Ajakan Sahabat

1072 Words
Zidanne mengerutkan dahinya memperhatikan anak perempuan yang menunduk itu. Dia berkali menatap ke arah si klien lalu kembali ke pelayan wanita yang tak asing di matanya. “Pak Zidanne, ada apa?” tanya si klien bingung melihat menu yang hanya dipegang oleh partnernya tanpa mulai memesan. Zidanne tampak kikuk ditanya oleh kliennya itu, lalu tersenyum seperti dipaksakan. “Tidak apa-apa, Pak. Saya pesan kopi hitam, Mbak,” ucapnya menatap wanita yang mengangguk dan menuliskan apa yang dipesan olehnya. Sang klien hanya menggelengkan kepala melihat pria di depannya. Lalu menyebutkan apa yang ingin dia minum kemudian menyerahkan pada Sarah. Sarah yang sedari tadi mematung menunggu, segera membawa buku pesanan ke belakang. Beberapa jam kemudian, saat Zidanne berjalan ke toilet, dia berpapasan dengan Sarah. Kembali perempuan itu menunduk tak berani menatap wajah ayahnya. Zidanne berdeham, membuat Sarah berhenti tanpa menoleh. “Aku tahu kamu Sarah.” Mati-matian Sarah menahan rasa sedih dan kecewa yang kembali menguar dalam hati karena teringat akan peristiwa di rumahnya waktu itu. Sekuatnya mengangkat kepala dan menahan sesak di d**a. “Bagaimana rasanya bekerja keras seperti ini? Ini semua bukan salahku, tapi semua ini karena perbuatan burukmu sendiri.” Sarah tak bisa lagi membendung air mata yang mendesak keluar dari matanya yang menghangat. Wajahnya masih ditutup dengan masker, tapi matanya tak mampu membohongi. “Oh ya, aku sedang berusaha membangun perusahaanku kembali. Kamu lihat sendiri tadi aku bertemu dengan seorang pengusaha yang akan bekerjasama denganku. Sekali lagi, ini semua karenamu dan aku minta kamu jangan memperlihatkan bahwa kamu adalah anakku,” desis Zidanne begitu menyayat hati Sarah. Sarah menarik napas, mencoba meredamkan emosi yang sedang merajai dirinya saat ini. Dia mengangguk-angguk tanpa menatap sang ayah. “Aku... aku sudah berusaha menutup wajahku agar semua orang tidak tahu siapa aku. Tenang saja, klien Anda tidak akan tahu dan satu hal... aku akan ingat kata-kata yang baru saja Anda ucapkan itu, mulai saat ini hingga selamanya... Tuan Zidanne,” ucap Sarah terbata, tapi berusaha untuk tegas mengatakannya. Setelah itu, Zidanne berjalan kembali ke toilet dengan tenang. Dia membenarkan ucapan istrinya yang mengatakan bahwa tak perlu memperhitungkan Sarah di dalam keluarga agar perusahaannya tidak hancur. Tak ingin usaha yang dia rintis selama tiga puluh tahun berakhir sia-sia hanya karena kelakuan buruk sang anak. Apalagi sekarang sudah ada ganti, yaitu Sonia, anak yang bergaul dengan teman-teman yang baik, kuliah pun jelas pulang dan perginya. Jika dibandingkan dengan Sarah yang tidak bisa dia lihat secara langsung bagaimana kuliahnya di luar negeri. Ternyata pulang-pulang malah jadi sampah keluarga dengan pergaulan bebasnya di mata Zidanne. Racun dari Helena yang dibubuhkan ke otak Zidanne tampaknya sangat berpengaruh. Zidanne yang keras bisa sangat membenci Sarah. Sarah menarik napas panjangnya lalu melanjutkan langkah. Merasa perjuangannya masihlah panjang. Dia tak ingin lagi mengingat omongan Zidanne tadi meski semua itu mendesak untuk menari-nari di benaknya. “Cantik, siapa namamu?” goda seorang lelaki yang sedang dilayani oleh Sarah, tepat di meja sebelah Zidanne. Sarah hanya menepis tangan beberapa lelaki yang duduk dengan tertawa menggodanya. Ini ke sekian kalinya dia mendapat perlakuan yang tidak senonoh dari pengunjung. Namun, harus bagaimana lagi, dia butuh pekerjaan. Sarah hanya menghindar dari tangan-tangan jahil beberapa pengunjung cafe. “Jual mahal, bagaimana kalo kita pesan kamar?” tanya salah satu dari keempat lelaki yang menjijikkan itu. Sarah hanya diam, menunggu dengan hati yang meradang. Sementara Zidanne hanya memperhatikannya, menambah kebencian tentang anaknya. Dia berpikir, bahwa Sarah memang anak perempuan yang murahan karena mau bekerja di cafe dengan diperlakukan tidak senonoh oleh beberapa pengunjung lelaki. Sarah sempat melihat tatapan sinis sang ayah padanya. Tak usah ditanya bagaimana perasaannya saat ini. Kesal dan sedih dengan sikap ayah yang dulu menjadi cinta pertama bagi seorang anak perempuannya. Namun, dengan banyaknya pengunjung, dia berhasil menghalau pikiran itu pergi hingga ayahnya dan sang klien pergi dari cafe itu. *** Alex sedang duduk di belakang kemudi mobilnya, merasa sangat kesal petang itu. Moodnya tiba-tiba saja hancur ketika rapat di kantor tadi. Entah kenapa bayang-bayang wanita yang dia tiduri di hotel itu seolah memenuhi kepalanya hingga tak mampu berpikir apa-apa. “Kenapa tidak ada yang bisa menemukan wanita itu?” gumam Alex memukul kemudi. Pria itu menepikan mobil lalu menyugar rambutnya, mencoba menenangkan diri dengan perasaan kalut. Tak habis pikir di mana keberadaan wanita berambut lurus yang sekarang sangat mengganggunya. Kedua mata bening wanita itu membayangi pikirannya. Antara tidak tega dengan rasa yang entah, tak bisa digambarkan oleh Alex sendiri. Denting ponsel berbunyi. Alex mengambil benda pipih itu dari atas dashboard mobilnya lalu membaca pesan masuk dari seorang sahabatnya, Devan. Pria itu mengajaknya ke sebuah cafe, bertemu untuk sekadar berbincang karena telah lama mereka tidak bertemu. Alex mengiyakan pesan itu, lalu melajukan mobilnya ke arah yang dimaksud. Sebuah cafe yang cukup terkenal di pinggiran kota. Tempat itu menjadi tempat biasa dia menghabiskan waktu dengan sahabatnya itu kala senggang dulu. Lima belas menit kemudian, Alex menepikan mobilnya di parkiran cafe yang sudah beberapa bulan tida dia kunjungi karena kesibukannya. Dia meraih lagi ponsel lalu memberi kabar pada Devan bahwa dia sudah sampai di tempat biasa mereka bertemu. “Hai, Lex!” Sebuah mobil dengan kaca terbuka berhenti tepat di samping mobil Alex yang telah rapi terparkir. Senyum mengembang di wajah pria itu. Alex pun menyambutnya dengan wajah semringah. Kedua pria tampan itu turun dari mobil masing-masing dan saling menjabat tangan dengan erat seperti biasanya. “Tumben nggak sibuk, Lex?” sembur Devan, menepuk lengan sahabatnya yang seringkali menolak diajak bertemu. “Iya, lagi banyak pikiran.” Alex dan Devan berjalan masuk ke cafe itu, lalu memilih tempat duduk yang ada di sudut, tempat biasa mereka berbincang. “Pikiran?” gelak Devan. “Apa sih pikiranmu? Kerjaan? Selama ini apa-apa tinggal nyuruh juga! Jangan bilang kalo kamu lagi kesengsem sama perempuan,” imbuh Devan lagi, berkelakar. Keduanya menarik perhatian beberapa wanita yang duduk di dalam cafe. Beberapa berbisik-bisik tentang penampilan kedua lelaki yang keren itu. Wajah mereka pun tampan dan tak sedikit perempuan yang tertarik untuk sekadar menatap, memuaskan penglihatan. “Ada hal yang bikin aku terganggu. Satu hal sih sebenarnya, Van. Oh ya, gimana kerjaanmu? Lancar?” tanya Alex mengalihkan pembicaraan. Devan tersenyum dan senyumnya menyiratkan sebuah kesenangan atas pekerjaannya. “Aku ditunjuk jadi juri pertandingan memasak di salah satu channel televisi, Lex. Sebentar lagi aku bakal sibuk di dunia pertelevisian,” kekeh Devan dengan gaya congkak, menepuk dadanya. “Belagu, kamu. By the way, ini pelayannya mana sih?” Alex mengangkat kepalanya, mencari seorang berbaju seragam cafe dengan celemek seperti biasanya, begitu juga dengan Devan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD