Langit di luar perpustakaan telah berubah menjadi kanvas hitam pekat saat Hani memutuskan untuk pulang. Hujan sudah reda, menyisakan genangan air di aspal yang memantulkan cahaya lampu jalan yang temaram. Udara malam terasa dingin, menusuk kulit, namun tidak sedingin perasaaan Hani saat membayangkan tujuan pulangnya: Asrama Putri Melati.
Tempat di mana "musuh dalam selimut"-nya menunggu.
Hani mengemasi barang-barangnya dengan gerakan lambat. Di seberang meja, kursi kayu itu sudah kosong. Hendi sudah pergi sepuluh menit yang lalu tanpa pamit. Laki-laki itu hanya menutup buku sketsanya, menyampirkan tas ransel di satu bahu, dan berlalu tanpa suara seperti kucing. Satu-satunya jejak yang ia tinggalkan hanyalah bungkus plastik tisu saku yang masih tergeletak di meja Hani.
Hani menggenggam tisu itu sejenak, merasakan tekstur plastiknya yang licin, sebelum memasukkannya ke dalam saku jaket. Itu adalah satu-satunya benda "nyata" dan tulus yang ia terima hari ini.
Perjalanan pulang ke asrama terasa seperti berjalan menuju tiang gantungan. Setiap langkah kaki Hani terasa berat, diseret oleh enggan yang luar biasa. Asrama itu, kamar nomor 204, dulunya adalah tempat paling hangat bagi Hani. Tempat ia dan Dina begadang sambil maskeran, membicarakan masa depan, membayangkan pernikahan Hani dan Reza.
Sekarang, tempat itu adalah sarang ular.
Saat Hani tiba di depan pintu kayu bercat cokelat yang sedikit terkelupas itu, ia berhenti. Tangannya menggantung di udara, ragu untuk memutar gagang pintu. Dari dalam, terdengar suara tawa kecil—suara Dina yang sedang menelepon seseorang. Hani bisa menebak siapa lawan bicaranya. Nada manja itu, desahan yang dibuat-buat itu, hanya diperuntukkan bagi satu orang.
Hani menarik napas dalam-dalam, memasang topeng wajah datar yang sudah ia latih di depan cermin perpustakaan tadi, lalu memutar kunci.
Cklek.
Suara tawa di dalam seketika berhenti.
Ketika Hani mendorong pintu terbuka, pemandangan di dalam kamar itu begitu familiar hingga menyakitkan. Kamar itu sempit, hanya muat dua tempat tidur single yang dipisahkan oleh sebuah lemari baju besar. Di dinding, tertempel foto-foto polaroid mereka bertiga—Hani, Reza, dan Dina—tersenyum lebar dengan latar belakang pantai Anyer.
Dina sedang duduk bersila di atas kasurnya, mengenakan piyama satin warna baby pink dengan bando telinga kucing. Wajahnya berkilau karena lapisan skincare mahal (yang Hani ingat, Hani-lah yang membelikannya sebagai hadiah ulang tahun bulan lalu). Ponselnya menempel di telinga, tapi begitu melihat Hani, ia buru-buru menurunkannya.
"Eh, Hani! Ya ampun, kamu dari mana aja sih?"
Suara itu. Melengking, cempreng, dan dipenuhi kepalsuan yang kental seperti sirup murahan.
Dina melompat turun dari kasurnya dan langsung menghambur ke arah Hani. Refleks tubuh Hani bekerja lebih cepat dari otaknya. Saat tangan Dina hendak menyentuh bahunya, Hani mundur selangkah, menghindar seolah tangan itu membawa virus mematikan.
Dina terdiam, tangannya menggantung canggung di udara. Mata bulatnya mengerjap, memancarkan kebingungan yang tampak sangat meyakinkan. "Han? Kamu kenapa? Kok kayak lihat hantu gitu?"
Hani menelan ludah, menahan rasa mual yang kembali naik ke kerongkongan. Ia berjalan melewati Dina tanpa menatap mata sahabatnya itu, menuju meja belajarnya sendiri.
"Aku capek, Din. Mau langsung tidur," jawab Hani singkat. Ia melepaskan tasnya dan meletakkannya di kursi dengan gerakan kaku.
"Tapi kamu seharian ngilang! Reza nelpon aku terus, dia khawatir banget lho," Dina mengekor di belakangnya, suaranya berubah menjadi nada menuduh yang halus. "Dia bilang kamu marah-marah nggak jelas di telepon. Kamu lagi PMS ya? Atau ada masalah sama orang tua?"
Reza khawatir? Hani ingin tertawa keras-keras. Reza tidak khawatir padanya; Reza khawatir pada proposal-nya. Dan Dina... Dina pasti senang luar biasa melihat keretakan ini, sambil berpura-pura menjadi penengah yang bijak.
"Nggak ada masalah," Hani membuka lemari, mengambil handuk, berusaha menyibukkan diri agar tidak perlu melihat wajah Dina. "Aku cuma sadar kalau aku terlalu memanjakan Reza. Dia Ketua BEM, Din. Masa bikin pendahuluan proposal aja nggak bisa?"
Hening sejenak. Hani bisa merasakan atmosfer di ruangan itu bergeser. Ini adalah pertama kalinya Hani mengeluhkan Reza di depan Dina. Biasanya, Hani akan memuji Reza setinggi langit, membela kemalasan pacarnya dengan alasan "dia sibuk mengurus umat".
"Ya... tapi kan dia sibuk rapat sana-sini, Han," bela Dina pelan, mencoba meraba situasi. "Kita sebagai orang terdekatnya harusnya support dong. Kasihan lho dia, tadi suaranya lemes banget pas nelpon aku."
Hani berbalik perlahan. Ia menatap Dina lurus-lurus. Tatapan Hani kali ini berbeda. Tidak ada kehangatan, tidak ada binar persahabatan. Matanya gelap, sedalam sumur tua yang menyimpan banyak bangkai rahasia.
"Kalau kamu kasihan sama dia," ucap Hani dengan suara rendah yang datar, "kenapa nggak kamu aja yang kerjain tugasnya? Kamu kan Sekretaris BEM. Itu lebih masuk akal daripada aku yang cuma anggota biasa."
Wajah Dina memucat sedikit. Mulutnya terbuka sedikit, tapi tidak ada kata yang keluar. Serangan balik itu tak terduga. Dina, yang terbiasa melihat Hani sebagai gadis penurut yang "bucin", tidak siap menghadapi logika dingin ini.
"A-aku kan... aku nggak pinter nulis kayak kamu, Han," Dina tergagap, lalu segera mengubah taktiknya. Ia memasang wajah sedih, bibirnya melengkung ke bawah—ekspresi playing victim andalannya. "Kamu kok ngomongnya gitu sih? Aku salah apa? Aku cuma mau bantu kamu baikan sama Reza. Kita kan trio, Han. Kalau kalian ribut, aku juga sedih."
Hani merasakan tangannya mengepal di sisi tubuh. Trio. Kata itu terdengar seperti lelucon kotor sekarang.
"Aku mau mandi," potong Hani, memutus drama murah itu sebelum ia kehilangan kendali dan mencekik leher jenjang Dina.
Hani masuk ke kamar mandi dan mengunci pintu. Ia menyalakan keran air sekencang mungkin, lalu bersandar di pintu kayu yang basah. Tubuhnya melorot ke bawah. Ia memeluk lututnya sendiri, napasnya tersengal-sengal.
Berada satu ruangan dengan Dina ternyata jauh lebih menguras energi daripada yang ia bayangkan. Energinya habis hanya untuk menahan diri agar tidak meludah ke wajah cantik itu. Setiap kata yang keluar dari mulut Dina terasa seperti jarum yang menusuk memori Hani tentang kematiannya.
Tenang, Hani. Tenang, bisiknya pada diri sendiri. Kalau kamu meledak sekarang, kamu yang jadi penjahatnya. Dina akan memutarbalikan fakta, Reza akan jadi korban, dan kamu akan dianggap gila. Sabar.
Setelah sepuluh menit di bawah guyuran shower dingin yang sedikit menenangkan sarafnya, Hani keluar dengan piyama tidurnya.
Di kamar, Dina sudah kembali ke kasurnya. Tapi kali ini, ada mangkuk styrofoam di atas meja belajar Hani. Aroma bubur ayam dengan taburan cakwe dan bawang goreng menguar kuat di ruangan ber-AC itu.
"Aku beliin bubur buat kamu," kata Dina, suaranya kembali ceria seolah percakapan dingin tadi tidak pernah terjadi. "Kamu pasti belum makan kan? Makan gih, mumpung anget. Tadi aku pesen go-food sekalian punyaku."
Hani menatap mangkuk bubur itu. Uap panas mengepul darinya.
Seketika, bayangan cangkir teh Earl Grey itu muncul lagi.
Perut Hani bergejolak hebat. Rasa mual naik dengan cepat, asam dan pahit. Ia melihat bubur itu bukan sebagai makanan, tapi sebagai potensi bahaya. Bagaimana kalau Dina menaruh sesuatu di sana? Obat tidur? Pencahar? Atau racun tikus?
Tentu saja itu pikiran paranoid. Ini tahun 2023, mereka belum sampai di tahap pembunuhan. Tapi tubuh Hani menolak logika itu. Tubuhnya menolak apa pun yang diberikan oleh tangan Dina.
"Aku nggak laper," tolak Hani kasar, menjauhkan mangkuk itu dari jangkauannya.
"Ih, Han! Mubazir tahu!" seru Dina, kali ini nada kesalnya lebih nyata. "Aku udah beliin pakai uangku sendiri lho. Dihargain dikit kek."
"Aku bilang nggak laper!" bentak Hani.
Suaranya terlalu keras. Terlalu tajam. Hening yang canggung kembali menyelimuti ruangan. Dina ternganga, matanya membelalak kaget. Hani tidak pernah membentaknya. Tidak pernah.
Hani menyadari kesalahannya. Ia menarik napas, mencoba menurunkan tensi. Ia belum boleh membuka kartu.
"Sori," gumam Hani, memaksakan diri memijat pelipisnya, berpura-pura sakit kepala. "Aku... lagi nggak enak badan banget, Din. Mual. Bau buburnya bikin aku mau muntah. Kamu makan aja, atau kasih ke kucing depan asrama."
Ekspresi Dina melunak, tapi matanya masih menyipit curiga. "Ya udah kalau nggak mau. Aneh banget sih kamu hari ini. Berubah banget."
Dina mengambil mangkuk itu dengan kasar dan membuangnya ke tempat sampah di luar kamar. Hani mengawasi punggung sahabatnya itu menjauh.
Saat lampu kamar akhirnya dimatikan pukul sebelas malam, kegelapan tidak membawa ketenangan.
Hani berbaring miring, memunggungi kasur Dina. Ia bisa mendengar suara napas teratur Dina di seberang sana. Begitu tenang. Begitu damai. Orang yang tidak punya hati nurani memang selalu tidur paling nyenyak.
Hani menyalakan ponselnya dengan kecerahan paling rendah, di bawah selimut. Ia membuka aplikasi kalender.
Ada satu tanggal yang dilingkari merah dua minggu lagi.
Deadline Kompetisi Proposal Bisnis Nasional "Young Entrepreneur".
Di kehidupan lalu, Hani membuatkan proposal berjudul "Eco-Friendly Supply Chain" untuk Reza. Proposal itu menang juara 1, hadiahnya modal usaha 50 juta dan kesempatan magang di perusahaan multinasional. Itu adalah awal mula kesuksesan Reza, awal mula Reza dilirik investor, dan awal mula Hani menjadi bayang-bayang.
Hani menatap tanggal itu dengan mata berkilat dalam kegelapan.
Kali ini, tidak akan ada proposal untuk Reza.
Kali ini, Hani akan mendaftarkan namanya sendiri.
Tapi ia tahu, Reza tidak akan diam saja. Jika Hani tidak menyerahkan proposal, Reza akan menghalalkan segala cara—termasuk mencuri.
Baiklah, pikir Hani, senyum tipis yang dingin terukir di bibirnya di balik selimut. Kalau kamu mau mencuri, Reza, akan kusiapkan sesuatu yang pantas untuk kau curi. Sebuah bom waktu.
Di ranjang seberang, Dina bergerak dalam tidurnya, bergumam pelan menyebut nama, "...Za..."
Hani memejamkan mata. Ia tidak akan tidur nyenyak malam ini, tapi untuk pertama kalinya, ia tidak merasa takut. Ia merasa siap.
Besok, perang gerilya dimulai.