Bertemu di Rumah Makan

1085 Words
Mentari belum terbit. Hawa dingin menelusup dari celah-celah jendela kala Sarah telah membuka mata. Rasanya nyaman sekali bisa tidur di kamar dengan perut yang kenyang. Turun dari tempat tidur sempit menuju ke kamar mandi. Sarah membuka tirai kamar agar cahaya masuk ke dalam ruangan, memberikan penerangan kala mentari terbit malu-malu setengah jam setelah dia menata tempat tidur. Setelah itu, Sarah harus mandi dengan air dingin yang tak biasa dirasakan di rumah ataupun di apartemennya yang cukup mewah itu di luar negeri. Sebuah kompor listrik dia nyalakan dengan mudah karena di rumah, dia terbiasa memakai alat ini. Sarah tersenyum mengingat Irma yang sangat baik memberi mie instant yang sedang dipegangnya sekarang ini. Cukup mengenyangkan untuk makan pagi. Meski hanya air putih hangat yang menemaninya, tapi Sarah sudah sangat sangat bersyukur akan itu. Mungkin kemiskinan akan membuat manusia lebih banyak bersyukur dari pada hidup dengan harta melimpah karena mendapatkan makanan sedikit saja sudah cukup mengenyangkan perut. “Aku siap untuk hari ini,” ucapnya, menyemangati diri sendiri usai menyantap satu piring mie yang cukup untuk sarapannya. Sarah membersihkan ruangan setelah dia rasa semalam belum maksimal membersihkannya. Pagi itu dia menghabiskan waktu di dalam ruangan sampai siang saat jam bekerja karyawan cafe. Dengan memakai baju yang diberikan oleh Tiara sebagai kaus pelayan cafe, tanpa bedak dan skin care yang dulu biasa dia pakai, Sarah hanya mengikat rambut panjangnya agar tak menghalangi pekerjaan. Dia sadar bahwa bekerja di cafe harus bersih, sehelai rambut akan sangat mengganggu pelanggan. Sarah mengumpulkan semangatnya menuju ke cafe di seberang deretan kost. Ternyata, di sebelah kamar kostnya adalah kamar wanita penjaga kasir. Dia bersamaan dengan Sarah, dengan mengulum sebuah permen lolipop mengunci pintu tanpa menatap sedikitpun pada Sarah. Masih saja dengan sebuah earphone di kedua telinganya. Bibir Sarah baru terbuka akan menyapa, tapi wanita itu begitu saja meninggalkannya tanpa melirik sama sekali. Sarah mendekik, kecewa, tapi biarlah. Dia tak akan mengubah niat untuk bekerja di cafe itu. “Kamu, nggak bisa datang lebih awal?” sambut Dara yang telah berdiri di depan pintu cafe siang itu, menatap tajam ke arah Sarah. “M-Maaf, Kak Dara. Saya udah datang tepat waktu,” tunjuk Sarah memberanikan diri ke arah jam di dinding. Dara melirik ke jam dinding lalu beralih pandangan lagi ke Sarah yang sekarang memucat, nampak kasihan. “Hei, bloon kamu. Iya, cafe ini memang bukanya jam tiga, tapi tugasmu apa?? Bersihkan lantai rumah makan, mengelap meja dan kursi, masih menatanya! Jadi kamu harus datang paling awal dari yang lain!” bentak Dara, melipat tangan. Sarah menautkan kedua alisnya. Dia merasa semalam telah membersihkan ruangan. “Kak, tapi semalam sudah saya—“ “Lihat saja ke dalam!” bentak Dara, memberi celah untuk Sarah masuk ke dalam ruangan. Dia memperhatikan penampilan Sarah dari atas ke bawah. Seragam rumah makan itu sangat pas di tubuh Sarah dan itu pun membuat Dara melengos. Sarah tercengang melihat suasana ruangan. Terlihat morat-marit tak karuan, padahal dia ingat kalau semalam dia telah menata semuanya dan memastikan ruangan itu bersih sebelum dia tinggalkan. Dalam hati Sarah rasanya masygul. Dia mengelus d**a, sabar akan hal itu. Dia tak mau berburuk sangka menuduh satu orang, meski mengira pasti ada seseorang yang sengaja melakukan itu demi mengerjainya. “Baik, akan saya bereskan. Maafkan saya, Kak Dara,” ucap Sarah lalu langsung berjalan ke arah di mana alat kebersihan disimpan dan dia dengan sigap membersihkan semua itu sebelum rumah makan dibuka. Dara menaikkan sudut bibirnya sinis, menatap Sarah yang berupaya menggosok lantai yang penuh dengan kuah. Hingga satu jam, Sarah bisa menata ruangan itu meski dengan terengah-engah dikejar waktu. *** Zidanne sedang sibuk dengan benda pipih kesayangannya yang sekarang seringkali dia lihat, mengharap orang yang mau bekerjasama dengannya. Benar saja, harapannya menjadi kenyataan saat seseorang menghubunginya. “Pak Zidanne, kita bisa ketemu di luar untuk membicarakan kerjasama perusahaan kita?” tanya salah satu klien Zidanne di telepon. Pria paruh baya itu agaknya semringah dengan ajakan seorang pengusaha untuk membangkitkan kembali perusahaannya yang sempat terpuruk akibat berita tentang anaknya yang berbuat tak senonoh di hotel. “Baik, baik Pak.” “Bagaimana kalau kita bertemu di cafe? Cafe yang terkenal di kota ini, Pak? Pinggir kota, dengan begitu tempatnya berada di tengah-tengah. Jadi adil bagi kita,” ujar pria itu. “Baik, boleh, Pak. Setuju saya,” sahut Zidanne tanpa pertimbangan dua kali. Kerjasama yang menguntungkan, pikir Zidanne usai meletakkan gagang telepon di ruang kerjanya. Dia bersiap untuk berangkat menemui calon mitra kerjanya itu dengan semangat demi membangkitkan lagi perusahaannya. *** Dua orang lelaki berjabat tangan di sebuah cafe sore itu, lalu terlibat pembicaraan yang seru di sana tentang usaha-usaha mereka. Rumor tentang anak gadis Zidanne nampaknya masih terdengar, tapi kepercayaan masih ada di sekitaran. Pria itu sangat senang mendapatkan rekan kerja yang begitu antusias mengajaknya bekerjasama. Keceriaan lelaki paruh baya itu bertolak belakang dengan raut ragu di wajah seorang pelayan yang mendekap daftar menu dan buku pesanan di belakang mereka. Dara mengerutkan dahi kesal dengan Sarah yang lama sekali mematung di dekatnya untuk mendekati dua pria paruh baya itu. “Cepetan! Nanti kita dikomplain jelek sama pelanggan!” desisnya di telinga Sarah. Sarah yang termangu menatap wajah sang ayah, segera tersadar. Dalam hatinya sekarang berdegup kencang. Dia rindu akan sang ayah, tapi ragu untuk mendekati lelaki yang dia yakin sedang membicarakan soal bisnis dengan rekan kerjanya itu di rumah makan tempat dia bekerja, siang itu. “B-Baik, Kak. Ada masker?” tanya Sarah. “Apa? Kenapa kamu harus pakai masker? Kamu kenal sama pengusaha-pengusaha itu?? Pelayan aja mau pake masker! Buat apa?” gerutu Dara kesal. “Menjaga kebersihan cafe, Kak. Biar higienis, seperti yang dipromosikan di pamflet-pamflet jalanan soal tempat ini,” sahut Sarah, logis. Dara melipat tangan, sedikit mendengkus mendengar penuturan Sarah. Ingin menyangkal, tapi benar juga apa yang dikatakan Sarah. Dia meraih box masker, lalu menyerahkannya pada wanita itu. “Nih! Lagian, kenapa kamu nggak dari tadi pakainya?? Bodoh,” maki Dara. Sarah menerima selembar masker itu sambil mendesah. Bertanya-tanya dalam hati apa wanita itu tak diajari omongan yang baik dalam keluarganya? Itu karena Dara selalu berkata buruk padanya. Kembali Sarah ingat jika sekarang ini ayahnya sedang berada di dalam cafe. Dengan jantung yang berdegup kencang, dia lalu berjalan ke arah sang ayah dengan menutup wajahnya. “Silakan, Tuan. Mau pesan apa?” tanyanya sopan. Zidanne yang mendengar suara tak asing itu, menoleh pada Sarah. Namun, wanita itu menunduk dan tak menatap sang ayah. Jika saja kedua orang itu mendengar, pasti mereka akan kaget dengan dentum jantungnya saat melihat sang ayah, bukan lagi kerinduan melainkan rasa takut bertemu dengan lelaki itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD