Ghost 3

1046 Words
Sejak kembalinya Dayu dari cuti kuliahnya, perlahan Dayu menjadi pribadi yang lebih terbuka. Beberapa kali dia terlibat pertemuan kemahasiswaan ataupun sekedar berkumpul dengan teman sejurusan. Seperti hari ini saat salah satu dari temannya mengajaknya bersama lima orang lainnya, mengunjungi sebuah kafe yang berada tak jauh dari kampusnya. Untuk merayakan ulang tahun salah satu dari mereka. Hari masih sore saat ini, namun angin berhembus cukup kencang, menerbangkan helai-helai rambut pendek Dayu yang tergerai. Kafe yang berada di rooftop ini adalah tempat favorit para mahasiswa, maka tak aneh jika sebagian besar pengunjungnya adalah mahasiswa atau anak sekolah yang doyan nongkrong. "Wish lo tahun ini apa Mey?" Salah seorang dari mereka bertanya pada gadis berwajah bulat yang dari tadi tak berhenti tersenyum, bahagia sekaligus sedih menginjak usia baru menuju fase kedewasaan. "Punya pacar pasti!" Athaya yang berada di samping Dayu menimpali. Yang lain serentak mengiyakan. Suasana semakin gaduh ketika salah seorang menyinggung tentang kriteria pacar idaman. "Itu sih pasti, tapi yang paling penting punya pacar itu jangan sampai merubah kebiasaan kita apalagi bikin kita jauh dengan teman-teman. Betul ngga?" jawab gadis yang ditanya. Suasana mendadak senyap. Satu persatu dari mereka melirik pada Dayu. Sementara Dayu sejak tadi tengah terpaku pada seseorang yang berdiri sambil memandanginya dengan jarak tak jauh darinya. "Kalau kebiasaan jelek emang harus diubah kali, emangnya lo mau jadi orang yang toxic?!" Balas Athaya, bersyukur Dayu tidak memerhatikan pembicaraan tadi. "Ehem, boleh dimakan ngga nih kuenya, udah ngga sabar gue ... " Ujar salah seorang gadis bertubuh paling besar di antara mereka. Sontak semua orang memerhatikannya, kecuali Dayu yang tetap bergeming dengan pandangan lurus ke depan. Firasatnya mulai tidak enak, saat orang yang dilihatnya saat ini tampak pucat dan kelopak matanya seolah tak berkedip. "FYI, gue udah dua kali nelan ludah gara-gara mupeng lihat kuenya." Lanjutnya, yang disambut sorakan setiap orang. "Day, makan nih kuenya, enak loh!" sahut Athaya, sambil menyikut lengan Dayu. "Ah, euh ... eh, bentar gue ke toilet dulu!" Tergesa Dayu berlalu menuju arah pintu masuk, namun berbelok ke samping bangunan kafe yang jarang dilewati orang. "Kemana dia?" tanya gadis yang dipanggil Mey. "Lo sih, pake nyinggung-nyinggung perubahan ... reformasi kali!" Sahut gadis lain, yang langsung diangguki semua yang hadir. Tiba di lorong tak beratap yang sepi, Dayu berdiri sambil mendekap tubuhnya. Angin yang berhembus terasa dingin padahal dia sudah mengenakan dua lapis pakaian. "Kamu siapa?" todong Dayu langsung pada lelaki yang berdiri di depannya. Lelaki itu hanya diam, menatap datar pada lawan bicaranya. "Apa kamu kenal denganku? Apa dulu kita pernah saling kenal?" Seberapa keras pun Dayu berusaha mengingat, memorinya tetap tidak sampai pada ingatan tentang sosok di hadapannya itu. Dan Dayu tidak paham kenapa lelaki itu terus memandanginya sejak menit pertama kedatangannya di kafe ini. Karena tak juga mendapat balasan, Dayu memutuskan untuk pergi. "Baiklah, aku pergi dulu!" "Tunggu! Kamu bisa melihatku?" tanya sosok itu. Langkah Dayu terhenti, bersamaan dengan hembusan angin yang terasa dingin di punggung dan lehernya. Ini bukan kali pertamanya mengalami kejadian ini, dan dia tahu pasti makhluk apa yang saat ini sedang dihadapi olehnya. Dayu tersentak, perasaan takut mulai merayapinya. Rasanya ingin secepatnya dia pergi dari sana. Otaknya mengirim sinyal pada tubuhnya untuk bergerak, namun tak bisa. "Jangan pergi." Ujar suara di belakangnya, seolah tahu jika Dayu akan mengeluarkan jurus seribu langkah. Dayu tetap bergeming, tak henti berdoa agar ada seseorang yang bisa menyelamatkannya dari situasi ini. Namun sepertinya takdir menuntunnya untuk merangkai cerita dengan sosok asing itu. "Biarkan aku ikut denganmu." Pintanya dengan wajah memelas. "Kit-kita bukan siapa-siapa, kenapa aku harus membawamu." Lirih Dayu dengan suara tertahan. "Aku mohon, aku sedang sangat membutuhkan pertolongan." "Tapi aku bukan seseorang yang bisa menolongmu." Jawab Dayu. Perdebatan semakin alot, dan berakhir dengan Dayu yang membawa sosok itu bersamanya. "Lo kemana dulu tadi, kok lama banget?" tanya Athaya setelah hanya ada mereka berdua. Teman yang lainnya sudah pulang karena akan bersiap melanjutkan pesta di klub yang sudah dipilih oleh mereka. "Toilet." Athaya tahu Dayu berbohong, atau mungkin dia sengaja menutupi untuk menghindari teman-temannya. Tapi Athaya memakluminya dan tidak memaksa Dayu. "Kenapa lo ngga ikut dengan mereka?" tanya Dayu. "Males ah, gue udah diultimatum sama bokap kalo sampe gue berani pergi ke klub, fasilitas gue bakal dicabut. It means, gue ngga bakal bisa shopping atau makan di kafe bonaqfit." Dalih Athaya. "Walaupun itu terjadi lo masih punya saku cadangan, si Bagas!" cengir Dayu, menyebutkan nama pacar Athaya. Athaya tertawa mendengarnya. "Dia buat bayar uang kuliah aja kesusahan." "Tapi dia tipe yang rela ngelakuin apapun buat orang yang dicintainya." "Iya, termasuk ngerampok bank biar gue bisa jalan-jalan keluar negeri." jawab Athaya sarkas. Keduanya lantas tertawa bersama mendengar kekonyolan mereka. "Lo mau balik sekarang?" tanya Athaya. "Lo? Gue mungkin nanti, lo duluan aja." Jawab Dayu. "Gue juga nanti. Masih pengen menikmati sore yang cerah dengan sahabat jomblo gue. Eh, di sini bisa lihat golden hour ngga sih? Tempatnya kan lumayan tinggi." "Menurut lo? Kalau bisa pasti udah jadi bahasan netijen seIndonesia. Dan pasti banyak orang berbondong-bondong ke sini cuman buat lihat itu tanpa beli minuman ataupun makan." "Dan akhirnya pemiliknya bangkrut karena pengunjung lebih tertarik ngeliat itu, dan bla bla ... " timpal Athaya, yang kembali membuat keduanya tertawa mendengar keabsurdan mereka sendiri. Dayu tak lupa jika saat ini di depannya sesosok tak kasat mata tengah memandanginya, menunggunya untuk membawa sosok itu pergi dari tempat ini. Namun Dayu ingin sejenak melupakan semuanya. Melupakan jika dia pernah punya mantan yang menikahi sepupunya, lupa jika di rumah ibunya memelihara hewan, lupa jika teman-teman kuliahnya tahu tentang tragedi percintaannya, dan lupa jika dia bertemu sosok menyeramkan yang malah mendekatinya untuk memanfaatkannya. Namun ada dua hal yang tidak ingin dilupakannya, sekalipun dia menderita demensia ataupun amnesia. Yaitu persahabatannya dengan Athaya, dan mimpi tentang pangeran charming yang melamarnya di kapal pesiar. Walaupun hanya sekedar mimpi, namun Dayu berharap suatu hari nanti Tuhan akan mengabulkannya. Tidak perlu dengan paket utuh pun tak apa, asal ada potongan-potongan mimpi itu yang terjadi padanya walau hanya sekali dalam hidupnya. "Rasanya pengen sampe malam gue berada di sini." Dayu mendengar ucapan Athaya, namun dia terlalu sibuk mereka ulang adegan-adegan di mimpinya tadi malam. "Tapi gue baru ingat nyokap nyuruh gue pulang awal buat bantuin dia packing." Lanjut Athaya. "Hoo ... jadi mereka pergi ke Bali?" tanya Dayu yang langsung diangguki Athaya. Dan tanpa menunggu lama, keduanya langsung melesat menuju pintu keluar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD