ayo berdiri. Ini sudah larut malam.”
Mereka masuk ke mobil masing-masing namun pergi ke satu arah yang sama. Sesampainya di tempat parkir bawah tanah gedung apartemen Ansel, wajah Ansel menjadi suram.
“Ini sudah malam. Kalian tidak pulang ke rumah kalian masing-masing?”
Edward tertawa saat menyandarkan tangannya di bahu Ansel. “Tidak, Julian. Malam ini kami akan menemanimu sampai pagi!”
Mereka tertawa terbahak-bahak sedangkan Ansel masih mempertahankan wajah datarnya ketika berjalan menuju lift.
***
“You must be kidding me.” Bella menatap Poni dengan tak percaya. Mulutnya sudah penuh dengan keripik saat dia menggelengkan kepalanya. “Aku tidak percaya itu!”
Hari ini hari Minggu. Keluarga Bella sedang mengunjungi tempat tinggal Poni dan mereka saat ini sedang bersantai di ruang keluarga seraya menonton pertunjukan komedi.
Orang tua Poni sedang berada di ruang tamu bersama orang tua Bella. Sementara Nath, adiknya sudah keluar untuk bermain dengan teman-temannya.
Poni tertawa. “Kak Ansel sendiri yang mengatakannya. Dia bilang dia juga tinggal di sini.”
Bella memegang lengan Poni dan menariknya. “Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo, kita pergi ke unit-nya! Jika aku perkirakan, dia pasti pria yang mencintai kerapian dan kebersihan. unit-nya pasti lebih rapi dari pada kamarmu.”
Sontak saja Poni memukul Bella bertubi-tubi membuat Bela tertawa terbahak-bahak.
Poni juga memikirkannya sebenarnya. Jika dilihat dari watak kak Ansel, pria itu pasti termasuk orang yang rapi dan mencintai kebersihan. Memikirkannya saja sudah cukup bagi Poni membayangkan betapa rapi dan tertatanya unit kak Ansel.
“Jadi, kita pergi ke unit-nya atau tidak?" tanya Bella membuyarkan lamunan Poni.
“Well, masalahnya aku tidak tahu unit mana dia tinggal...” Poni bergumam pelan.
“Apa?! Dia tidak mengatakannya?”
Poni menggeleng. “Aku juga sudah bertanya ke staff apartemen, tapi mereka tidak bisa memberikan info mengenai unit mana yang ditinggali kak Ansel.”
“Sepertinya Kak Ansel tidak ingin kau tahu area privasinya.”
Poni mengerucutkan bibirnya tidak terima dengan pernyataan itu.
Bella segera menyibukkan dirinya dengan ponsel. Sedangkan Poni kembali menonton sambil menggigit keripik di tangannya. Beberapa menit kemudian terdengar decakan Bella.
“Kau tahu milik siapa bangunan yang kau tempati ini?”
Dengan tatapan bodoh miliknya, Poni menatap Bella.
Bella menunjukkan ponselnya ke arah Poni membuat Poni terkejut. “Apartemen ini dibawah V Group. Yang berarti, milik keluarga Völker!”
“Oh pantas saja...” Poni mengangguk paham. Itulah kenapa kak Ansel tidak ingin mengungkapkan tempat tinggalnya. “Tapi, kenapa dia harus tinggal di sini? Bukankah orang tua kak Ansel juga ada di Ibu Kota?”
Bella kembali berdecak saat mengambil minuman soda di meja depannya. Ia menoleh ke kanan kiri yang padahal tidak ada siapapun di ruang tengah, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Poni. “Kamu tahu 'kan Tante Ratna? Teman arisan mamamu dan mamaku. Dia pernah menggosipkan keluarga Völker dengan mamaku saat arisan bulan lalu. Katanya, keluarga Völker sudah lama kacau di dalam. Salah satu anaknya ada yang minggat, dan itu adalah anak bungsunya.”
Mulut Poni berbentuk O membuat Bella menatapnya datar. “Jangan katakan padaku bahwa kau tidak tahu mengenai keluarga kak Ansel...”
“Aku tidak akan mengatakannya. Tenang saja.” Poni meyakinkannya dengan tatapan polos membuat Bella memukul lengannya dengan keras. “Ouch!”
“Mikhayla Symphony, kau tahu? Kau adalah wanita paling aneh nan bodoh di dunia ini.” Bella mencubit pipi Poni dengan main-main. “Kau menyukainya tapi tidak mengetahui tentangnya. Bahkan keluarganya saja kau tidak tahu!”
Poni mengusap pipinya, cemberut.
“Sepertinya, kau hanya mengaguminya. Iya kan? Jika kau menyukainya, kau akan mencari tahu tentangnya.”
Poni menggelengkan kepalanya dengan tegas. “Aku tidak ingin mencari tahu tentangnya sebelum dia menceritakannya sendiri.”
Bella mendengus. “Mau sampai kapan kau akan menunggunya untuk bercerita? Kita semua tahu seperti apa itu kak Ansel. Dia jarang tersenyum. Bicaranya sangat irit. Sulit didekati. Dia seperti es batu berjalan. Yah, kita tahu dengan sikapnya seperti itu membuatnya terlihat keren. Tapi tetap saja gayanya itu menjadi seperti bermusuhan dengan siapapun. Sikapnya itu sangat buruk.”
“Bagiku kak Ansel tidak buruk. Malah sangat tampan...” gumam Poni membuat Bella mau tidak mau mengangguk setuju mengenai ketampanan Ansel.
Bella membersihkan tenggorokannya kemudian duduk tegak menghadap Poni. “Dengarkan aku, aku akan memberikan materi singkat tentang keluarga Völker— jangan tertawa, Poni!”
Poni yang tadinya tertawa segera menutup bibirnya.
“Hendryk Völker adalah seorang pebisnis dari Belanda. Sebelum di Indonesia, dia sudah memiliki bisnis di Belanda. Dia menikah dengan Linda keturunan asli Indonesia. Mereka memiliki dua anak laki-laki...”