“Saya minta maaf, Nona Mikhayla. Tapi informasi penghuni tidak bisa diberitahu tanpa izin dari mereka.” Seorang wanita cantik yang lebih tua dari Poni dengan sopan berkata.
“Saya teman Ansel. Kamu bisa menghubunginya dulu jika tidak percaya.” Poni menggigit bibir bawahnya dengan wajah memelas di depan petugas apartemen. “Ayolah, kumohon.... Hubungi dia. Ya ya ya?”
Wanita itu menghela nafas sebelum mengikuti perintah Poni. Namun selang beberapa menit tidak ada tanggapan dari seberang telepon, ia menatap Poni dengan raut wajah menyesal.
“Sepertinya beliau sedang tidak berada di unitnya. Sekali lagi saya minta maaf.”
Poni tertunduk lesu. Hanya butuh nomor apartemen saja sangat sulit.
Wanita itu melihat Poni yang patah semangat membuatnya tidak enak hati. Dengan pelan dia berkata, “Saya akan menghubungi Anda jika Tuan Ansel bisa dihubungi lagi.”
Dengan mata berbinar Poni menatapnya. “Benarkah? Anda harus berjanji, oke?”
Wanita itu hanya tersenyum seraya menganggukkan kepalanya.
Walaupun Poni sudah mendapat janjinya, tetap saja dia masih murung karena tidak tahu kapan wanita yang lebih tua darinya ini akan menghubunginya untuk menjabarkan nomor apartemen Ansel.
Dengan sedih, Poni segera kembali ke lantainya dan menunggu di kamarnya.
***
Ansel baru saja selesai mandi ketika mendengar deringan telepon tanpa kabel. Tubuh bagian atasnya yang telanjang masih memiliki jejak basah. Dengan handuk putih yang mengelilingi pinggulnya, dia mendekat ke telepon dan mengambilnya.
“Maaf mengganggu, Tuan Muda. Seseorang bernama Mikhayla Shymphony yang mendiami salah satu unit di sini bertanya unit mana Anda tinggal. Perlukah saya menjawabnya?”
Ansel mengusap rambutnya yang basah dengan handuk kecil di tangan yang lain. Dengan wajah datar dia menjawab singkat, “Tidak perlu.”
Dengan begitu ia menutup telepon dan bergerak menuju kamar. Membuka lemari ia mengambil T-shirt polos, denim jacket dan jeans berwarna biru muda. Mengenakan sepatu ia segera keluar dari unit apartemennya. Sambil menunggu elevator bergerak turun dari lantai 2 paling atas, Ansel membaca beberapa pesan dari teman-temannya di obrolan grup mereka seraya bersandar di kaca elevator.
Gio: Let's play tonight, Brothers!
Daniel: Di apartemen Ansel?
Lalu muncul pesan Edward yang hanya mengirim sticker ‘Can't wait!’
Ansel mengetik pesan singkat kepada temannya saat itu juga: Aku tidak ada di apartemen malam ini.
Ketika elevator terbuka ia memasukkan ponsel miliknya ke dalam saku jacket kemudian mengeluarkan kunci mobil dari saku lainnya. Mengendarai mobil, Ansel pergi menuju kediaman orang tuanya.
***
“Tuan Muda.” Seorang pelayan tua menyapa Ansel ketika ia masuk.
“Di mana Ayah dan Mama?” tanya Ansel tanpa berhenti berjalan.
“Sedang menunggu kedatangan Anda di ruang makan. Tuan Al juga sudah berada di ruang makan.” Pelayan tua tersebut menjawab dengan sangat sopan.
Langkah Ansel mendadak berhenti seketika. Tanpa melihat pelayan tersebut, Ansel bertanya datar, “... Dia pulang?”
Pelayan tersebut mengangguk pelan. “Mendengar jika Anda akan berkunjung, Tuan Al segera kembali dari kantor.”
Ansel mengangguk kaku lalu melanjutkan langkahnya yang mulai berat. Dari jauh Ansel bisa mendengar suara tawa bahagia seperti keluarga yang hangat.
Saat Linda, ibunya melihat Ansel, ia segera bergegas menghampiri Ansel lalu memeluknya dengan penuh rindu. “Anakku akhirnya pulang! Bagaimana sekolahmu, Nak?”
Ansel tersenyum lembut. “Berjalan dengan baik, Ma.”
“Ayo, kita mengobrol sambil makan bersama.” Linda membawa Ansel di meja makan.
Hendryk, ayah Ansel duduk di ujung meja, Linda dan Ansel duduk di sebelah kanan, sedangkan Aldevaro, kakak laki-lakinya duduk berseberangan dengannya.
“Kau terlihat sedikit kurus. Kembalilah ke rumah.” Hendryk berkata. “Di sini, Mama akan memperhatikan pola makanmu.”
Ansel menjawab ketika menatap ayahnya, “Tidak untuk sekarang, Yah. Sekolah Ansel cukup dekat dengan apartemen. Ansel pikir lebih nyaman tinggal di apartemen sampai Ansel lulus.”
Linda menghembuskan napas lelah. “Apakah kamu tidak merindukan Ayah dan Mama? Kami sangat merindukanmu. Bahkan Kakakmu rela pulang awal hari ini untuk bertemu denganmu. Iya kan, Al?”
Secara tidak sadar Ansel menatap Al di depannya. Pria yang berjarak 5 tahun dengannya. Satu-satunya alasan Ansel tidak tinggal di kediaman keluarganya. Pria itu membalas tatapannya dengan senyum ambigu. Senyuman pria itu tidak sampai ke mata namun masih terlihat seperti seorang penyayang di mata orang lain, tapi tidak untuk Ansel.
Ansel sangat membenci pria di depannya ini.
“Ya, itu benar.” Al berkata santai.
“Sepertinya kau memiliki banyak waktu luang.” Ansel bergumam datar.
“Aku selalu memiliki waktu luang untuk melihat adik tersayangku yang sangat jarang pulang ke rumah. Aku bahkan sempat berpikir jika kau lupa jalan pulang.” Al masih mempertahankan senyumannya, berbeda dengan wajah Ansel yang mulai terlihat dingin. “Aku lihat, Ansel menyukai apartemen bisnis keluarga kita. Bagaimana fasilitas di sana, Dik? Tahun ini akan ada perbaikan di taman bagian depan supaya terlihat lebih segar daripada sebelumnya. Dan juga akan ada penambahan pembeli. Di sana akan semakin ramai.”
Ansel tidak menanggapi Aldevaro. Ia hanya melirik ayahnya saat berkata, “Sepertinya mulai Minggu depan Ansel akan susah kembali. Ansel sedang fokus belajar untuk ujian.”
“Seperti yang kuduga.” Al terkekeh pelan saat menyesap sampanye di tangannya dengan perlahan.
Hendryk mengangguk paham. Biar bagaimanapun, Ansel sudah kelas 12 sekarang. Tinggal menghitung bulan ia akan lulus sekolah dan segera memilih universitas favoritnya.
“Kalau begitu, Mama dan Papa yang akan mengunjungimu. Tidak ada penolakan!” Linda berkata dengan cemberut.
Ansel hanya tersenyum tipis dan melanjutkan makannya yang tertunda.
Beberapa jam kemudian Ansel pamit menyisakan Hendryk , Linda, dan Aldevaro yang tengah bermain dengan ponselnya. Linda dan Hendryk melirik Al sejenak sebelum menghembuskan nafas pelan.
Al yang sadar akan situasi di ruang tengah segera menatap kedua orang tuanya dengan bingung.
“Kenapa kau tidak berbaikan dengan adikmu tadi?!” Linda berseru.
“Kami tidak bertengkar, Ma.” Al menjawab dengan polos.
“Sudah dua tahun dia tidak pulang karena kamu, Al.” Suara Linda mulai melembut ketika dia duduk di hadapan Al.
“Itu kemauannya sendiri.” Al berkata dengan acuh tak acuh. Saat Linda ingin bersuara, Al sudah memotongnya dengan tegas, “Dia sudah besar, Ma. Dia sudah bisa menentukan pilihannya. Jika dia ingin tinggal di luar, itu sudah menjadi urusannya sendiri. Kenapa kita harus membujuknya seperti anak kecil?”
Al berdiri dan berjalan menuju kamarnya di lantai atas.
Linda melirik kepergian Al lalu menatap suaminya di sebelahnya. “Apakah kamu tidak bisa membujuk Ansel untuk pulang, Suamiku? Aku merindukannya. Dan kamu juga sama merindukannya. Apa tidak ada cara lain untuk membawa dia pulang, kembali bersama kita?”
Hendryk menghembuskan napas dengan pelan kemudian menggeleng pelan. “Kita tidak bisa memaksa bocah itu, iya kan? Dia memiliki sifat keras kepala. Tenang saja, Sayang. Dia akan pulang sendiri pada waktunya. Dan kita hanya bisa menunggu dengan sabar.”
Mendengar itu Linda hanya mendesah dengan raut wajah sedih.