“Jangan, Papa! Aku nggak tau harus pergi ke mana!” jerit Sarah mengiba, meski sepertinya tak akan ada belas kasih dari sikap Zidanne.
Pria paruh baya itu, belum pernah memperlakukan anak perempuannya seperti ini dan Sarah tahu benar sikap ayahnya. Jika ada orang yang mengecewakan, maka Zidanne tidak akan pernah memaafkannya. Sekarang, kekecewaannya terjadi pada Sarah, anak kandungnya sendiri.
“Pergi! Jangan mengotori rumah ini dengan kelakuanmu itu, Sarah! Keluarlah!” Telunjuk pria paruh baya itu telah mengarah ke pintu.
Sarah mencoba mengusap air mata walau masih saja kedua mata sialnya mengalirkan cairan bening yang tak dapat ditahan. Dia lalu berdiri dengan susah payah karena perut yang sakit dan kaki yang lemas. Sarah melihat semua yang duduk di sofa, menatap dirinya dengan puas. Bahkan Sonia menopang kakinya sambil tersenyum sinis. Nampak kepuasan dari sorot mata wanita itu. Bola mata Sarah bergulir ke arah Mike yang tiba-tiba berdiri lalu mendekatinya. Sarah tak tahu apa yang akan dilakukan oleh pria itu.
“Aku bersyukur karena belum pernah menyentuhmu, Sarah. Ternyata, apa yang dikatakan oleh Sonia selama ini benar. Kamu hanyalah w************n!” bisiknya, lalu menyeret Sarah keluar dengan mencengkeram lengannya.
Sakit.
Lengan Sarah terasa sakit dicengkeram pria itu, seolah dia memiliki dendam yang sangat besar pada Sarah. Itu karena fitnah yang dikatakan oleh Sonia pada Mike. Namun, tidak ada lagi rasa simpati Sarah pada pria itu. Dia mengatainya murahan, malahan pria itu telah meniduri kakak tirinya itu. Dia yang berkhianat dan mereka yang membuat rumah itu kotor! Betapa munafiknya mereka.
“Sakit! Lepaskan!” teriak Sarah menepis tangan Mike yang mencengkeram lengannya.
“Jangan playing victim. Pergilah, Sarah. Aku sudah mengemasi barang-barangmu di tas itu! Ambil dan bawalah pergi!” gertak Sonia yang telah berdiri di samping Mike dan menggelayut manja di lengan pria itu, seolah adik tiri akan mengambil kekasihnya kembali dari pelukannya.
“Playing victim katamu? Baiklah, ini benar-benar sakit. Hati dan fisikku karena kalian,” desis Sarah menyorot keduanya.
Dia meraih tas besar itu. Sarah yakin bahwa Sonia telah menyiapkan tas itu sejak Sarah kehilangan kesadaran di hotel. Perempuan itu tak habis pikir, entah kenapa sang ayah mempercayai Sonia! Mungkin Zidanne telah buta karena kejadian ini hingga tak dapat berpikir lagi.
Sarah berdiri tegak meski kesakitan, lalu berjalan keluar menuju gerbang melewati orang-orang yang tadi membawanya ke rumah. Mereka pun tak jauh berbeda dengan orang rumah yang mengusir wanita itu, sinis. Dengan hati hancur, dia berjalan ke luar gerbang, tak tahu arah tujuan yang jelas. Menengok kanan dan kiri untuk menentukan arah. Suasana sepi, hingga dia hanya duduk di pinggir tembok rumahnya sendiri. Kemudian, mata Sarah menangkap sesuatu di tong sampah.
Tangannya meraih benda yang telah rusak sebagian menjadi abu, teronggok di dalam sampah. Menariknya ke atas tanpa rasa jijik karena telah bercampur dengan sampah lain. Dia lihat namanya masih terbaca di sana. Namun, bagian bawahnya telah hilang, dengan batas coklat khas bakaran.
“Ini ijasah sarjanaku.”
Air mata Sarah kembali luruh saat merasakan sakit hati yang teramat sangat. Benda itu dia dapatkan bukan hanya dengan membeli memakai uang atau mencari muka! Benda itu dia dapat dengan penuh kesungguhan, setiap malam Sarah belajar dengan keras.
Bahkan saat Helena bilang kalau ayahnya lupa mengirimkan uang, Sarah berusaha mencari pekerjaan sampingan sebagai tukang antar s**u di sana demi mengisi perut, demi masih bertahan di bangku kuliah, hingga berdiri di atas panggung untuk menerima selembar ijasah penting dalam hidupnya tanpa seorang pun menanyakan kabarnya.
“Gila, ini sungguh keterlaluan!” gumam Sarah menggelengkan kepala, tak habis pikir memikirkan nasib yang menimpa saat ini.
Dua matanya terasa hangat, mengalirkan buliran air bening mewakili rasa campur aduk dalam hati. Bagaimana tidak, mereka sangat tega! Lembaran itu bisa dia gunakan untuk melamar pekerjaan, tapi sekarang mereka memusnahkannya. Masih ada tulisan angka nilainya yang memuaskan. Kini tak lebih dari seonggok kertas biasa karena telah hancur dilahap oleh api.
“Ya Tuhan,” gumam Sarah, mengharap keadilan pada Sang Pencipta. Namun dia tahu tak mungkin saat ini akan datang keadilan.
Setengah jam Sarah merenungi potongan kertas dengan pinggiran coklat bekas api itu. Segera dia sadari bahwa akan percuma meratapi semua. Ya, Sarah merasa harus bangkit.
“Jika hanya duduk di sini, aku tak akan mendapatkan atau menghasilkan apapun.”
***
Sementara itu, di kamar hotel, Alex tampak merenggangkan ototnya karena merasa begitu lelah setelah melakukan pergulatan semalam dengan Sarah. Sesaat pria itu pun mulai menatap sekeliling untuk melihat di mana dirinya berada. Sampai akhirnya, Alex teringat akan wanita yang telah menemaninya semalam. Walaupun ia sering tidur dengan beberapa wanita penghibur, tapi kali ini, Alex dapat merasakan perbedaan dari malam-malam sebelumnya. Pria itu merasakan kenyamanan saat peluhnya saling menyatu dengan Sarah. Sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, entah kenapa hatinya ikut bergetar dan merasa Sarah begitu istimewa dari wanita-wanita yang selama ini berbagi ranjang dengannya.
Pencarian Alex seketika berakhir di saat ia sama sekali tak menemukan keberadaan wanita itu di kamar hotelnya.
“Sial, kenapa wanita itu langsung pergi? Apakah dia tidak ingin mengambil bayarannya?” Bola mata Alex mulai melihat ke arah meja. Masih utuh lembaran uang yang ternyata tak disentuh sama sekali oleh Sarah. Membuat Alex menghela napas berat karena merasa ada sesuatu yang aneh terjadi. Baginya tak masalah jika tidur dengan wanita panggilan, ia hanya tinggal membayarnya dan tidak ada ikatan apa pun ke depannya. Akan tetapi, sekarang situasinya sangat berbeda. Alex merasa tidak tenang, terlebih ia sama sekali tak mengenal siapa wanita yang semalam bersamanya.
“Aku harus tahu siapa wanita itu sebenarnya?” gumam Alex sambil beranjak dari ranjang untuk melangkah menuju bathroom yang berada di sudut ruangan.
***
Waktu berlalu dengan begitu cepat. Sudah satu jam setelah dirinya terbangun di kamar hotel sendirian. Kini Alex sudah kembali berada di kantornya, ditemani oleh Samuel yang merupakan asisten pribadinya.
“Ini sangat aneh,” ucap Alex, pria blasteran Turki – Indonesia itu tampak memijat pelipisnya yang terasa pening.
“Bagaimana menurutmu, Sam?” sambung Alex dengan sebuah pertanyaan.
“Saya juga merasa aneh, Tuan. Semalam wanita yang akan menemani Tuan memang tidak datang, tapi tiba-tiba malah ada wanita lain yang tidak jelas datang ke kamar Anda. Maafkan saya, Tuan. Saya benar-benar menyesal, Tuan.”
“Sudahlah, sekarang kamu cari saja wanita itu!” titah Alex yang begitu penasaran tentang identitas wanita yang menemaninya semalam.
“Baik,Tuan. Saya akan secepatnya menemukan wanita itu dan membawanya ke hadapan Tuan,” jawab Samuel dengan setengah membungkuk hormat kepada Alex, tuannya.
“Aku harus menemukan wanita itu. Sampai ke ujung dunia pun pasti akan aku cari,” batin Alex sambil menatap kepergian asistennya yang kini baru saja keluar dari ruang pribadinya.