Bab 2: Di Antara Debu Perpustakaan dan Aroma Kopi Pahit

1644 Words
Pagi datang dengan cara yang kasar. Sinar matahari Oktober menerobos celah gorden tipis kamar kos, menusuk kelopak mata Hani yang bengkak. Untuk sesaat—hanya sepersekian detik—Hani lupa. Ia mengira akan bangun di atas kasur king size empuk, dengan aroma kopi yang sudah diseduh mesin otomatis dan jadwal meeting perusahaan yang padat. Namun, realitas menghantamnya seiring dengan aroma deterjen murah dari sprei yang ia tiduri. Ia kembali. Ia benar-benar kembali. Hani meraih ponselnya yang tergeletak di lantai. Benda itu berkedip-kedip nyalang, lampu notifikasinya seperti sinyal bahaya. 42 Panggilan Tak Terjawab. 15 Pesan w******p. Hani menatap layar itu dengan tatapan kosong. Jarinya gemetar, bukan karena rindu, tapi karena reaksi traumatis tubuhnya yang mengenali nama yang tertera di sana. Reza Pratama (My Love ❤️): Han, kamu beneran sakit atau cuma cari alasan? Aku kecewa banget sama kamu. Anak-anak BEM pada nanyain proposalnya. Angkat teleponku! Jangan kekanak-kanakan! Kalau sampai nanti siang nggak ada kabar, kita putus. Hani mendengus. Tawa kecil yang kering dan tanpa humor lolos dari bibirnya. Dulu, pesan ancaman putus seperti itu akan membuat Hani panik setengah mati. Ia akan berlari keluar kamar, menerobos hujan, bahkan memohon maaf sambil menangis di kaki Reza, berjanji akan mengerjakan apa saja asalkan Reza tidak meninggalkannya. Betapa menyedihkannya Hani yang dulu. Betapa mudahnya ia dimanipulasi oleh rasa takut kehilangan seseorang yang bahkan tidak pernah memilikinya. Jarinya menggulir ke bawah. Ada pesan lain. Dina (Bestie 🌸): Han, kamu kenapa sih? Reza marah besar lho. Dia bilang kamu berubah. Kamu di kamar kan? Aku ke sana ya bawain bubur? Kita ngobrol. Han? P "Jangan datang," bisik Hani pada layar ponsel yang dingin. Ia bisa membayangkan wajah Dina saat mengetik pesan itu. Wajah polos dengan alis berkerut pura-pura khawatir, sementara dalam hati ia bersorak senang karena hubungan Hani dan Reza sedang retak. Dina adalah ular yang membelit perlahan, menunggu mangsanya lemas sebelum menelan bulat-bulat. Hani meletakkan ponselnya dalam mode hening. Ia butuh waktu. Ia butuh strategi. Tapi yang paling ia butuhkan sekarang adalah udara segar yang tidak berbau kenangan busuk. Kampus pagi itu riuh. Mahasiswa berlalu-lalang dengan jaket almamater, tertawa bergerombol, atau berlari mengejar jadwal kelas pagi. Bagi Hani, pemandangan ini surealis. Ia berjalan menyusuri koridor Fakultas Ekonomi dengan langkah ragu. Rasanya seperti menjadi hantu yang gentayangan di masa lalunya sendiri. Ia melihat wajah-wajah yang ia kenal—teman sekelas yang dulu ia anggap biasa saja, dosen yang dulu ia takuti setengah mati—semuanya terlihat begitu muda, begitu hidup. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Mereka tidak tahu bahwa lima tahun lagi, gedung rektorat di seberang sana akan terbakar karena demo besar-besaran. Mereka tidak tahu bahwa Hani yang berjalan melewati mereka ini sudah pernah mati. "Hei, Han!" Suara itu membuat bahu Hani menegang kaku. Ia mengenali suara cempreng itu. Tanpa menoleh, Hani mempercepat langkahnya. Ia berbelok tajam ke arah koridor yang lebih sepi, menghindari kantin tempat biasa anak-anak organisasinya berkumpul. Jantungnya berpacu liar. Keringat dingin kembali membasahi punggungnya. Ia belum siap. Secara mental, ia ingin menghancurkan mereka. Tapi secara fisik, tubuhnya masih menyimpan memori trauma itu. Melihat wajah teman-temannya hanya mengingatkan Hani pada betapa bodohnya ia dulu—dimanfaatkan, dijadikan sapi perah untuk nilai akademik, dan dibuang saat tak lagi berguna. Hani butuh tempat sembunyi. Tempat di mana tidak ada suara Reza yang menuntut, tidak ada tawa palsu Dina. Kakinya membawanya secara otomatis ke gedung tua di ujung kompleks kampus. Perpustakaan Pusat. Aroma itu menyambutnya begitu ia mendorong pintu kaca yang berat. Aroma khas kertas tua yang menguning, debu yang menari dalam sorot cahaya lampu neon, dan dinginnya AC sentral yang menusuk tulang. Sunyi. Ketenangan yang absolut. Hani menarik napas panjang, mengisi paru-parunya dengan udara perpustakaan yang terasa lebih bersih daripada udara di luar sana. Dulu, ia jarang ke sini. Reza selalu mengajaknya nugas di kafe-kafe kekinian yang berisik, tempat di mana Reza bisa tebar pesona sementara Hani mengerjakan tugas mereka berdua di pojokan. Hani benci keramaian, tapi ia memaksakan diri demi Reza. Bodoh. Hani melangkah ke lantai dua, ke bagian rak buku referensi teknik dan arsitektur yang jarang dijamah mahasiswa ekonomi. Ia mencari sudut paling terpencil, di balik rak besi tinggi yang penuh dengan buku-buku tebal berdebu. Ada satu meja kayu tua di sana, menghadap jendela besar yang tertutup rimbunnya pohon beringin. Ia menghempaskan tubuhnya di kursi kayu yang keras. Aman. Untuk sementara, ia aman. Hani mengeluarkan laptop tuanya—benda tebal dan berat yang kipas pendinginnya berbunyi bising. Ia membukanya, dan wallpaper layar desktopnya langsung menampar wajahnya. Foto dirinya dan Reza saat ospek tahun pertama. Di foto itu, Hani tersenyum lebar hingga matanya menyipit, memeluk lengan Reza dengan bangga. Sementara Reza... Hani sekarang bisa melihatnya dengan jelas. Reza tidak tersenyum. Pria itu hanya menyeringai tipis ke arah kamera, matanya tidak fokus pada Hani, melainkan pada bayangan dirinya sendiri di lensa. "Menjijikkan," desis Hani. Dengan tangan gemetar, ia segera mengganti wallpaper itu menjadi warna hitam polos. Ia membuka file explorer, berniat menghapus semua foto kenangan mereka. Tapi jarinya terhenti di atas folder bernama "Project Reza & Hani". Di dalamnya ada ribuan file. Makalah, presentasi, draf skripsi, proposal bisnis. Semuanya hasil kerja keras Hani, tapi nama Reza yang selalu tercantum paling depan. Hani merasakan matanya memanas. Bukan karena sedih kehilangan cinta, tapi karena rasa duka yang mendalam untuk dirinya sendiri. Ia berduka untuk Hani muda yang menghabiskan malam-malam panjang demi pria yang kelak akan meracuninya. Ia berduka untuk waktu, tenaga, dan kecerdasan yang ia sia-siakan. Air mata itu jatuh tanpa izin. Satu tetes, dua tetes, lalu berubah menjadi aliran deras yang membisu. Hani menelungkupkan wajahnya di antara lipatan tangan di atas meja. Bahunya berguncang hebat, menahan isak tangis agar tidak pecah menjadi suara. Ia menggigit bibir bawahnya sampai berdarah, menahan teriakan frustrasi yang ingin meledak. Sakit sekali. Dadanya sesak, seolah racun sianida itu masih tersisa di sana, menggerogoti kewarasannya. Kenapa harus aku? Kenapa aku harus sebodoh itu? Kenapa aku harus mati dulu untuk sadar? Suara gesekan kursi yang ditarik di depannya membuat Hani membeku. Panic mode menyala. Apakah itu Reza? Apakah dia mengikutinya sampai ke sini? Hani tidak berani mengangkat wajah. Ia buru-buru menghapus air matanya dengan lengan baju yang kasar, berusaha mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Ia tidak boleh terlihat lemah. Ia tidak boleh membiarkan Reza melihatnya menangis. Namun, tidak ada suara bentakan. Tidak ada suara parfum mahal yang menyengat. Hanya ada aroma samar... kopi hitam? Dan sesuatu yang segar, seperti bau tanah basah sehabis hujan. Petrichor. Lalu, sebuah benda persegi panjang didorong pelan ke arahnya, menyentuh sikunya. Hani memberanikan diri mengintip dari balik rambutnya yang berantakan. Itu bukan tangan Reza yang terawat dengan jam tangan branded. Itu adalah tangan laki-laki dengan jari-jari panjang yang kurus. Ada noda hitam—arang atau grafit pensil—di sisi telapak tangannya. Kuku-kukunya pendek dan bersih. Benda yang didorong itu adalah sekotak tisu saku. Hani mengangkat wajahnya perlahan. Di hadapannya, duduk seorang pemuda yang seolah menyatu dengan bayang-bayang rak buku. Dia memakai hoodie abu-abu yang sedikit kebesaran dan celana jeans yang warnanya mulai pudar di bagian lutut. Rambutnya hitam agak ikal, sedikit berantakan seolah dia baru saja bangun tidur atau terlalu sering menyisirnya dengan jari. Dia tidak melihat ke arah Hani. Pemuda itu sibuk dengan buku sketsa berukuran A4 yang terbuka di depannya. Tangan kanannya bergerak lincah, menggoreskan pensil grafit di atas kertas dengan gerakan ritmis. Sret. Sret. Sret. Suara itu terdengar anehnya menenangkan di tengah badai emosi Hani. Hendi. Hani mengenali wajah itu, meski samar. Di kehidupan sebelumnya, Hani hanya tahu Hendi sebagai "si anak Arsitektur aneh" yang selalu duduk di pojok perpustakaan. Mereka tidak pernah bicara. Hani terlalu sibuk menjadi bintang panggung di sisi Reza, sementara Hendi adalah penonton yang duduk di kursi paling belakang, dalam kegelapan. Tapi Hani ingat, saat berita kematiannya (atau "kecelakaannya") tersebar di kehidupan lalu, ada satu karangan bunga mawar putih tanpa nama yang dikirim ke pemakamannya. Di kartunya hanya tertulis: "Untuk dia yang terlalu terang bagi dunia yang redup." Tulisan tangan di kartu itu... tegak bersambung dan rapi, persis seperti tulisan tangan yang kini sedang membuat catatan kecil di pinggir sketsa gedung itu. Hani menatap kotak tisu itu, lalu menatap Hendi. Pria itu masih tidak menoleh. Dia seolah memberikan Hani privasi di ruang publik yang sempit ini. Dia ada di sana, tapi dia tidak menuntut perhatian. Dia tidak bertanya "Kamu kenapa?" atau "Boleh kenalan?". Dia hanya... ada. Hani menarik selembar tisu dengan tangan gemetar. "Terima... kasih," suaranya serak, nyaris tak terdengar. Gerakan tangan Hendi berhenti sejenak. Dia tidak mendongak, hanya mengangguk kecil—sangat tipis hingga Hani mungkin mengira itu imajinasinya saja—lalu kembali melanjutkan sketsanya. Keheningan turun lagi di antara mereka. Tapi kali ini, keheningan itu tidak terasa mencekik. Itu adalah jenis sunyi yang nyaman. Seperti duduk di teras rumah saat hujan deras, terlindung dan hangat. Hani menghela napas panjang, yang pertama kalinya terasa lega sejak ia bangun kembali dari kematian. Ia membersihkan sisa air matanya, membuang ingusnya pelan (sedikit malu, tapi ia terlalu lelah untuk peduli), dan kembali menatap layar laptopnya. Di seberang meja, Hendi membalik halaman buku sketsanya. Aroma kopi pahit dari tumblr yang ia letakkan di pinggir meja menguar lembut, menetralisir rasa mual di perut Hani. Hani melirik sekilas ke arah kertas Hendi. Itu bukan gambar gedung biasa. Itu sketsa detail dari pilar-pilar tua perpustakaan ini, dengan permainan cahaya dan bayangan yang rumit. Gelap, tapi indah. Tanpa sadar, Hani mulai mengetik. Bukan mengerjakan tugas Reza. Ia membuka dokumen baru. JUDUL: Rencana Pemutusan Rantai Pasok. Target 1: Hentikan aliran dana dan tugas akademik. Jarinya mulai menari di atas keyboard. Kali ini, suaranya berpadu dengan suara goresan pensil Hendi. Tak-tak-tak. Sret-sret-sret. Dua irama yang berbeda, namun entah bagaimana, menciptakan harmoni yang aneh di sudut perpustakaan yang terlupakan itu. Hani tidak sendirian lagi. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa itu adalah hal yang baik. Ponselnya bergetar lagi di dalam tas. Hani mengabaikannya. Biarkan Reza menggila di luar sana. Di sini, di benteng buku berdebu ini, dengan "penjaga" bisu di hadapannya, Hani sedang menyusun kembali kepingan jiwanya menjadi senjata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD