Diusir

1316 Words
Kepala Sarah terasa berat, sangat berat. Dengan kedua mata menyipit karena terkena bias sinar mentari yang menyusup di celah jendela, Sarah mulai membuka mata yang sebenarnya masih ingin terpejam. Namun, Sarah terperanjat kala melihat ada seseorang di sampingnya. Sarah mengerjapkan kedua matanya, menggosoknya kasar. “Astaga! Siapa dia??” desis Sarah melihat seorang pria tampan yang tidur menghadapnya. “Astaga!” Sekali lagi Sarah menutup mulutnya sendiri melihat pria yang sedang tak memakai baju sehelai benang pun itu. Dia pun merasa aneh dengan tubuhnya sendiri. Ya, kaget sekali ternyata kondisinya sama dengan pria yang tak memakai baju itu. Sarah melongok ke lantai marmer khas hotel mewah kelas atas yang dia tempati semalam. Di sana, dia menemukan apa yang dicari. Bajunya berceceran di lantai. “Astaga, apa yang telah kulakukan semalam?” Denyut di kepala Sarah makin menjadi. “Aku pusing sekali,” lanjutnya memegangi kepala. Setelah merasakan nyeri di kepala, rasa itu dia sadari juga di bagian kewanitaannya. Sarah melompat dari tempat tidur dan memeriksa sprei. Bekas darah menunjukkan bahwa dia telah kehilangan keperawanannya bersama lelaki yang masih tertidur pulas di atas tempat tidur. Lemas rasanya, kecewa hati Sarah. Namun, dia harus segera lari dari ruangan itu. Perlahan tanpa menimbulkan suara, dia meraih baju-baju yang tercecer di lantai lalu cepat-cepat dia pakai sebelum pria itu bangun. Dengan lega, Sarah melangkah keluar dari kamar pria itu tanpa alas kaki, dengan rambut dan penampilan yang cukup berantakan. Dia membuka pintu kamar hotel dengan sangat hati-hati, begitu pun saat menutupnya kembali. “Hey, itu dia!” Seseorang berteriak di belakang. Jantung Sarah berdegup kencang. Dia menengok sekilas melihat orang-orang itu lalu ingat, bahwa mereka ini yang semalam mengejarnya. Kakinya berlari lagi untuk menghindari orang-orang yang berjumlah sekitar 4 orang itu. “Gila, lari mereka cepat sekali.” Sarah terengah-engah mengimbangi semua orang itu. Namun, meski berusaha cepat, sayang sekali mereka bisa menangkap Sarah. “Lepaskan aku!” Sarah mencoba meronta, tapi sebesar apapun dia memohon, orang-orang bertatto itu tak akan pernah melepaskan cengkeraman tangan mereka. Badan mereka yang kekar membawa Sarah berjalan keluar dari lorong hotel lalu menyuruh masuk ke dalam mobil. “Kalian pasti suruhan Sonia!” tebak Sarah saat berada di dalam mobil, dihimpit oleh dua orang. “Cerewet! Kalo kamu nggak bisa diam, kami akan melakukan hal-hal yang buruk padamu. Kamu cukup manis juga untuk kami nikmati!” ujar salah satu dari mereka, mencengkeram dagu Sarah, membuatnya merasa jijik lalu membuang pandangan ke samping. Rasanya Sarah sudah tak ingin lagi berbicara, dari pada mereka nekat akan melakukan hal-hal yang buruk padanya. Semalam sudah sangat buruk, dia berharap agar tak lagi ditambah keburukan pagi ini. Namun, Sarah takut dan tak tahu akan dibawa ke mana. Sarah sedikit bisa bernapas lega karena mobil itu berhenti di depan rumah. Wanita itu pun heran kenapa dia tidak diculik dan kenapa mereka malah membawanya pulang. Keempat orang itu menyeret Sarah dengan paksa turun dari mobil. “Iya! Ini rumahku, aku tahu jalannya! Kalian ggak perlu menyeretku! Ini kasar sekali! Kalian ini kasar sama perempuan!” Entah keberanian dari mana. Rasanya kesal sekali dengan 4 pria berpenampilan mirip dengan debt collector yang sering Sarah lihat di jalan-jalan itu, hingga dia membentak mereka. Sarah menepis tangan mereka, lalu berjalan cepat mendahului keempat pria yang tak dia kenal. Pintu terbuka lebar dan Sarah leluasa memasuki rumah. Dia terhenyak saat melihat empat orang yang sepertinya sudah menyambut di dalam ruang tamu. Zidanne, Helena, Sonia dan Mike. Pria yang masih menyisakan kebencian dari mata Sarah. Sekilas menatap mata Mike yang juga nampak membenci Sarah. Dia menatap sinis penampilan Sarah yang masih acak-acakan. Namun, tak hanya Mike. Semua yang ada di ruang tamu menatap wanita itu dengan tajam hingga mulut Sarah tak mampu meloloskan satu kalimat pun melihat adanya keanehan di dalam ruangan ini. “Papa....” Sarah menyebut ayahnya dengan lirih saat pria cinta pertamanya itu beranjak lalu berjalan cepat seolah tak sabar ingin mendekati anak perempuannya. Namun, sebuah tamparan yang menyakitkan, membuat pipi kiri Sarah terasa panas. “Papa!” teriak Sarah, menatap ayahnya setelah perlakuan kasar yang baru kali ini dia terima selama dua puluh dua tahun. Sempat Sarah lihat senyum sinis dari wajah Helena dan Sonia. Sedangkan Mike nampak jijik menatapnya. “Dasar jalang!” Sekali lagi Zidanne menampar anaknya. Kali ini pipi kanan Sarah yang dia arah dengan punggung tangan kanannya, membuat Sarah tersungkur di lantai dan merintih sakit. Namun, tak ada yang berbelas kasih. Mereka semua seperti jijik dan memaki Sarah. “Sedewasa ini kamu malah jadi gadis murahan! Apa yang Papa ajarkan padamu selama ini?? Papa mengirim kamu ke luar negeri untuk belajar tinggi agar akhlakmu juga setinggi pendidikanmu! Tapi apa?? Kamu malah tidur dengan seorang pria bayaran!! Dasar anak nggak tau diri!” Wajah Sarah pias mendengarnya. Rasanya luruh semua organ yang ada di dalam tubuh wanita itu. “Papa, aku nggak sengaja tidur dengan pria itu,” rengek Sarah, memeluk kaki Zidanne. Tak perduli lagi dengan ketiga orang yang masih duduk di sofa, menonton drama ini dengan melipat tangan dan kaki bertopang. Sarah tak ingin ayahnya berpikiran buruk tentangnya. Dia itu korban, bukan pelaku. “Papa, asal Papa tau, semalam aku pusing setelah diberi—“ “Nggak usah memutar balikkan fakta, Sarah! Ini buktinya kamu yang mengetuk pintu pria bayaran itu!” potong Sonia mendekati Sarah lalu melempar ponselnya di pangkuan Sarah. Sonia telah memotong kalimat Sarah dan membeberkan bukti. Namun, dia tentu telah menutupi bahwa dia telah memberi Sarah minuman sebelumnya. Sebelum Sarah merasakan pusing yang teramat sangat. Sarah meraih ponsel itu, menatap sebuah video dari belakang, di mana dirinya sedang mengetuk-ngetuk pintu sebuah kamar. Sarah terbelalak melihat video yang memperlihatkan dirinya sedang mengetuk pintu kamar hotel dan seorang pria membukakan pintunya, lalu mengangkat dagunya seperti dirinya adalah wanita liar. “Papa, ini fitnah!” bela Sarah pada diri sendiri. Meski Sarah tak yakin akan ada yang akan membelanya, dia berupaya untuk membela dirinya yang tidak berniat melakukan hal kotor seperti yang nampak di layar ponsel Sonia. “Itu buktinya ada, jadi jangan lagi kamu katakan kalo itu fitnah, dasar gadis nggak tahu diri! Saham Papa anjlok karenamu!” Sebuah tendangan kaki mengenai perut Sarah. Sakit sekali rasanya sampai tersungkur lagi di lantai. Zidanne sungguh bersikap kasar pada anak perempuannya. Baru kali ini dia bersikap seperti itu. Sarah mengerang, memegangi perut tapi tak seorang pun mau menolong dia yang mengerang kesakitan di lantai. Sarah menangis, kecewa dan sedih sekali. Tambah lagi saat Sonia melempar sebuah tas besar ke wajah Sarah. Dia diperlakukan bagai seorang pendosa di depan ayah, ibu tiri, dan mantan kekasihnya. Wanita itu pun menyemprot telapak tangannya dengan hand sanitizer setelah menyentuh Sarah. “Usir dia, Papa!” teriak Sonia, memprovokasi Zidanne. Pandangan mata Sarah bergulir ke arah pria paruh baya yang masih mengatur napasnya karena kedatangannya. “Papa, aku nggak ingin seperti ini. Aku tahu Papa sangat kecewa, tapi ini semua nggak benar! Tolong Papa percaya sama aku!” “Pergi!!” teriak Zidanne menunjuk ke pintu. Sarah masih bergeming menatap kesungguhan pria itu. Dia yakin bahwa pria itu pasti tak benar-benar menyuruhnya pergi. “Papa, Papa nggak sungguh-sungguh, kan?” lirih Sarah, berusaha untuk bangkit. “Bawa tas itu bersamamu! Kamu bukan lagi anakku!” Teriakan Zidanne bagai petir yang mengenai kepala Sarah. Rasanya sangat pusing mendengar usiran dari ayah yang dia cintai selama ini, walau dia pun tak pernah memikirkan perasaan anaknya selama 4 tahun ini. Dia tega mengusir Sarah. “Papa, Papa mohon maafkan aku, Papa! Ini bukan salahku, aku hanya dijebak oleh seseorang! Percayalah padaku, Papa!” Sarah menangis sesenggukan di lantai, memohon agar Zidanne tak mengusirnya. “Mau tinggal di mana aku kalo nggak di rumah? Apalagi, aku nggak punya apa-apa lagi. Kenapa kalian tega?” Sarah sempat melihat wajah puas Sonia yang mendengar Zidanne telah mengusir anak kandungnya sendiri. “Jahat sekali,” rintih Sarah, terisak. “Pergi! Kalo sampai aku masih melihatmu di sini, akan kubunuh kamu!!” teriak Zidanne, seperti kesetanan mengusir Sarah dengan kakinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD