Chapter 02

2359 Words
Redy terus memerhatikan sosok Kaila lekat. Untungnya, cewek itu sama sekali nggak sadar kalau Redy tengah memerhatikannya dari jarak sedekat ini. Kaila terlalu asik mengobrol dan tertawa bersama teman-temannya. Sampai tiba-tiba saja, entah karena merasa diperhatikan atau apa, Kaila mendadak menoleh dan sedikit terkejut begitu melihat Redy tengah memerhatikannya. "Redy?" Redy membeku. Bergeming di tempatnya. "Lo ngapain?" tanya seorang cewek sambil tertawa. "Lo lagi paparazzi-in kita ya?" Redy tergagap. "Enak aja. Ntar yang ada kamera gue langsung pecah." Kaila menatap Redy dingin lalu mendengus. "Ke tempat lain aja, yuk." Mendengar ucapan Kaila barusan, Gita dan Aretha kontan terdiam. Begitupula dengan Redy. Cowok itu langsung bungkam dengan mata yang menatap lurus-lurus mata Kaila, mencoba menyelami apa isi pikiran cewek itu sebenarnya. Sadar bahwa atmosfer di sekeliling mulai tak enak, Gita dan Aretha pun langsung mengekor di belakang Kaila yang sudah lebih dulu bangkit dari duduknya dan berjalan pergi dari rest area. "Lo kenapa sih, Kai? Redy ngejauh salah, Redy ngedeket pun salah," ucap Gita setelah dirasanya jarak mereka dengan Redy sudah jauh. Aretha mengangguk setuju. "Iya! Dulu, lo uring-uringan banget waktu Redy ngejauh. Sekarang, giliran dideketin lagi, lo-nya malah jutek." Kaila menghela napas panjang lalu menjawab, "kalian semua nggak ngerti." "Gue ngerti, kok. Ngerti banget," ucap Gita. "Kalau lo masih sayang sama Redy, apa salahnya sih, buat balikan? Kalian berdua itu cocok banget." "Setelah satu tahun dia ngejauh dari gue, kalian semua nyuruh gue buat nerima dia gitu aja? Gue cewek apaan?" Kaila tertawa getir. Aretha berdecak. "Ternyata memang bener, ya. Pride will always be the longest distance between two people." Kaila balas tersenyum pahit mendengar perkataan Aretha barusan. Kalau boleh jujur, cewek itu merasa tertohok dengan apa yang Aretha bilang. Pride. Ya, harga diri. Alasan kenapa Kaila bersikap dingin ketika Redy kembali mendekatinya adalah karena harga diri. Cewek itu gengsi kalau harus menerima Redy dengan tangan terbuka begitu saja. Ia nggak mau cowok itu mencapnya sebagai cewek gampangan. Sementara itu, Redy masih mematung di tempat sambil menatap punggung Kaila yang lama kelamaan semakin menjauh. Tak lama kemudian, cowok itu terkekeh. Jarinya kembali bergerak mengotak-atik DSLR di tangannya yang masih menampilkan foto Kaila. Redy yakin kalau suatu saat nanti, Kaila akan kembali menerimanya. Tak peduli sekeras apapun Kaila menolak dan menjauhi ia nantinya, Redy akan tetap berusaha untuk membuat Kaila jatuh cinta lagi padanya. Dulu, Redy pernah berhasil menaklukan hati Kaila. Jadi seharusnya, kali ini bukan masalah yang besar, bukan? Sebenarnya, harus Redy akui kalau ia memang bersalah. Salahnya telah merelakan Kaila untuk orang lain, salahnya telah menjauhi Kaila pasca mereka putus, dan salahnya juga karena dengan seenaknya meminta Kaila untuk kembali ke kehidupannya lagi. Tapi kali ini, cowok itu benar-benar menginginkan Kaila lebih dari apapun. Mungkin bukan menginginkan, tapi membutuhkan. Iya, Redy benar-benar butuh Kaila. Dan mulai detik ini, Redy akan memulai misinya untuk mendapatkan Kaila kembali, tanpa perlu memikirkan perasaan orang-orang yang ada di sekitarnya lagi. • • • "Quarter terakhir! Ayo, semangat!" seru Sazki, menyemangati anak-anak basket yang lain. Tim basket putri SMAN 23 berhasil mencetak skor 27 sedangkan lawannya, SMAN 11, satu poin lebih unggul dengan skor 28. Waktu yang tersisa tinggal 3 menit lagi. Cuma butuh satu bola agar akhirnya SMAN 23 bisa memimpin pertandingan dan menang. Kara beserta anak-anak basket dari SMAN 23 yang lain buru-buru menempati posisi defense masing-masing dengan napas yang terengah. Cewek dengan nomor punggung 9 dari SMAN 11 mulai mendribel bolanya memasuki area pertahanan SMAN 23. Matanya bergerak-gerak liar mencari tempat yang kosong untuk mem-passing-kan bolanya. Melihat teman satu timnya yang sedang berdiri di dekat ring sedang kosong, kontan cewek bernomor punggung 9 itu segera mem-passing-kan bolanya. Kara yang kebetulan berdiri di bawah ring karena posisinya sebagai center, buru-buru melakukan hands up untuk mem-block gerakan lawan yang terlihat akan segera men-shooting-kan bolanya. Melihat kecilnya peluang untuk shooting, cewek itu kembali mem-passing-kan bolanya pada cewek bernomor punggung 9. Setelah menerima kembali bola dari teman satu timnya, cewek dengan nomor punggung 9 itu melirik sekilas waktu yang tertempel pada dinding. Tinggal 2 menit lagi! Sadar bahwa waktunya tidak banyak, cewek bernomor punggung 9 itu terpaksa melakukan three point dengan harapan bolanya itu akan memasuki ring dengan mulus. Namun sayangnya, harapan tinggalah harapan. Tembakan yang dilancarkan oleh cewek bernomor punggung 9 itu meleset dan gagal memasuki ring. Melihat bola tersebut memantul di udara, Kara kontan melompat untuk melakukan rebound. Setelah didapatnya bola basket tadi, Kara langsung mem-passing-nya pada Sazki, point guard sekaligus kapten basket putri SMAN 23. Tinggal 1 menit lagi. Dengan cepat, Sazki langsung berlari dan mendribel bolanya memasuki area pertahanan SMAN 11. Untuk mempersingkat waktu, cewek itu mem-passing-kan bolanya pada Andien. Andien buru-buru melakukan shooting dan sayangnya gagal karena berhasil di block oleh lawan. Suara riuh penonton semakin menjadi-jadi karena permainan semakin memanas. Kebanyakan dari mereka mendesah frustasi karena bolanya tak juga memasuki ring, juga gemas karena waktu yang semakin menipis. Bola kembali berada di tangan lawan. Kali ini, cewek bernomor punggung 7 yang mendribel bola tersebut. Sazki kontan berlari menyusul cewek itu lalu melakukan steal dan membawa kembali bola tersebut menuju ring lawan. Sudah ada tiga orang yang siap menjaga Sazki di depan, memaksa cewek itu melakukan passing ke orang yang ada di dekatnya, Kara. "Fake!" seru Sazki keras. Waktu terus berjalan. Tinggal beberapa detik lagi bel tanda permainan berakhir akan berbunyi. Kara melakukan pivot lalu bersiap untuk menembakkan bolanya ke dalam ring. Semua anggota dari tim lawan kontan berlari menghampiri Kara untuk cepat-cepat mem-blok gerakan cewek itu. Kara mulai melompat, akan tetapi, bukannya melakukan shooting, cewek itu justru mem-passing-kan bolanya pada Sazki yang kebetulan sedang kosong karena seluruh tim lawan sedang mem-blok Kara. Begitu bola tersebut ada di tangannya, Sazki langsung mendribel bola itu dua kali lalu melakukan lay up. Dan tepat ketika bola tersebut memasuki ring, bel tanda permainan berakhir pun berbunyi nyaring. TEETTTT 29 - 28! Seluruh penonton, terutama suporter dari SMAN 23, langsung bersorak heboh. Kara dan rekan satu timnya saling berpelukan dan melompat-lompat di tengah lapangan. Ada beberapa anak yang bahkan meneteskan air matanya karena terharu. Turnamen basket pada festival olahraga tahun ini resmi di menangkan oleh tim basket putri dari SMAN 23. Setelah ber-high-five ria dengan rekan satu tim dan bersalaman dengan lawan, wasit, juga juri, Kara dan yang lainnya berjalan keluar lapangan dengan senyum yang merekah. "Main lo bagus," ucap Sazki tiba-tiba sambil menepuk puncak kepala Kara. Kara tersenyum lebar lalu mengangguk. "Thanks, Kak." "Lo masih punya dua tahun lagi disini. Rajin latihan supaya mainnya makin bagus. Siapa tau lo bisa jadi kapten kayak gue," kata Sazki. "Siap, Kak!" Sazki cuma balas tersenyum singkat lalu menghampiri teman-temannya yang kini sedang sibuk mengobrol dengan anggota tim basket putra. Melihat hadirnya semua anak basket dari SMAN 23, ujung-ujung bibir Kara refleks tertarik ke atas. Matanya menyapu sekitar, mencari-cari sosok cowok berperawakan tinggi tegap yang selalu jadi idolanya. Siapa lagi kalau bukan Zio? Senyum Kara semakin mengembang begitu matanya menangkap sosok Zio sedang mengobrol dan tertawa bersama teman-temannya. Kenapa cowok itu selalu keliatan ganteng, sih? Kara menjerit-jerit heboh dalam hati. Tiba-tiba saja, pandangan Zio jatuh pada mata Kara. Cewek itu langsung membeku di tempat dengan jantung yang kembali kumat. Jantung Kara berdegub cepat dengan darah yang berdesir hebat. Cewek itu seketika jadi patung bernyawa, saking nervous dan gugupnya di tatap oleh Zio. Bukannya membuang pandangan seperti seharusnya, Zio justru melemparkan senyum manisnya pada Kara. "Congrats," ucap Zio tanpa disangka-sangka. Singkat, padat, jelas, namun mampu membuat jantung Kara berhenti berdetak. Cewek itu membelalakan mata kaget dengan mulut yang menganga lebar. Barusan itu... beneran Zio yang ngomong?! "Heh, Triplek, gue nyariin lo. Taunya disini." Entah darimana asalnya, tiba-tiba terdengar suara bass milik Aldan. Ia menarik pelan rambut Kara, membuat cewek itu terpaksa mengalihkan perhatiannya dari Zio. "Aldan! Kak Zio tadi ngomong sama gue! Dia senyumin gue!" pekik Kara tertahan, sedikitpun tak menggubris perkataan Aldan sebelumnya. "Hah?" Aldan menaikkan sebelah alisnya bingung lalu memegang dahi Kara. "Lo nggak demam, kok. Halu ya lo?" Kara melotot lalu menepis tangan Aldan. "Gue serius! Dia beneran senyumin terus ngucapin congrats ke gue!" "Cuma halusi--Eh! Wee! Gak kena!" Aldan tertawa sambil meleletkan lidahnya karena berhasil menghindar dari tendangan tanpa aba-aba milik Kara. Kara semakin melototi Aldan. Bukannya diam, tawa cowok itu malah semakin menjadi-jadi. "Lo mau nyawa lo sisa 8?!" geram Kara, jengkel karena tingkah Aldan yang benar-benar minta ditabok itu. "Mau, deh. Asal bukan sisa 1," celetuk Aldan asal yang kontan membuat Kara kembali menendangnya. Bedanya, kali ini tendangan Kara tepat sasaran! • • • Setelah acara makan-makan bersama anak basket yang lain sebagai perayaan kemenangan mereka, Kara memutuskan untuk pulang lebih dulu dari teman-temannya. Cewek itu sampai di rumah tepat ketika jarum jam menunjukkan pukul 9.30 malam. Sambil berjalan jinjit dengan mata yang menyisir sekitar, Kara terus berdoa agar papanya itu sudah terlelap di pulau kapuknya. Tapi sayangnya, Tuhan malah berkehendak lain. "KARA!" seru seseorang di belakang. Suaranya terdengar lantang dan penuh emosi. Kara tersentak dan refleks memejamkan matanya dua detik. Cewek itu sudah pasrah kalau harus menerima semprotan dari papanya malam-malam begini. Perlahan tapi pasti, Kara membalikkan badannya lalu membuang napas kecil. "Kara pulang..." ucap cewek itu pelan. "Kamu tau sekarang jam berapa?!" sentak papanya. Kara menunduk dalam, menghindari kontak mata dengan papanya sendiri. "Setengah sepuluh." "Kamu ini anak gadis macem apa baru pulang jam segini?!" Mendengar ucapan menusuk yang terlontar dari mulut papanya, Kara kontan mendongak tanpa sedikitpun merasa takut. "Aku abis turnamen, Pa! Lagian, aku sama sekali nggak keluyuran kemana-mana selain makan-makan bareng anak basket. Itupun pihak sekolah yang bayar!" Mendengar suara anaknya malah meninggi, Rian--papa Kara--semakin tersulut emosi. Ia melototi Kara dengan wajah yang merah padam. Kara balas menatap tatapan tajam Rian tanpa gentar sedikitpun. Tapi jauh di lubuk hatinya, cewek itu benar-benar merasa takut. Ia takut sesuatu yang tak diinginkan malah terjadi. "Basket itu gak berguna! Kamu gak akan bisa pakai basketmu itu buat masuk universitas nanti!" "Kara masih kelas 10! Urusan universitas itu masih lama! Lagian, aku sendiri bisa kok, ngatur waktu buat belajar," ucap Kara. Badannya bergetar hebat. Perasaan takut dan marah bercampur menjadi satu, membuat dadanya benar-benar terasa sesak saat ini. Dari dulu, papanya itu selalu melarang Kara untuk melakukan ini dan itu. Yang ada di pikiran Papa Kara cuma belajar, belajar, dan belajar. Nggak ada hal lain yang lebih penting selain belajar. Dan Kara benar-benar merasa jenuh serta muak. Cewek itu udah terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk belajar. Jadi, nggak salah, bukan, kalau Kara menjadikan basket sebagai kegiatan penghilang jenuhnya? "Urusan ke depan itu harus dipersiapkan dari sekarang! Kalau kamu masih santai-santai aja, mau jadi apa kamu?!" Rian masih tak mau kalah dari anaknya. Jika ia bilang A, maka anaknya harus melakukan A. Dan jika ia bilang B, maka anaknyapun harus melakukan B. Nggak ada hal lain yang lebih baik selain mendengarkan apa yang diperintahkan orangtua, begitulah prinsipnya. Dan lagi, ini semua demi kebaikan Kara, putri satu-satunya. "Pa, rajin belajar dan jadi pintar itu nggak menjamin Kara bakalan jadi orang sukses. Kita bisa berhasil di bidang apapun selain akademik. Aku juga yakin, sukses itu nggak cuma berhasil jadi dokter," kata Kara lirih. Sejujurnya, cewek itu capek. Ia capek harus selalu tengkar dengan papanya. Dan masalah yang mereka bahas selalu sama setiap harinya. "Jadi pintar aja nggak menjamin, apalagi kalau kamu bodoh! Kamu mau jadi bodoh?!" "Nggak ada orang yang mau jadi bodoh, Pa! Kara tetep bakalan belajar walaupun fokus Kara jadi kebagi sama basket!" "Sekali nggak, tetap nggak! Kamu harus keluar dari basket! Pelajaranmu entar keganggu!" Tanpa sadar, Kara mengepalkan tangannya. Gigi cewek itu bergemeletuk keras, menandakan emosinya sudah diambang batas. Kara nggak tahan lagi. Ia benar-benar nggak tahan untuk terus-terusan jadi boneka mainan papanya yang selalu menurut melakukan ini dan itu. "Kara bakalan berhenti basket kalau Papa juga berhenti kerja! Papa harus berhenti kerja! Aku nggak mau selalu sendirian di rumah, apalagi Mama udah meninggal! Papa macem apa yang ngebiarin anaknya selalu sendirian?!" Mendengar perkataan yang terlontar dari mulut anaknya itu, Rian kontan mengangkat tangannya, hendak melayangkan tamparan di pipi Kara. Refleks, Karapun memejamkan mata sambil menggigit bibirnya kuat-kuat. Cewek itu sudah siap kalau harus menerima tamparan, karena itulah resiko yang harus ia terima kalau melawan apa yang papanya bilang. Merasakan tidak ada apapun mendarat di pipinya, Kara mulai membuka matanya perlahan. Ia melihat tangan papanya yang berhenti di udara. "Bilang sekali lagi," kata Rian. Suaranya dalam dan menusuk. Laki-laki paruh baya itu sedang mengatur napasnya yang menderu. "Papa macem apa yang ngebiarin anaknya selalu sendirian?! Papa macem apa yang selalu ngelarang anaknya melakukan hal yang dia suka?!" ulang Kara sambil terisak. Entah sejak kapan, air mata mulai mengalir deras di pipinya. d**a Kara terasa sesak, membuat cewek itu sedikit kesulitan untuk bernapas. Ia benci situasi ini. Kara selalu membenci saat-saat dimana ia bertengkar dengan papanya. Karena dengan begitu, ia malah lebih merasa seperti orang yang benar-benar sendirian, tanpa ada siapapun disampingnya yang akan menopangnya ketika ia terjatuh. Rian menghela napas panjang lalu memejamkan matanya tiga detik. Sejurus kemudian, laki-laki paruh baya itu membalikkan badannya memunggungi Kara. "Mulai sekarang, kamu bebas melakukan apapun tanpa harus minta izin lebih dulu pada Papa. Karena mulai detik ini, kamu bukan siapa-siapa Papa lagi." DEG. Jantung Kara serasa mencelos dari tempatnya. Cewek itu menatap punggung papanya dengan tatapan kosong. Ia nggak pernah menyangka sebelumnya kalau papa sanggup mengatakan hal yang mampu membuat hatinya serasa tertusuk ribuan benda tajam. Seolah belum cukup, Rian menambahkan, "semua yang tinggal di rumah ini, harus selalu mengikuti apa yang Papa bilang. Dan karena kamu ingin bebas, kamu boleh tinggal dimanapun sesuka hati kamu, tapi bukan disini," ucapnya seraya berlalu meninggalkan Kara yang masih mematung di tempat. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Kara masih bergeming tanpa bergerak atau mengucapkan sepatah katapun. Sampai pada akhirnya, cewek itu memejamkan mata lama sembari menghela napas panjang. Buliran-buliran bening yang dari tadi mendesak untuk keluar, kini mulai meluncur bebas di kedua pipi Kara tanpa bisa dicegah. Dengan ringkih, Kara mengayunkan kakinya untuk berjalan menaiki tangga, menuju ke kamarnya. Sepanjang perjalanan, Kara terus mengerjapkan matanya, mencegah banyaknya air mata yang keluar. Pikiran cewek itu terlampau kosong. Yang ada hanyalah gemaan dari ucapan papanya tadi. Setelah menutup pintu kamarnya rapat-rapat, Kara langsung mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Cewek itu mendial nomor seseorang yang kini dibutuhkannya. Terdengar nada sambung lama sebelum akhirnya orang disebrang sana mengangkat telponnya. "Halo? Aldan? Malem ini gue nginep, ya?" ucap Kara dengan suara yang dipaksakan ceria.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD