Berkebalikan

1335 Words
Malam itu, meski bekerja paruh waktu, tapi rasanya lelah sekali. Sarah yang memaksakan diri untuk bekerja dengan perut lapar, merasa sisa energi yang dia miliki telah terkuras habis. Sedikit pun tak diberi kesempatan untuk mendapatkan makanan oleh Dara. Sarah tak mengerti kenapa, mungkin karena dia adalah karyawan baru. Namun, apakah mereka tak menaruh belas kasihan padanya sama sekali? “Di sini kamarmu,” ujar salah seorang karyawan dapur yang membantunya menunjukkan kamar di luar restoran yang disediakan bagi karyawan yang rumahnya jauh. Dia memberikan satu kunci berbandul logo cafe, menunjukkan bahwa ruangan-ruangan tersebut adalah milik cafe sebagai fasilitas yang diberikan untuk para karyawannya. “Makasih, Kak.” Meski situasi bagaimana pun, Sarah membungkukkan badan lelahnya sebagai rasa terima kasih pada wanita itu. Dia melihat wanita itu masih berdiri di depannya, lalu tiba-tiba teringat sesuatu. “Aku punya satu bungkus mie. Kamu mau?” tawarnya. Sarah melihat, tampaknya dia tak seperti Dara. Ada iba di kilat matanya melihat Sarah. Dengan malu-malu tapi rasa lapar mendesak Sarah untuk menerima tawaran wanita berambut pendek itu, dia menganggukkan kepala. Lumayan satu bungkus mie instan yang dulunya jarang sekali Sarah makan, sekarang akan menjadi pengisi perut kosongnya. Tak ada lagi gengsi, yang penting perut terisi. "Ya Tuhan, harus seperti inikah aku?" Wanita itu merogoh tasnya lalu mengeluarkan satu bungkusan berwarna coklat dan satu bungkus mie instant dan menyerahkannya pada Sarah. “Lho, ini bungkusan apa, Kak? Kan tadi katanya Cuma mie?” tanya Sarah sebelum benar-benar menerimanya, takut jika keliru. Lirih terdengar cacing-cacing di dalam perutnya berbunyi. “Itu nasi, pasti kamu butuh itu buat makan. Di dalam ada kompor yang disediakan buat para karyawan. Kamu bisa pake itu buat masak mie,” pesan wanita itu, membuat Sarah terbelalak mendengarnya. “Baik, Kak. Makasih banyak!” ucap Sarah membungkuk dalam. Itu hanyalah sebungkus nasi dan mie, tapi sangat berarti untuknya. "Apakah pengemis di jalanan itu merasakan kelaparan seperti ini hingga gengsi mereka terkikis habis?" “Sama-sama. Ingat untuk merahasiakan apa yang kuberikan padamu. Kalo gitu, aku pulang dulu ya. Oh ya, namaku Irma,” ucapnya sambil pergi meninggalkan Sarah di depan pintu ruang kost. “Makasih Kak Irma! Aku Sarah.” “Baik, Sa-rah,” sahut Irma mengeja nama teman barunya dan berbalik pergi. Sarah senang sekali menenteng bungkusan yang masih hangat. Tak dia kira masih ada orang yang perhatian padanya. Dia merasa agak nyaman bekerja di rumah makan milik Bunda. Ada teman yang memperlakukannya begitu baik, meski semua orang memperlakukannya dengan rasa benci. Segera Sarah membuka pintu kamar kost tanpa melihat dalamnya yang masih berdebu. Dia mengambil bungkusan nasi hangat itu kemudian membukanya. Terbelalak lagi saat melihat nasi dengan lauk lengkap seperti yang dimakan oleh orang-orang di restoran tadi. Sarah terharu, rasanya sangat bersyukur karena Tuhan masih memberikan orang yang mau perduli padanya, selain Tiara. “Terima kasih ya Tuhan, ini semua karena kemurahan-Mu.” Sarah memanjatkan puji syukur pada Tuhan Sang Pemilik alam semesta ini karena telah bermurah hati mengirim seseorang untuk memberinya rejeki dari restoran. Dia berjanji tak akan bilang pada Dara maupun yang lain jika Irma membawakannya sebungkus nasi dan lauk untuk mengisi perut kosongnya seharian. Tak sabar, Sarah mulai menyuap satu suap tangan setelah mencuci tangannya sampai bersih di kamar mandi. Rasanya lezat sekali! Pantas saja cafe itu ramai pengunjung. Makanannya sangat enak sekali. Para karyawan pun gemuk-gemuk, mereka pasti bisa makan enak di sana. Tanpa menunggu lama, nasi satu bungkus itu habis tak bersisa. Sarah kenyang sekali. Sarah merasa haus belum minum. Usai membuang bungkusan dan mencuci tangan, baru dia merebus air karena ada sebuah cerek dan panci kecil serta satu set alat makan yang sepertinya memang disediakan untuk para karyawan. Sambil menunggu air mendidih, dia membersihkan ruangan yang nampak bersih itu dan hanya ada sedikit debu. Sarah mengganti sprei dengan sprei yang ada di dalam lemari. Lalu membersihkan tubuhnya sambil mencuci sprei lama. Rasa lelah tertutup oleh rasa syukur karena dia bisa mendapatkan pekerjaan dan tempat untuk berlindung dari hujan dan panas meski tak seluas kamarnya di rumah. Ya, kamarnya di rumah? Sarah menghela napas pendek mengingat kamarnya. Kamar yang telah ditempati oleh Sonia dan digunakan untuk berbuat tak senonoh dengan Mike. “Sudahlah, aku nggak ingin lagi mengingat mereka. aku lebih bersyukur di sini. Mungkin Tuhan mengirimku ke sini agar aku terhindar dari rumah yang akan membuatku gila itu.” *** Sonia pulang dengan agak sempoyongan memasuki rumahnya. Helena segera menarik lengan Sonia saat mencium bau alkohol yang menyengat dari tubuh gadis itu. “Kamu dari mana?” selidik Helena mendesis di telinga sang anak, sambil sesekali menatap ke arah kamarnya, takut jika Zidanne akan keluar dan mengetahui keadaan Sonia. “Minum, Ma,” sahut Sonia tanpa merasa bersalah. “Anak nakal, jangan minum terlalu banyak. Kalo kamu mabuk, bisa-bisa papa tirimu berpikiran jelek! Jangan pernah lagi memperlihatkan keburukan di hadapannya,” bentak Helena, menarik lengan anaknya ke belakang. “Guyur tubuhmu, ganti pakaian!” titah Helena mendorong anak perempuannya ke dalam kamar mandi. “Iya, iya, Ma! Tadi itu aku lihat pangeran—“ “Udah, cepetan bersihkan tubuhmu lalu tidur!” gertak Helena kesal mendengar ocehan anak perempuannya. Malam itu, Helena merasa aman karena melihat Zidanne sudah mendengkur dan Sonia juga telah masuk ke dalam kamarnya. Dia pun merebahkan diri. Tersenyum senang, merasa malam ini tidurnya akan sangat nyenyak. Benar saja, Helena mendengkur keras malam itu. *** Paginya, di ruangan dengan sebuah meja besar berisi banyak hidangan di rumah Zidanne. tiga orang sedang menikmati sarapan. “Bik, ambilin air putih!” bentak Sonia pada asisten rumah tangga saat seluruh keluarga sedang menikmati hidangan lengkap dan enak. Sonia sampai menghabiskan dua piring gulai kambing yang disediakan oleh sang asisten rumah tangga. Mulutnya mengecap saat menikmati hidangan makan pagi yang lengkap itu. Zidanne merasa ada yang membuat hatinya kosong melihat kursi yang seharusnya ditempati oleh Sarah di samping Sonia. Baru beberapa hari kursi itu lengkap dengan anggota keluarga, sekarang telah kosong lagi. Sonia menyadari hal itu. Dia melirik ke arah ibunya yang juga nampak tak bersalah menikmati segala macam makanan yang biasa mereka makan dan nikmati itu, tapi sekarang rasanya sangat nikmat karena si pengganggu telah diusir dari rumah, tinggal mereka akan menguasai seluruh harta Zidanne. “Untung ya, Sarah udah pergi. Bisa-bisa dia mengotori rumah ini dengan membawa lelaki yang tidak dikenal ke kamar,” celetuk Helena. “Iya, makanya itu Nia kan tau siapa Sarah waktu masih di bangku SMU, dia ganjen sama lelaki,” imbuh Sonia, melirik ke arah Zidanne yang nampaknya kembali kesal dengan apa yang dia lihat di layar ponsel, anak gadisnya mengetuk pintu hotel dan dia yakin bahwa Sarah tidur dengan pria asing. “Sudah, aku mau kerja!” Zidanne membersihkan sisa makanan di sisi bibirnya dengan serbet makan lalu menghempaskannya ke atas meja, kemudian dia berjalan ke kamarnya. Lelah sekali memikirkan anak gadisnya itu. Dia sendiri tak menyangka bahwa sang anak akan mencoreng wajahnya dengan aib. Padahal dia pikir anak itu akan menjadi kebanggaannya setelah pulang dari luar negeri. Sonia menatap wajah ibunya dengan seringai keberhasilan membuat ayah tirinya kembali marah pada anak kandungnya sendiri. “Gimana aktingku, Ma?” tanya Sonia, berdesis melirik ke pintu ruang makan. “Cocok dapat piala Oscar,” kekeh Nyonya Helena mengacungkan ibu jari ke arah anak perempuannya itu. “Mama harus menepati janji kalo aku berhasil mengusir Sarah, Mama akan membelikanku mobil baru,” tagih Sonia. “Tenang, minggu depan mobil barumu sudah akan dikirim. Jangan ribut, nanti ketahuan. Minggu depan kamu kan ulang tahun, nah itu kesempatan buat Mama untuk beralasan pada ayah tirimu untuk membelikanmu hadiah,” ujar Helena mencolek hidung anak kesayangannya. “Benarkah, Ma?? Yes, aku bisa pamer ke seluruh temanku,” desis Sonia, mengepalkan tangan dan menarik ke bawah. “Kamu juga jangan lupa selesaikan kuliahmu, malu-maluin aja, kuliah udah lima tahun belum juga lulus!” omel Helen, mengingat anaknya itu memang malas sekali dan tak kunjung menyelesaikan pendidikannya. “Ngapain kuliah cepet-cepet, Ma? Biar cepet kerja? Nggak kerja aja aku udah bisa menikmati hidup enak gini!” ucap Sonia dengan congkaknya kembali menarik piring berisi empal daging dan melahapnya tanpa nasi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD