Pria tampan itu menyita perhatian seluruh pengunjung klub malam. Pria yang paling menawan diantara beberapa lelaki yang berjalan bersamanya menuju ke sebuah ruangan khusus. Bahkan empat perempuan yang duduk di pojok ruangan sampai tak bisa berkomentar jelas saat pandangan mereka mengekori langkah pria itu.
“Tampan sekali,” desis Jessy lirih.
Sonia menenggak minumnya tanpa sadar kala melihat lelaki itu, sampai tak peduli pada pikirannya, di mana dia melihat wajah yang tak asing itu saat menatap pria tampan berkharisma yang sekarang telah memasuki ruangan khususnya.
“Aku mau jadi wanita panggilannya,” gelak Veni memecah kebisuan diantara keempat perempuan itu. Mereke berempat tertawa dengan penuturan Veni, padahal dalam hati Sonia, menyetujui perkataan temannya itu.
“Ngawur kamu, jika bukan artis atau wanita berkelas, Alex tak mungkin menyentuhmu. Bahkan, dia nggak bakal melirikmu,” sahut Leony, menyesap minumannya.
***
Samuel menunduk di hadapan Alex di dalam ruangan VIP klub malam. Wajahnya pucat karena tak berhasil menyelesaikan tugas dari tuannya.
“Tuan Alex, saya tak bisa menemukan siapa gadis ini.”
Samuel meletakkan selembar kertas yang diberikan oleh Alex. Wajah seorang gadis yang ditangkap kamera depan kamar hotelnya. Alex mendengkus. Tak ada gunanya menyuruh lelaki bawahannya, jika dia tak bisa menemukan siapa gadis itu.
“Apa dia bukan warga negara di sini hingga datanya tak bisa diketemukan?” gerutu Alex.
“Maaf, Tuan.”
“Ya sudah, biarkan aku menikmati malam ini. Penat rasanya kepalaku memikirkan hal itu. Keluarlah kalian semua, biarkan aku bersenang-senang,” titah Alex pada para bawahannya.
Mereka semua menurut dan mengangguk, lalu seorang wanita memasuki ruangan khusus itu dengan pakaian minim. Dia memperkenalkan dirinya pada Alex, lalu membantu Alex menuang minuman ke dalam gelas kecil yang tersedia di atas meja.
“Tuan Alex, sungguh kehormatan bagi saya bisa melayani Anda,” ucapnya dengan nada manja.
Wanita yang ternyata seorang artis itu mulai gencar menuang minuman usai pria tampan itu, tapi Alex merasa aneh saat wanita itu menyentuhnya. Dia menepis kasar tangan artis kenamaan yang sudah dibookingnya puluhan juta.
“Pergilah! Bawa semua barangmu keluar! Aku ingin sendirian di sini,” perintah Alex, membuat wanita itu agak kesal tapi mau bagaimana lagi, dia menuruti perintah lelaki itu.
Kepala Alex berdenyut, dia tak habis pikir kenapa sentuhan wanita lain tak lagi membuatnya tertarik seperti biasanya. Masih menari-nari dalam benaknya bagaimana malam itu terjadi dengan gadis yang tak dia ketahui asal-usulnya.
“Kenapa malah gadis itu yang terekam dalam otakku!” geramnya, menenggak lagi minuman yang tersisa di dalam gelas.
***
Sarah mendatangi Tiara petang itu dengan terengah-engah karena dia telah berjalan kaki sejauh beberapa kilometer demi mencari wanita yang mungkin bisa memberinya pekerjaan. Mereka kini berada di depan sebuah cafe dengan nuansa romantic dan terkesan elegan.
“Jadi ini tempat kamu bekerja. Oh ya, siapa nama kamu?” tanya Tiara pada Sarah. Dia merasa tak tega melihat Sarah yang berjalan menyusulnya ke alamat yang tertera di dalam kartu nama.
Sarah masih saja kagum dengan tampilan cafe yang cukup menarik. Nampak cafe itu adalah bangunan yang agaknya cukup terkenal di kota ini. Sarah pun baru tahu semenjak menginjakkan kaki di kotanya itu.
“Sarah, Nyonya.”
Sebenarnya lemas sekali rasanya karena perut belum terisi sama sekali sejak kemarin. Memalukan sampai suara pun memperlihatkan bahwa Sarah belum makan.
“Kamu kelihatan lapar. Sebaiknya kamu makan dulu, Sarah.”
Kedua mata Sarah berbinar mendengarnya. Meski hanya sepiring makanan tapi itulah yang Sarah butuhkan saat ini. Dia tersenyum senang dan mengangguk pada Tiara. Wanita itu nampak memasuki dapur beberapa saat lalu keluar dengan tersenyum pada Sarah.
“Baiklah, kamu bisa makan di sebelah sini. Dapur yang hanya bisa dimasuki oleh para karyawan. Di sana, ada teman-teman karyawan yang lama. Kamu bisa berkenalan dulu dengan mereka. Aku sudah berpesan pada Dara, jika ada hal yang karyawan baru tanyakan bisa dia jawab mengenai pekerjaan. Semoga harimu menyenangkan di sini. Aku mau ada acara, nikmati pekerjaanmu ya,” pesan wanita yang baik hati itu pada Sarah.
“Iya, Nyonya. Terima kasih banyak,” ucap Sarah senang karena setelah ini dia tak perlu takut lagi dengan kelaparan dan kedinginan.
Sarah mulai melangkahkan kaki ke ruangan yang tadi ditunjuk oleh Bunda Tiara. Sebuah dapur, yang hanya karyawan yang bisa memasukinya. Perlahan, agak ragu karena baru pertama kali masuk, dia memutar knop pintu dan melongokkan kepala. Kemudian dia masuk dan melihat ada lima orang yang berada di dalamnya.
“Dia karyawan barunya,” ujar salah satunya, menatap Sarah dengan pandangan yang diartikan tak suka.
Sarah menghela napas. Perasaannya sudah mulai tak enak. Namun, demi mengisi perut, Sarah melangkah maju.
“Perkenalkan, nama saya Sarah. Saya adalah karyawan baru di sini, mohon arahannya.”
Sarah membungkuk, tapi setelah dia berdiri tegak, tak ada juga yang tersenyum padanya. Hanya salah satunya menatap Sarah sinis. Sarah jadi salah tingkah berdiri di sana.
“Kerja, mulai kerja semua!” teriak wanita yang menatap Sarah sinis itu.
Kemudian, bagai kerbau yang dicocok hidungnya, empat orang yang berada di dapur mulai bubar. Tiga orang memakai apron mulai menyalakan kompor, lalu dua orang termasuk wanita sinis itu, keluar dari ruangan, menabrak lengan Sarah hingga dia agak terdorong ke belakang. Rasanya mereka tak menyukai kedatangannya.
Sarah tak menyerah. Walau tak tahu apa pekerjaannya, tapi Sarah tetap mendekati mereka. Tiga orang yang berusia sekitar tiga puluhan sampai empat puluhan tahun itu sedang sibuk mempersiapkan makanan.
“Permisi, maaf Kak. Apa yang bisa saya bantu?” tawar Sarah meski perut melilit, tak ingin dia kehilangan pekerjaan berharga ini.
Salah satu dari ketiganya menatapnya lekat, seperti iba. Dia pun menghentikan pekerjaannya memasak sayur lalu mendekati, membuka masker yang menutup mulut.
“Kamu tanya saja pada Dara, dia itu leader kami, jadi kami pun tak mengerti apa pekerjaanmu,” ujarnya dengan sudut bibir terangkat sedikit, memperlihatkan dua lesung pipinya.
“Oh, baiklah, Kak. Terima kasih,” ucap Sarah membungkukkan badan.
Suara perut Sarah mulai terdengar. Sarah berharap mereka tak mendengarnya. Bergegas dia melangkah keluar dari ruang dapur dan meneguk saliva, takut juga saat melihat wanita tadi dengan badan yang lebih besar darinya sedang berdiri di depan wanita satu lagi yang memegang kasir. Dara berdiri di sampingnya, mengawasi para pengunjung yang datang.
Sarah mencoba memberanikan diri mendekati Dara. Walau wajahnya sangat galak tapi Sarah tetap ingin bekerja di sini, harus dia beranikan diri. Sebenarnya Sarah adalah gadis yang pemalu dan seringkali penakut. Hanya saja sewaktu di luar negeri, dia kebetulan bisa bertemu dengan orang-orang baik, tapi kali ini demi sebuah pekerjaan yang membuatnya bertahan hidup, dia harus dan harus berani.
“Kak,” panggil Sarah pada wanita yang berdiri di sebelah kasir yang nampaknya hanya meliriknya sebentar lalu melanjutkan menggosok kuku-kuku cantiknya, tak perduli.
Dara menoleh dan nampak melengos melihat Sarah. Entah apa salah Sarah, kenapa Dara sepertinya membencinya.
“Kenapa?” tanyanya ketus.
Agak ciut juga nyali Sarah. Namun, dia mengambil napas dalam-dalam dan kemudian mengembuskannya perlahan agar Sarah tetap tenang untuk bertahan di sana.
“Maaf, apa aku boleh tau apa yang bisa kukerjakan di sini?” tanyanya sopan pada Dara dengan senyum manis. Sumpah, baru kali ini Sarah merendahkan diri seperti ini pada orang yang ketus.
“Bego,” sahutnya.
Satu kata itu mampu membuat Sarah down. Kedua matanya menghangat.
‘Tunggu, jangan menangis Sarah, bahkan papamu sudah mengatai jalang pun kamu tak apa-apa, kan?’ batinnya.
Sarah mengambil napas lagi dalam-dalam. Ya, dia harus tau bahwa dunia tak sebaik seperti apa yang dipikirkan.
“Mohon maaf, Kak. Namun, kata Bunda Tiara, aku harus menanyakan apa yang tak kumengerti pada Kakak,” ujarnya, tetap pada kesopanan meski rasa kesal dan sedih menyesak di d**a.
Dara meliriknya dengan tajam, lalu menghela napas kasar.
“Kamu lihat sendiri kan, nggak ada pelayan di sini. Maka kerjaanmu melayani para pengunjung! Kecuali kamu buta, nggak bisa lihat!” bentaknya, membuat Sarah agak mengendikkan bahu karena kaget.
“Baik, Kak Dara.”
“Hei, dari mana kamu tau namaku?” bentaknya lagi.
Sarah sampai bertanya dalam hati, apa wanita itu memang tak bisa berbicara dengan pelan. Sebenarnya dia ingin bilang yang sebenarnya tapi Sarah takut jika kakak tadi yang menyuruhnya menanyakan pada Dara akan dimarahi oleh Dara juga, maka Sarah memilih untuk berkilah saja.
“Dari name tag Kakak,” sahut Sarah melirik ke d**a wanita itu. Dara nampak berdecak.
Sementara Sarah lihat si penjaga kasir yang nampaknya sangat cuek, memakai earphone di kedua telinganya dengan mengikir kuku-kuku merahnya. Sarah menghela napas, baru hari pertama rasanya sudah tak betah seperti ini.
“Itu ada meja kotor, bersihkan!” Dara melemparkan serbet pada Sarah.
“Ya, Kak.” Sarah hanya mengambil serbet yang telah jatuh di lantai, lalu bergegas berjalan ke arah meja di sudut yang baru saja ditinggalkan oleh pengunjung.