Klub Malam

1169 Words
Rasanya lelah mendera Sarah yang berjalan sepanjang pusat kota untuk mencari pekerjaan. Sulit sekali mencari kerja tanpa adanya ijazah dan pengalaman. Bahkan posisi penjaga toko pun tak bisa dia dapatkan. Rasanya haus dan perutnya mulai lapar karena sejak semalam dia belum makan atau minum. Sarah meneguk saliva saat dia melihat beberapa orang sedang menikmati makan mereka. Dia melanjutkan perjalanan menelusuri pusat kota hingga pinggir kota untuk mengalihkan rasa lapar dan hausnya. Letih rasanya hingga dia meletakkan bawaan di sebuah bangku taman dan duduk untuk beristirahat. Sarah memilih untuk duduk mengamati sekitar. Saat itulah dia melihat seorang wanita paruh baya yang sedang kesulitan mengangkat barang-barangnya masuk ke mobil. Tanpa diminta, Sarah segera mendekati wanita itu. “Selamat siang, Nyonya. Apa Anda butuh bantuan?” tawarnya dengan senyum manisnya. Wanita itu memperhatikan Sarah dari atas ke bawah dengan ragu, lalu menganggukkan kepala pada akhirnya karena tak ada orang lain yang bisa dia andalkan untuk membantu. Dengan sigap, Sarah membantu memasukkan kardus-kardus yang beratnya lebih dari dua kilo itu ke dalam mobil. Energi yang dia miliki tak sebanding dengan tenaga yang dia keluarkan. Sarah agak kesulitan karenanya. Namun, dia merasa kasihan pada wanita paruh baya yang harus melakukannya sendiri. “Terima kasih, Nak.” Wanita itu menatap ramah pada Sarah, kemudian dia mengulurkan sebuah kartu nama bertuliskan nama dan alamatnya. “Nyonya Tiara? Cafe? Ini alamat Anda, Nyonya?” tanya Sarah usai membaca benda pipih itu. “Kenapa Anda tidak menyuruh orang untuk berbelanja?” tanya Sarah, sedikit merutuki dirinya sendiri karena terlalu menelisik urusan orang lain. Wanita paruh baya itu mendesah, lalu menutup bagasi mobilnya. Baru dia menghadap ke Sarah lagi setelah memastikan mobilnya tertutup dengan aman. “Aku kekurangan karyawan, Nak. Jadi aku melakukannya sendirian,” sahutnya lirih sambil tersenyum menyipitkan kedua matanya pada Sarah. Terbersit sesuatu di dalam pikiran Sarah. Dia membungkuk kala wanita paruh baya itu mengucap terima kasih padanya dan berlalu bersama dengan mobil dan semua barang-barangnya. *** Sementara itu, di rumah yang masih menyisakan rasa amarah akan kejadian yang menimpa anak perempuannya, Zidanne tampak masih merasakan frustasi akan kepergian sang anak dengan tidak terhormat dari rumah. “Keputusan yang kamu buat itu sangat tepat, Sayang. Kita harus bangkit untuk memperbaiki nama baik keluarga,” tutur Helena lembut, mengelus lengan pria yang nampak stress meraup wajahnya berkali-kali karena pagi tadi dia telah melakukan keputusan terbesar dalam hidupnya. Mengusir anak kandungnya sendiri. Zidanne menarik napasnya, mencoba mengurangi beban berat dalam d**a. Masih saja tak percaya dengan apa yang dia lihat dalam rekaman video di ponsel Sonia. Kenapa anak perempuannya itu bisa berubah menjadi seorang wanita jalang. “Jangan menyesali apa yang kamu lakukan, Sayang. Ini, minumlah kopi hangat. Apa yang buruk harus dihilangkan meski dia adalah anak kandungmu sendiri,” bujuk Helena dengan kata-kata jahatnya. Sonia yang baru saja mengantarkan Mike ke halaman rumah untuk pulang, melewati wanita yang bekerja paruh waktu di rumah itu dengan tak sopan. Membuang bungkus makanan di lantai hingga membuat asisten rumah tangga itu mendesah karena harus mengulangi pekerjaannya. “Ma! Aku mau hang out sama temen-temen,” ujarnya menyela dua orang yang sedang membicarakan masalah keluarga mereka tanpa rasa hormat. “Sebentar, Sayang.” Helena mengusap kembali lengan Zidanne yang masih duduk termenung di sofa ruang tengah. Dia beranjak dari duduk dan mendekati anak perempuannya itu dengan melotot. “Pelankan suaramu. Dia sedang bersedih. Jangan perlihatkan kalo kamu itu senang hari ini. Sini,” ajak Helena menyingkir dari ruangan itu. Sonia nampak mengerucutkan bibirnya dengan perlakuan sang ibu. Namun, dia terpaksa mengikuti ibunya, demi beberapa lembar uang yang mau dia minta dari wanita itu. “Minta uang berapa?” tanya Helena mengeluarkan dompetnya. “Tiga juta,” sahut Sonia singkat, melirik ke dompet tebal ibunya. Tanpa protes, ibunya mengeluarkan sejumlah uang untuk sang anak yang sangat dia sayangi hingga semua hal dia berikan pada anak itu. Tiga puluh lembar uang merah kini telah berpindah ke tangan Sonia. “Nanti lagi ya, Ma? Habis ini, bikinin kartu kredit. ” Sebuah kecupan di pipi Helena membuatnya bahagia karena dia bisa memberi apa yang diminta sang anak. Usai ketidak adanya Sarah, dia bisa membuatkan kartu kredit untuk dipakai anaknya. Bukan lagi uang tunai. Terdengar bunyi klakson mobil di depan rumah. Teman-teman Sonia telah menunggu di depan. Helena tersenyum senang, menggelengkan kepala melihat wajah Sonia begitu ceria. Dia menyeringai dan berpikir bahwa ini bagian awal dari kehidupan glamour mereka. Sebelumnya, mereka adalah orang susah yang kesulitan mencari makan. Namun sekarang, dia puas sekali menjadi istri seorang pengusaha. Apapun yang dia inginkan bisa terbeli sudah. Helena kembali memasang wajah empati pada sang suami yang masih terdiam duduk di sofa. Kembali mencoba membujuk bahwa keputusan sang suami benar adanya. *** Hari bergulir, senja menjadi petang saat mobil hitam mengkilat milik seorang gadis, salah satu teman Sonia telah siap membawa tiga temannya, bersenang-senang menghabiskan uang mereka seolah tak sulit mendapatkannya kembali. Sonia tampak begitu antusias saat bersama teman-teman yang dia anggap keren itu. “Ke mana kita malam ini?” tanya Sonia pada ketiga teman yang sekarang telah duduk di dalam mobil. Mereka telah berputar di kota sepanjang sore itu, membeli barang-barang tak penting dan hang out di mall sampai petang. “Bersenang-senanglah, kayak biasanya,” sahut Jessy, perempuan bertubuh langsing yang duduk di belakang kemudi. “Iya, tapi ke mana?” tanya Sonia yang penasaran karena teman-temannya selalu memberikan kejutan baginya. Keseruan baru di setiap harinya. “Klub malam,” sahut Leony, yang duduk di samping Sonia. Wajah Sonia berbinar-binar. Dia telah terbiasa dengan kehidupan mewah, mengikuti teman-temannya. “Baiklah,” sahut Sonia. Dia merasa sangat bebas menggunakan harta sang ayah tiri usai mengusir Sarah dari rumah itu. Dia bertekad akan menggunakan uangnya demi menyenangkan dirinya sendiri. Selama hidupnya tak pernah menikmati hidup seenak ini, suka-suka menggunakan uang. Perihnya masa lalu terobati akan hadirnya Zidanne dalam kehidupan ibunya. Di dalam mobil yang dipenuhi oleh suara nyanyian teman-temannya, Sonia menyeringai penuh kemenangan. Dia memiliki kekasih yang tampan, uang banyak, kehidupan di rumah yang menyenangkan karena telah dia kuasai fasilitasnya, juga perut yang selalu kenyang dengan makanan enak. Tinggal menikmati segalanya. Mudah sekali mendapatkan hal itu melalui pernikahan sang ibu dengan pengusaha. Suara dentuman musik sudah terdengar saat mereka berempat memasuki klub. Suara itu masih agak mengganggu telinga Sonia, tapi dia tetap masuk karena yakin akan terbiasa dengan hal itu. Mereka pun masuk dengan kartu dan memesan minuman di dalam. Dari situlah Sonia memiliki ide untuk menjebak Sarah dengan minuman dan obat perangsang. Tempat di mana dia baru beberapa kali masuk dan tercetus ide di benaknya. “Lihat itu!” pekik Veni, salah satu dari ketiga teman Sonia, menunjuk ke pintu masuk. Seorang pria yang sangat tampan memasuki klub malam dengan sangat menawan. Sonia agak mengerutkan dahi melihat tubuh lelaki itu. Namun, dia merasa tak asing dengan wajah lelaki itu. “Siapa lelaki itu?” tanya Sonia pada Veni. “Dia itu Alexander Raymond, pengusaha kelas kakap, masih muda dan kabarnya belum ada seorang wanita pun yang bisa merebut hatinya,” beber Veni. Sonia agaknya terpana dengan wajah tampan yang tak asing, tapi di mana dia pernah melihat lelaki itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD