Tragedy di Pesta Pertunangan

1184 Words
“Pesta pertunangan itu harus mewah. Aku mau diadakan di ballroom hotel. Semua teman akan kuundang, Ma!” rengek Sonia. Sarah mendengkus. Jijik sekali mendengar kemanjaan dari mulut Sonia. Kemudian dia hanya mampu menundukkan kepala, menahan rasa sedih dan benci yang tercipta hari ini. Seketika dia sesali kepulangannya. Bukan membuat kejutan untuk keluarga tetapi ini menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Bukannya mengejutkan tapi ternyata malah Sarah yang mendapatkan kejutan. Hatinya bagai tertusuk sembilu. Zidanne yang tak tahu bahwa lelaki itu sebenarnya adalah kekasih Sarah, tak bisa disalahkan. “Iya, tak mungkin Mama akan membuat pesta sederhana untukmu, Sayang!” sahut Helena memungkas rengekan Sonia. Wanita paruh baya yang duduk di samping Zidanne itu melirik ke arah lelaki berkacamata yang sedang menikmati makannya dengan pandangan merayu. “Apakah dia tak diajari adab untuk tidak mengajak berbincang saat makan?” Sarah merasa kesal. Sampai detik ini, Helena tak menanyakan kabar Sarah. Bahkan menyambut anak tirinya pun tidak. Ya, ini semua benar-benar kejutan untuk Sarah. Semua berubah menjadi semakin buruk, lebih buruk dari sebelum Sarah pergi ke luar negeri. Sarah memilih untuk menyelesaikan makan lalu berniat untuk bergegas ke kamar. Ingin sekali merebahkan diri setelah perjalanan jauh dan tak ada obrolan hangat yang dia dambakan selama jauh dari keluarga. Nampaknya, perhatian Zidanne lebih ke pesta pertunangan anak tirinya itu. Tahukah mereka apa yang Sarah rasakan? Sakit sekali, kecewa dan sedih. Semua itu bercampur aduk di dalam hati gadis itu. 4 tahun berhasil membuat perhatian papa terserap pada ibu tirinya dan Sonia. “Sini piringnya,” ujar Sonia pada Sarah, tersenyum manis. Tanpa menunggu persetujuan Sarah, Sonia mengambil piring kosong lalu membawa semua peralatan makan yang kotor ke dapur. “Lihatlah, Pa. Dia itu sudah siap untuk menikah. Rajin sekali anakku itu,” ujar Helena. Nada bicaranya terdengar sinis, Sarah merasakan lirikan tajam wanita itu ke arahnya, seperti menyindir. Dia segera beranjak lalu berjalan ke belakang. Namun, yang dia lihat Sonia hanya meletakkan semua peralatan makan itu di kitchen sink saja. Tak menyentuhnya. “Sarah, harusnya kamu yang memberesi semua itu. Aku ini kakakmu,” ujarnya menunjuk dirinya sendiri. Wajah manis Sonia saat mengambili piring kotor di meja makan tadi ternyata hanyalah untuk mencari muka di hadapan kedua orang tuanya. Sarah hanya menghela napas, menggelengkan kepala. “Jika dia tak mau, aku bisa melakukannya dari tadi,” gumam Sarah lirih. Sarah mengucurkan air dari kran, memberesi semua peralatan makan yang mereka gunakan tadi dan tak lagi melihat apa yang Sonia lakukan karena gadis itu telah menghilang dari dapur masuk ke ruang makan. Hanya terdengar tawa ketiga orang itu membicarakan soal pesta pertunangan Sonia. Lalu samar-samar suara itupun menjauh dari pendengaran Sarah. Nampaknya mereka berpindah tempat untuk berbincang bertiga. Sarah merasa tak diajak bergabung, tapi dia menghibur diri masuk ke dalam kamar, menata ruangan yang telah lama tak dipakai itu agar nyaman dipakainya nanti malam. *** Akhirnya, setelah berbagai persiapan pesta pertunangan dan Sonia tak membiarkan Sarah berdiam dan memaksa gadis itu untuk membantunya bagai seorang pembantu, tibalah saat malam yang dinanti oleh Sarah. Malam yang begitu mewah. semua bertepuk tangan saat pasangan tunangan memasang cincin di jari manis pasangannya masing-masing. Sonia nampak cantik, berbalut dengan dress warna putih tulang yang serasi dengan Mike yang sangat gagah dengan wajahnya yang cukup tampan. Memakai tuksedo hitam dengan kemeja berwarna sama dengan dress yang dikenakan oleh Sonia. “Sudahlah. Aku muak melihat keduanya.” Dengan kilat mata benci, Sarah bersandar di sudut ruangan, menatap mimik bahagia pasangan di depan sana. Banyak sekali tamu yang datang. Semua relasi-relasi papanya, juga teman Sonia. Sarah bagai gadis terasing di pojokan. Memakai dress sabrina berwarna peach dengan gelas bertangkai berisi minuman bersoda di tangan. Belum juga meneguknya dengan pandangan menerawang, tak jelas yang dia pikirkan hingga Sonia menepuk bahu kanannya, membuat terperanjat sampai nyaris benda dari kaca itu terjatuh. “Eh, Sonia.” Wanita itu tersenyum manis. Sonia memberi isyarat agar Sarah meletakkan gelas berisi soda yang dipegangnya dari tadi. Dia membawa dua gelas champagne berisi minuman berwarna merah tua kemudian menyodorkan satu gelas champagne yang dia pegang di tangan kanannya untuk Sarah. Sarah mengerutkan dahi. Sejurus kemudian dia menghela napas. Dia pikir mungkin wanita itu ada sisi baiknya juga. Dengan senyum yang dipaksakan, Sarah menerima juga gelas yang disodorkan tanpa ada sedikit pun buruk sangka. “Mari bersulang untuk hari bahagiaku,” ujar Sonia menyentuhkan sisi gelasnya ke sisi gelas Sarah hingga terdengar bunyi gelas beradu. Sonia meneguk minumannya dengan cepat. Sarah menatap wanita itu meneguk habis minumannya lalu dia mengikuti Sonia meminum minumannya hingga tak bersisa. Seketika minuman itu membasahi tenggorokan Sarah yang sedari tadi kering karena lupa minum walau di tangannya membawa minuman. “Terima kasih telah membantuku seharian ini. Kamu bisa duduk di sana jika lelah,” tunjuk Sonia ke sebuah kursi di dekat sebuah lorong. Sarah mengangguk. Memang dia sangat lelah setelah seharian ikut mengurusi persiapan pertunangan Sonia, kakak tirinya itu. Dia meninggalkan Sonia yang sepertinya akan sibuk menyambut para tamu, sementara Mike tak kelihatan berada di mana. “Bukan urusanku juga,” gumam Sarah kala mengingat keberadaan Mike. Langkah kakinya mendekati kursi yang kosong, yang ditunjukkan oleh Sonia tadi. Ya, dia ternyata benar, Sarah merasa lebih lelah dai sebelum ini. Kepalanya seketika pusing serta pandangannya berkunang-kunang. Sarah tak bisa melihat jelas kursi mana yang akan dia duduki, hanya menuruti kemana kakinya melangkah. Rasanya pusing dan sempoyongan sampai-sampai Sarah melepaskan sepatunya di lantai lalu berjalan melewati lorong hingga sampai ke sebuah ruangan yang ada banyak pintu. “Kenapa ini, kepalaku pusing,” pikir Sarah setelah merasa aneh. Dia ingat minuman yang diberikan oleh Sonia. “Apa mungkin minuman itu?” Tiba-tiba Sarah mendengar dari lorong yang tadi dia lewati, derap langkah beberapa orang yang sepertinya sedang mencari gadis sempoyongan itu. “Di mana adik Nona Sonia? Kita harus membawanya ke kamar Tuan Pandu, dia sudah menunggu!” ujar salah satunya. “Jadi, ini rencananya??” desis Sarah. “Tidak, ini tak boleh terjadi. Aku harus sebisa mungkin melarikan diri dari kejaran mereka!” Karena langkahnya sudah tak kuat, Sarah berbelok lalu mengetuk pintu sembarang. “Buka! Tolong aku, bukakan pintu!” teriak gadis itu lemah dan ketakutan. Sarah mengucap syukur pada Tuhan, karena seseorang membukakan pintu. Pandangannya yang agak kabur menangkap wajah pria yang tampan sedang berdiri di ambang pintu. “Tuan, tolong aku!” desis Sarah sambil menarik jas yang dikenakan oleh pria itu. Seorang pria tampan yang merupakan pengusaha sukses di kota itu tampak berdiri memindai Sarah dengan sorot mata yang tajam. Pria bernama Alexander Raymond itu kini mulai menatap gadis yang tengah memohon sambil berlutut di kedua kakinya. “Aku mohon, Tuan. Tolong aku! Biarkan aku masuk,” pinta Sarah kembali mengulang permohonannya. Melihat gadis itu,Alex mulai mengangkat dagu Sarah hingga kembali berdiri. Mengikuti telunjuk Alex yang menarik dagunya. “Masuklah!” titah Alex dengan suara bariton yang terdengar sangat berwibawa. Sarah yang merasa kepayahan dan ketakutan pun kini segera masuk ke dalam kamar. Tanpa menunggu lama, Alex langsung menutup pintu dan menguncinya, lalu melihat kembali ke arah Sarah yang tanpa sadar membuka seluruh pakaiannya karena efek obat dalam minumannya kini mulai bereaksi. Membuat aliran darah gadis itu terasa berdesir hebat hingga Sarah merasakan tubuhnya seperti terbakar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD