Terdengar suara langkah kaki mendekat ke hadapan dua lelaki tampan itu dengan rasa ragu. Wanita itu masih memakai masker untuk menutupi wajahnya. Tak ingin lagi orang akan mengenali dan memperburuk nama baik ayahnya lagi, terutama jika orang-orang yang mengenali sang ayah dan dirinya mengetahui bahwa Sarah hanyalah seorang pelayan di sebuah cafe, meski tempatnya legend dan iconic di kota itu.
Namun, Sarah tidak tahu bahwa sekarang yang sedang dia layani adalah seseorang yang penting bagi hidupnya.
“Maaf, Tuan-tuan. Silakan memesan makan dan—“
Tenggorokan Sarah tercekat saat dia menatap wajah salah satu lelaki yang duduk di sudut cafe, yang menjadi pusat perhatian para pengunjung perempuan itu. Rasanya mendadak tak mampu mengeluarkan suara. Tangan dan kakinya menjadi dingin dan gemetaran. Sarah membalikkan badan lalu berlari ke dalam lagi, meninggalkan meja di sudut cafe dengan dua lelaki tampan. Tentu saja hal itu menyebabkan Alex dan Devan saling berpandangan. Alex belum melihat wajah pelayan yang baru saja mendatangi meja mereka. Dia mengangkat bahu saat Devan bertanya mengapa pelayan itu lari meninggalkan mereka begitu saja.
“Mungkin dia ingin ke toilet.”
Hanya itu yang Alex katakan dan tak mempermasalahkannya. Dia memanggil ulang seorang perempuan yang sedang berdiri di samping kasir, mengerutkan dahi berwajah geram saat melirik Sarah yang tiba-tiba masuk ke dalam meninggalkan pengunjung dengan tidak sopan.
Dara mendatangi meja Alex dan Devan dengan tergesa meski hatinya jengkel, memendam rasa marah pada Sarah karena telah abai pada dua pengunjung cafe yang lumayan menyita perhatian itu. Dengan memasang wajah ramah, Dera meminta maaf pada keduanya.
“Maafkan pelayan kami, Tuan-tuan. Dia itu anak baru, jadi belum tahu bagaimana sopan santun saat akan meninggalkan pelanggan,” tutur Dara membungkukkan badan sebagai permohonan yang tulus. Namun, dalam hati dia mengumpati Sarah dengan berbagai umpatan yang tak pantas.
“Sudahlah, lain kali ajari pelayan itu dengan benar,” sahut Devan mengibaskan tangan, sementara Alex tampak membaca menu, tak memperdulikan omongan Dara.
“Baik. Anda ingin memesan apa, Tuan-tuan?” tanya Dara masih dengan suara yang sopan mengeluarkan satu buku pesanan yang ada di sakunya, dengan pulpen di tangan kanan, bersiap untuk mencatat pesanan dua orang lelaki itu. Mata Dara tak henti menatap keduanya, diam-diam menelusuri wajah para lelaki itu dengan pandangan kagum. Dalam hatinya dia mengatai Sarah bodoh karena telah membuang kesempatan untuk berdekatan dengan dua lelaki itu.
“Espresso dan Crepes Pancake,” pinta Alex sembari menutup menu.
Dara tersentak memegang kembali pulpennya dengan benar saat mendengar suara Alex yang sebenarnya bernada normal, tapi karena wanita itu terlalu asyik mengagumi wajah keduanya, jadi terasa mengejutkan.
“B-Baik, Tuan,” sahutnya menulis apa yang dikatakan oleh Alex.
“Aku Vanilla Latte dan Rib Eye Steak dengan tingkat kematangan medium,” ujar Devan penuh penekanan seolah jika kematangan yang dia inginkan tidak terpenuhi, maka habislah riwayat wanita yang melayaninya.
Dara meringis dan segera mencatat pesanan Devan.
“Itu saja? Baik, Tuan-tuan. Mohon menunggu sebentar,” ucapnya membungkuk lalu berbalik menuju ke dapur untuk menunjukkan menu yang dipesan oleh kedua pria tampan itu pada barista dan pelayan lain.
Sekarang, tujuan Dara selanjutnya mencari keberadaan Sarah. Dia tampak berdiri di balik pintu, menunduk sambil meremas kedua telapak tangannya. Walau tertutup oleh masker, tapi Dara bisa menangkap kecemasan di mata Sarah. Namun begitu, tak menyurutkan kejengkelan Dara pada Sarah. Dia tetap berjalan mendekati wanita itu.
“Heh, kamu itu tahu sopan santun nggak sih! Gimana bisa kamu tiba-tiba pergi saat melayani pengunjung? Dasar kurang ajar!”
Tangan Dara ringan sekali menoyor kepala Sarah hingga wanita itu agak terhuyung, karena refleknya tak siap menahan dorongan tangan Dara di kepalanya dengan tiba-tiba.
“Maaf, Kak Dara, aku tadi tiba-tiba sakit perut,” kilah Sarah. Padahal dia mati-matian menahan degup jantungnya yang berdentum kembali bahkan lebih dahsyat ketimbang saat kedatangan sang ayah. Sarah ingat siapa pria itu. Wajah yang menidurinya dalam semalam dan membuat kekacauan dalam hidupnya. Dia benci sekali pada lelaki itu.
“Udah bodoh, sakit-sakitan lagi,” omel Dara, melipat tangannya dan menatap Sarah dengan sinis. Bola matanya menelusuri tubuh Sarah dari wajah sampai kaki. Sebenarnya dia iri akan tubuh ideal Sarah. Berbeda dengan tubuhnya yang agak gemuk dan tak bisa menurunkan walau berbagai macam diet dia lakukan.
“Maaf, Kak.”
Para karyawan di dapur melirik ke arah Sarah dengan rasa iba. Mereka jarang mendapati kesalahan dari Sarah selama bekerja dan tampak juga jika Sarah sangat berusaha maksimal dalam pekerjaannya meski hanya sebagai pelayan. Mereka tahu sifat Dara yang selalu ingin menyalahkan pelayan baru, apalagi penampilannya lebih dari Dara.
“Maaf, maaf. Ngomong maaf sih gampang! Apa semuanya selesai dengan kata maaf?” bentak Dara yang terdengar masih saja kesal.
Sarah hanya terdiam dalam situasi itu. Tidak ada yang mengerti apa yang terjadi pada Sarah hingga dia memilih untuk berlari masuk dengan napas tak teratur langsung ke kamar mandi dan membasuh wajahnya dengan air dingin. Para pekerja dapur, termasuk Irma yang sempat memanggilnya di depan pintu kamar mandi, mengira wanita itu memang sedang sakit perut.
“Kamu bawa pesanan dua lelaki tampan itu sekarang. Antarkan ke meja mereka!” titah Dara yang melihat kode dari barista bahwa kopi kedua lelaki itu telah selesai dia buat. Begitu juga dengan makanan. Pekerja dapur telah selesai membuatkan pesanan.
“Baik, baik, Kak,” sahut Sarah lirih, menyanggupi meski dia harus menata jantungnya yang seolah diingatkan kembali untuk bertemu dengan pria tadi.
Sarah memegang nampan yang telah disiapkan, lalu mulai berjalan ke pintu yang menghubungkan dapur dengan jalan ke depan di mana para pengunjung sedang menikmati alunan musik dari penyanyi cafe.
“Jangan senang dulu. Kamu kira bisa bebas dengan kata maaf doang?” tukas Dara menatap punggung Sarah yang bergerak menjauh.
Sarah berhenti sejenak, menghirup napas dalam-dalam karena hatinya sedang porak poranda sekarang ini. Terlebih lagi dia tak tahu apa yang akan Dara berikan padanya.
“Ada hukuman buatmu, khusus aku berikan nanti,” lanjut Dara dengan senyum sinisnya.
Sarah mendengar lalu mengembuskan napas dengan berat. Dia melanjutkan langkah. Hukuman dari Dara bisa dia pikirkan nanti. Sekarang ini, dia mengatur bagaimana agar pria itu tak menatapnya saat meletakkan pesanan di atas meja.
Sarah mengeratkan tangan yang menggenggam sisi nampan. Keringat dingin mulai membasahi dahi dan punggung saat langkahnya mulai mendekat ke arah meja di sudut. Dia melihat dari belakang, dua pria yang tampak saling berkelakar, asyik dengan obrolan mereka. Sarah berharap kedatangannya tak mengganggu obrolan mereka hingga pria itu mengabaikan dirinya. Itu saja keinginan Sarah saat ini.