BAB 5 Berani Atau Bodoh? (2)

1107 Words
Suara ribut-ribut terdengar begitu nyaring di telinga Alfred. Matanya terasa berat dan kepalanya agak pusing. Ia sedikit kesulitan bernapas, tubuhnya seperti baru saja dihantam oleh apel super besar. Di tangan kirinya, ia merasakan jari-jari kurus dan langsing menggenggam erat tangannya, mungkin tak akan ada yang percaya jika genggaman tangan itu seolah-olah akan meremukkan jari-jarinya. "Di mana aku?" Alfred berusaha membuka mata, pelupuk matanya terasa berat sekali. Pandangan matanya masih kurang fokus, yang ada hanya bayangan kabur beberapa peri lainnya yang entah siapa yang memenuhi ruangan itu. "Kau di Pusat Perawatan Lily Fay, aku mendapat pesan darurat tentangmu. Awalnya aku tak percaya karena suara yang terdengar adalah suara Milena, namun begitu kau—" belum sempat Frida menyelesaikan kalimatnya, Alfred menarik tangannya dari genggaman Frida hingga membuat peri malang itu tersentak kaget. "Di mana Milena?" ia menggosok-gosok kedua matanya, dan mencari-cari Milena di antara kerumunan di depannya. Nada suaranya terdengar panik, tangannya mulai meraba-raba pinggiran tempat tidur. "Kau mau apa, Alfred?" Frida meraih kedua tangan Alfred tanpa sadar. "Lepaskan! Aku harus mencari Milena! Dia itu suka sekali bertindak nekat!" nada suara Alfred naik satu oktaf, hingga seluruh peri dalam ruangan itu ikutan-ikutan tersentak kaget. "Jangan bodoh! Saat ini keadaan di luar sana tak aman!" balas Frida, dadanya naik turun, saking tak sabarnya menghadapi kelakuan Alfred yang lagi-lagi kembali keras kepala. "Maka dari itu aku harus mencarinya, Frida! Aku harus mencegahnya sebelum dia melakukan tindakan bodoh!" Alfred berusaha bangkit dari tempat tidur, tapi tubuhnya berteriak kesakitan. "Harusnya kau mendengar perkataan pacarmu itu." seorang peri perempuan berkacamata aneh dan bertubuh super gemuk dengan sayap agak kecil, berjalan menuju mereka seraya membawa sesuatu di atas nampan. "Frida bukan pacarku!" kata Alfred spontan dan tegas. Frida yang mendengar perkataan itu merasa hatinya terluka, serasa diiris sembilu, ia ingin menangis sejadi-jadinya, kerumunan peri yang ada di ruangan itu membuatnya menahan kepedihan itu dalam-dalam untuk saat ini. Ia lebih mementingkan kondisi peri yang dicintainya itu ketimbang perasaannya yang luluh lantak sedari tadi sejak di Ibukota. Peri perempuan super gemuk itu menatap Frida dengan tatapan memelas dan kasihan, ia sempat membuat raut wajah sedih, lalu detik berikutnya bersikap biasa-biasa saja, lebih tepatnya cuek. "Sebaiknya kau jangan kemana-mana dulu. Sayapmu patah. Apa kau tak merasakannya? Artinya obat yang kuberikan tadi sudah mulai bekerja rupanya." ia meletakkan nampan itu di atas meja kecil di samping tempat tidur Alfred. "Apa dia baik-baik, saja, Mrs. Pompkin?" seorang peri pria dewasa dari kerumunan bertanya pada perempuan super gemuk itu, Alfred memicingkan matanya untuk melihat lebih jelas, tapi hasilnya nihil, pandangannya masih tetap kabur. Dari suaranya, Alfred bisa menebak itu adalah Mr. Kendrill dari Divisi Tim Medis Peri. "Yah..." Mrs. Pompkin menghela napas panjang. "Aku tak tahu dari mana Peri bodoh itu mendapat pil berbahaya semacam itu. Untungnya kalian membawanya tepat waktu. Aku tak bisa menjamin jika ia bisa dinetralisirkan jika kalian terlambat. Ramuan itu memang sangat manjur, tapi punya efek berkepanjangan yang tak bisa ditolerir." Ia memicingkan mata pada Alfred. "Kau nyaris jadi pangeran tidur, nak! Teman super bodohmu itu sepertinya suka mengoleksi ramuan-ramuan manjur berbahaya," lanjutnya dengan kata-kata pedas. Alfred mundur ketakutan dengan bahu terangkat, bukan, bukan karena mendengar kata-kata yang terlontar barusan, namun lebih kepada wajah Mrs. Pompkin yang bulat dipenuhi riasan super menor dan bibir merah super tebal, seolah-olah siap mendarat di wajahnya. Itu sungguh mengerikan. Alfred bergidik. "Meski begitu, aku harus mencegahnya ke jalan utama. Dia hendak melakukan hal konyol dan nekat!" kata Alfred tak sabar. "Nak, dengarkan perkataan mereka. Lagi pula dia tak bisa keluar kemana pun dari dunia peri, Para Tetua sudah memasang pelindung berlapis di perbatasan. Tak ada satu pun peri yang bisa keluar atau pun masuk dunia peri. Jadi, tenang saja." Tenang Mr. Kendrill santai. "Apa?" lengking Alfred, sontak mereka yang ada di ruangan itu nyaris berjengit bersamaan. "Apa maksud Anda dengan pelindung berlapis, Mr. Kendrill?" "Apa? Kau tak tahu? Semua peri tahu hal itu." keningnya mengkerut, heran. "Bukan! Bukan masalah itu!" Alfred menggeleng-gelengkan kepala keras-keras, kedua tangannya bergerak-gerak di udara. "Kenapa mereka tergesa-gesa memasang pelindung?" "Kau ini kenapa? Sudah barang tentu pihak kerajaan melindungi warganya!" Frida akhirnya naik pitam sendiri. "Oh, tidak! Tidak!" Alfred mencengkram rambutnya dengan kedua tangan, wajahnya terlihat bergitu merana. Jiwanya seolah-olah nyaris redup saat itu juga. "Ada apa?" selidik Mrs. Pompkin, dia terdiam sejenak, lalu mengerucutkan mulutnya, "Milena..." lanjutnya dengan nada mendesah pelan. "Apa? Ada apa lagi kali ini?" darah Frida mendidih mendengar nama tersebut, peri bodoh itu nyaris mencelakakan pria yang dicintainya. Ia tak bisa memaafkannya, sekalipun Milena mendapat hukuman Pengasingan Soliter—pengasingan dengan mencabut hak akan sayap yang dimiliki oleh seorang peri, benar-benar sangat keji dan tak berperasaan, membuat peri manapun yang mengalaminya tak bisa digolongkan lagi ke dalam dunia peri manapun dan derajatnya sungguh rendah dibandingkan peri jahat mana pun— kategori makhluk penghuni Dunia Limbo. "Tak adakah jalan untuk bisa menembus pelindung berlapis itu?" Alfred menarik ujung baju Mrs. Pompkin hingga nyaris robek. "Kau mau apa, Alfred? Untuk apa kau mau lakukan itu?" Frida mencengkeram tepian kasur kuat-kuat, ia nyaris kehilangan kesabarannya. "Dia di luar sana, bukan?" Ucap Mrs. Pompkin setenang air, ekspresinya terlihat cuek, matanya menatap Alfred tanpa ada sedikit pun rasa cemas seperti yang di rasakannya saat ini. "Milena." lanjutnya datar. "Apa?" Frida tersentak maju ke depan, keningnya bertaut. Ia memandangi Alfred dengan tatapan tak percaya. Spontan Frida berdiri, matanya melotot seolah-olah akan meninggalkan tempatnya. "Jangan bilang Si bodoh itu berkeliaran di luar sana hanya untuk bersenang-senang di saat genting seperti ini?! Apa dia benar-benar sudah kehilangan akal? Dan kau, Alfred! Akan menyusulnya juga? Kalian berdua memang cocok satu sama lain!" Frida mengepalkan kedua tangannya, pipinya menggembung, lalu menghentakkan kaki kuat-kuat ke lantai sebelum menerobos kerumunan yang ada di sana. "Minggir dari jalanku!" teriaknya marah. "Ada apa dengannya? Apa dia cemburu? Kau pacar Milena? Dan dia menyukaimu?" Mrs. Pompkin memandang Alfred dari balik kacamata, telunjuknya mengarah pada Frida yang mengambil langkah lebar-lebar menuju pintu keluar. "Lupakan saja hal itu. Apa Anda tahu cara menembus pelindung berlapis Para Tetua?" ujar Alfred tak peduli dengan kemarahan Frida, ia mengerjapkan mata sesekali, pandangan matanya mulai semakin baik dan jelas. "Anak muda, jangan berharap yang tidak-tidak. Kita tahu tak ada yang bisa merusak pelindung berlapis itu, apalagi menembusnya. Meski Milena sering menyusahkan kita semua, tapi aku berharap dia baik-baik saja di luar sana. Dia tak layak mati di tangan penyihir hitam. Dan aku yakin, dia bisa bertahan atau paling tidak bersembunyi dari penyihir itu. Milena anak yang cerdas terlepas dari kelakuannya yang sangat buruk." tukas Mr. Kendrill, suaranya dibuat sehalus mungkin, karena kini raut wajah Alfred lebih mirip seperti hantu daripada peri. Peri-peri lain kini mulai bisik-bisik satu sama lain, ada yang mengangguk setuju, ada yang menggeleng pasrah, dan selebihnya hanya berkomentar tak pasti
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD