Bab 4: Rapat BEM yang Mencekam

1443 Words
Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) selalu memiliki aroma yang khas. Campuran antara bau rokok basi yang menempel di sofa kain, aroma kopi saset murah yang diseduh air dispenser, dan keringat ratusan mahasiswa yang sibuk mengejar eksistensi. Di kehidupan lalu, Hani menganggap aroma ini sebagai aroma "rumah". Di sinilah ia menghabiskan sebagian besar masa mudanya, mengetik surat izin kegiatan sampai jari-jarinya kram, sementara Reza sibuk memimpin rapat dengan gaya orator ulung. Malam ini, aroma itu hanya memicu rasa mual di ulu hatinya. Hani melangkah menyusuri koridor PKM yang remang-remang. Derap langkahnya menggema, tenang dan terukur, kontras dengan detak jantungnya yang memburu. Ia mengenakan kemeja flanel kotak-kotak sederhana dan celana jeans, rambutnya diikat satu ke belakang. Tidak ada make-up untuk menutupi kantung matanya yang gelap. Ia ingin terlihat lelah; itu bagian dari strateginya. Dari balik pintu kaca buram Sekretariat BEM Fakultas, terdengar suara riuh rendah. Suara tawa laki-laki, bunyi kursi digeser, dan suara bariton Reza yang mendominasi ruangan. "Oke, teman-teman, fokus dulu! Proker Business Fair tinggal dua minggu lagi. Kita nggak punya waktu buat main-main!" Hani berhenti sejenak di depan pintu. Tangannya menyentuh gagang pintu besi yang dingin. Ia memejamkan mata, membayangkan wajah Reza saat meracuninya, membayangkan senyum Dina saat melihatnya sekarat. Rasa benci itu membakar rasa takutnya, mengubahnya menjadi bahan bakar keberanian yang dingin. Kau bukan lagi Hani si pesuruh. Kau adalah Hani yang selamat dari kematian. Hani mendorong pintu itu terbuka. Suara di dalam ruangan seketika senyap. Tiga puluh pasang mata menoleh ke arahnya. Reza berdiri di depan papan tulis putih, spidol hitam di tangan, lengan kemejanya digulung hingga siku—gaya andalannya untuk terlihat seperti pemimpin yang "turun tangan". Di sebelahnya, duduk di kursi pimpinan rapat, ada Dina. Gadis itu memangku laptop, terlihat sibuk mengetik notulensi, meski Hani tahu ia hanya sedang scrolling media sosial. "Wah, akhirnya sang putri datang juga," sindir Reza. Senyumnya miring, matanya menyorot tajam, penuh peringatan. "Kirain udah lupa jalan ke sekre, Han. Ditelpon nggak diangkat, di-chat nggak dibales. Sibuk banget ya?" Beberapa anggota BEM tertawa kecil, jenis tawa canggung untuk menyenangkan sang ketua. Hani tidak menjawab. Ia berjalan tenang ke deretan kursi paling belakang yang kosong, menarik kursi plastik merah, dan duduk dengan punggung tegak. Ia mengeluarkan buku catatan kecil dan pulpen. Hanya itu. Tidak ada laptop. Alis Reza berkerut dalam. Ia tidak suka diabaikan. Biasanya, Hani akan langsung meminta maaf dengan wajah memelas, lalu buru-buru mengeluarkan laptop untuk memperlihatkan hasil kerjanya. "Han," suara Reza mengeras, menghilangkan nada bercandanya. "Mana draf proposal sponsornya? Anak Humas udah mau jalan besok pagi buat nyebar proposal. Jangan bilang kamu belum kelar." Semua mata kini tertuju pada Hani. Atmosfer ruangan berubah berat dan mencekam. AC sentral yang berdengung bising seolah tidak mampu mendinginkan ketegangan yang merambat di udara. Hani menatap Reza lurus-lurus. Tatapannya kosong, tanpa emosi, membuat Reza sedikit terhenyak. "Aku tidak membawanya," jawab Hani. Suaranya tidak keras, tapi artikulasinya begitu jelas hingga terdengar ke seluruh penjuru ruangan. "Maksudnya?" Reza maju selangkah, aura intimidasi menguar dari tubuhnya. "Ketinggalan? Ya udah, kirim softfile-nya sekarang ke grup. Biar diprint Dina." "Bukan ketinggalan, Za," Hani menyandarkan punggungnya ke kursi, menyilangkan kaki dengan santai. "Aku memang tidak membuatnya." Keheningan yang menyusul pernyataan itu begitu absolut, seolah Hani baru saja meledakkan bom di tengah ruangan. Wajah Reza memerah padam, campuran antara malu dan marah karena dibantah di depan bawahan-bawahannya. "Kamu gila ya? Itu deadline besok! Kamu mau nyabotase acara kita? Kamu sadar nggak sih posisi kamu di sini tuh krusial?!" "Justru itu yang mau kutanyakan," potong Hani tenang, memotong ledakan amarah Reza sebelum sempat membesar. Hani berdiri. Ia tidak berteriak, tapi karismanya tiba-tiba memenuhi ruangan, menenggelamkan sosok Reza yang berdiri di depan. "Za, coba buka AD/ART organisasi kita. Atau job description pengurus yang kamu tempel sendiri di mading itu," Hani menunjuk ke arah papan gabus di sudut ruangan. "Aku ini staf Divisi Kewirausahaan. Tugasku adalah mencari vendor stand makanan dan mengurus teknis di lapangan saat hari H." Hani melangkah pelan ke depan, mendekati meja pimpinan di mana Dina duduk membeku dengan wajah pucat. "Sedangkan pembuatan proposal administratif, surat menyurat, dan kelengkapan dokumen sponsor... itu tugas siapa?" Hani mengalihkan tatapannya pada Dina. "Itu tugas Sekretaris Umum dan Sekretaris Pelaksana, kan? Benar begitu, Dina?" Dina tersentak kaget dipanggil namanya. Ia tergagap, matanya bergerak liar mencari perlindungan ke arah Reza. "Eh... a-aku... kan biasanya kita kerjain bareng, Han. Maksudnya... kamu kan lebih jago nulis..." "Jago atau tidak, itu bukan masalahnya," Hani memotong dengan dingin. "Masalahnya adalah profesionalisme. Selama dua tahun ini, aku mengerjakan tugasmu karena aku menganggap kita tim. Tapi sepertinya kebaikanku justru memanjakanmu, Din. Kamu jadi lupa apa tanggung jawabmu sendiri." Hani menoleh ke forum, menatap anggota BEM lain yang kini mulai berbisik-bisik. "Teman-teman Humas," ujar Hani lantang, "kalian marah kalau proposalnya belum jadi? Wajar. Tapi jangan marah ke aku. Tanyakan pada Sekretaris kalian, kenapa dia sibuk update story i********: tapi tidak sempat mengetik satu lembar pendahuluan pun untuk acara sepenting ini?" Skakmat. Wajah Dina merah padam, air mata buaya mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia menunduk, bahunya bergetar, memainkan peran korban yang terzalimi. Reza menggebrak meja. Brak! "Cukup, Hani!" bentak Reza. Urat lehernya menonjol. "Jangan lempar tanggung jawab! Kita ini organisasi kekeluargaan, bukan korporat yang kaku! Kamu egois banget sih mikirin jobdesk-jobdesk doang saat acara lagi genting gini?!" "Kekeluargaan?" Hani tertawa kecil. Tawa yang terdengar miris. "Kekeluargaan itu saling bantu, Za. Bukan satu orang jadi babu sementara yang lain cuma numpang nama." Hani menatap Reza dengan sorot mata yang membuat nyali pria itu menciut. Itu adalah tatapan orang dewasa yang sedang melihat anak kecil tantrum. "Kalau kamu mau proposal itu jadi, suruh Dina kerjakan sekarang. Masih ada waktu lima jam sebelum percetakan tutup. Aku bisa bantu review, tapi aku tidak akan mengetikkannya dari nol. Tanganku sakit." Hani mengangkat tangannya, menunjukkan pergelangan tangannya yang sebenarnya baik-baik saja, tapi cukup untuk menjadi alasan. "Kamu..." Reza kehabisan kata-kata. Ia ingin memaki, ingin menyeret Hani keluar, tapi ia sadar semua mata sedang menilainya. Jika ia marah berlebihan, ia akan terlihat otoriter dan tidak rasional. Logika Hani terlalu kuat untuk dipatahkan. Secara aturan, Hani benar. "Aku pamit," Hani membereskan barangnya yang bahkan belum sempat ia keluarkan. "Aku harus istirahat. Besok aku akan datang pagi untuk bantu loading barang vendor. Itu tugasku, kan?" Tanpa menunggu jawaban, Hani berbalik dan berjalan menuju pintu keluar. Langkahnya terasa ringan. Sangat ringan. Di belakangnya, ia mendengar suara isak tangis Dina pecah, diikuti suara Reza yang membentak anggota lain untuk diam. Kekacauan telah dimulai. Benih perpecahan sudah ditanam. Anggota BEM mulai melihat bahwa "Raja" dan "Ratu" mereka ternyata tidak kompeten tanpa bantuan "Dayang" yang selama ini mereka abaikan. Begitu Hani menutup pintu sekretariat di belakang punggungnya, kakinya lemas. Ia harus bersandar di dinding koridor yang dingin untuk menahan tubuhnya agar tidak merosot. Tangannya gemetar hebat. Adrenalin sisa konfrontasi tadi masih membanjiri darahnya. Itu menakutkan. Melawan Reza secara terbuka di kandangnya sendiri adalah hal paling nekat yang pernah ia lakukan. Dulu, satu bentakan Reza saja sudah cukup membuat Hani menangis semalaman. Tapi hari ini... hari ini ia menang. "Napas." Suara berat itu muncul dari kegelapan di dekat tangga. Hani tersentak, nyaris menjerit. Ia menoleh cepat. Di sana, duduk di anak tangga beton sambil memegang sekaleng kopi dingin, ada Hendi. Dia mengenakan jaket denim lusuh di atas kaos hitam polos. Rambut ikalnya sedikit basah terkena gerimis di luar. Hani membelalak. "Ka-kamu? Ngapain di sini?" Hendi tidak langsung menjawab. Ia meneguk kopinya, jakunnya bergerak naik turun. Tatapan matanya teduh, mengamati Hani yang masih gemetaran. "Lagi nunggu hujan reda," jawab Hendi santai, meski di luar hujan sudah berhenti sejak sepuluh menit lalu. "Suara ribut-ribut di dalam kedengeran sampe sini." Hani menunduk, merasa malu karena Hendi mendengar pertengkarannya. "Maaf, berisik ya." "Nggak," Hendi berdiri, memasukkan tangan ke saku celananya. Ia berjalan mendekat, tapi berhenti di jarak yang sopan—tiga langkah dari Hani. "Cuma kedengeran kayak seseorang yang akhirnya berani ngomong." Hendi menyodorkan sesuatu. Bukan tisu seperti kemarin. Kali ini, sebatang cokelat bar berbungkus perak. "Gula," kata Hendi singkat. "Buat ngilangin gemeteran. Kamu pucet banget kayak mayat." Hani menatap cokelat itu, lalu menatap Hendi. Sudut bibir pria itu terangkat sedikit—sangat sedikit, nyaris tak terlihat, tapi cukup untuk membuat mata Hani terasa panas lagi. "Makasih," bisik Hani, menerima cokelat itu. Jemari mereka bersentuhan sekilas. Dingin bertemu hangat. "Pulang gih," kata Hendi, berbalik menuruni tangga. "Udah malem. Nanti keburu ujan lagi." Hani berdiri di sana, memegang batang cokelat itu erat-erat. Ia menatap punggung Hendi yang menjauh, menghilang ditelan kegelapan malam kampus. Di dalam sekretariat, Reza mungkin sedang mengamuk. Dina mungkin sedang menangis palsu. Tapi di koridor sepi ini, Hani merasa... hidup. Ia merobek bungkus cokelat itu dan menggigitnya. Manis. Tidak ada rasa almond pahit. Hanya rasa manis cokelat murah dan sedikit rasa kemenangan. Hani tersenyum. Senyum pertamanya yang tulus sejak ia hidup kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD