BAB 5 Berani Atau Bodoh? (3)

1270 Words
"Tidak... Milena... apa yang kau lakukan?" Alfred meremas ujung depan rambutnya, wajahnya meringis mengingat kejadian buruk yang bisa saja menimpa Peri Pemarah itu. "Ngomong-ngomong, apa yang Milena lakukan di luar sana? Bagaimana dia bisa melewati pos perbatasan tanpa dicegat siapapun?" pikir Mrs. Pompkin, matanya menatap langit-langit ruang perawatan, detik berikutnya dia melirik Alfred dengan penuh kecurigaan. "Aku tak tahu apa yang sebenarnya yang ia sedang lakukan. Dia keras kepala soal cermin kejujuran." Alfred mendesah. "Cermin kejujuran?" Mrs. Pompkin agak terperanjat, sebagian peri yang ada di sana kasak-kusuk mendengar hal yang diucapkan Alfred barusan. "Sudah lama aku tak mendengar benda itu. Kupikir benda itu hilang saat perang besar melawan penyihir beratus-ratus tahun lalu. Tak ada yang tahu di mana gerangan cermin tersebut." Terang Mr. Kendrill, keningnya bertaut. "Yah… sudah cukup bicaranya mengenai benda yang sudah lama hilang. Benda itu sudah bukan milik kita lagi. Lagi pula, apa sebenarnya yang direncakan Milena dengan cermin tersebut?" Mrs. Pompkin menggerakkan telunjuknya ke arah sebuah lemari kecil di seberang ruangan, dan lemari itu tiba-tiba terbuka, diikuti dengan sebuah botol kecil berisi cairan merah melayang perlahan di udara. Botol itu melesat melewati tempat tidur Alfred dan mendarat dengan lembut di tangan kanannya. Ia mengamatinya dengan saksama, melirik Mr. Kendrill. "Beritahu Nona Pipsky, jika dia ingin menggunakan ramuanku, minta izinlah terlebih dahulu." Mr.Kendrill hanya meresponnya dengan memutar bola mata dan mendesah. "Dia bilang dia ingin mengambil cermin itu dari tangan penyihir yang memilikinya. Aku tak habis pikir apa yang sebenarnya yang tengah dilakukannya? Dia sungguh ceroboh dan bodoh kali ini. Apa dia tidak tahu betapa berbahayanya situasi saat ini?" Alfred memijat-mijat ujung keningnya, nada kesal keluar dari setiap kata yang terlontar. "Hah! Rupanya begitu." Kata Mrs. Pompkin seraya menuang isi botol tadi ke sebuah gelas berisi cairan kuning keemasan. Isi gelas itu secara perlahan berubah menjadi warna jingga yang menarik, permukaannya bergelembung sejenak, kemudian mengempis dan berdesis sebelum akhirnya diam statis. "Apa itu?" Alfred mengerutkan keningnya, ia mendapat firasat buruk mengenai cairan aneh itu. Mrs. Pompkin tak menjawab pertanyaan itu, malah menatapnya dari balik kacamatanya, bola matanya melirik ke arah Mr. Kendrill, sebelah keningnya terangkat. "Baiklah!" Mr. Kendrill mengedikkan bahu sejenak, dia berjalan menuju sisi Alfred dan tanpa tedeng aling-aling memelintir tangan Alfred ke belakang. "Ada apa ini? Mr. Kendrill!" teriak Alfred marah, ia meronta sekuat tenaga melepaskan diri. "Kau tak perlu mencemaskan peri buangan itu. Yang mesti kau perhatikan sekarang adalah kesehatanmu. Ramuan ini akan menyembuhkanmu dari efek samping obat Milena, aku menyebutnya 'ramuan tidur penyembuh'." Mrs. Pompkin terkikik sendiri. "Kenapa namanya 'ramuan tidur penyembuh'?" Alfred menelan ludah gugup. "Oh! Jangan cemas!" Mrs. Pompkin menyeringai lebar, "ini obat paling mujarab yang aku miliki. Tak ada efek samping apapun, tapi kau akan tertidur selama beberapa hari yang tak bisa ditentukan sampai tubuhmu benar-benar pulih. Tidak separah milik temanmu itu," katanya setengah berbisik, "dengan kata lain, kau menjadi Putri Tidur, anak muda." Dan dengan kalimat terakhir itu, ia mendesak cairan aneh itu ke mulut Alfred, tangan Mrs. Pompkin satunya membuka paksa mulutnya tanpa ampun. Seteguk demi seteguk, cairan itu meluncur turun ke tenggorokannya. Alfred berusaha melepaskan diri, gerakannya yang tak karuan membuat beberapa tetes cairan tumpah ke bajunya, matanya melotot marah memancarkan ketidakberdayaan. Detik berikutnya, Alfred merasakan kantuk luar biasa seperti sebuah alunan musik putri duyung yang indah mematikan, ia tergoda dengan sensasi itu meski dirinya melawan sampai batas kemampuan tertingginya. Ia hanya ingin mencari Milena, membawanya kembali pulang ke dunia peri dan mengungkapkan isi hatinya apapun yang terjadi, namun rencana itu kini tinggal keinginan hampa belaka. Peri itu kalah oleh rasa kantuk yang memabukkan, matanya yang semula perlahan kembali normal, kini kembali mengabur dan samar-samar mendengar Mrs. Pompkin berkata, "… percuma mencarinya. Dia mungkin sudah tewas di luar sana. Tidurlah yang nyenyak. Mimpi indahlah karena Milena adalah mimpi burukmu. Jauhilah mimpi buruk, itu hanya akan membuatmu bersusah hati…" Alfred tak mendengar kalimat selanjutnya, atau memang kalimat itu sudah berakhir sampai disitu, ia tak tahu. Kini matanya terpejam menuju dunia mimpi, dunia di mana ia akan terkekang tanpa batas hari yang tak bisa diketahui, sementara Milena di luar sana berkeliaran entah kemana. Hari-hari Alfred ke depan kemungkinan besar akan dipenuhi oleh mimpi-mimpi buruk daripada mimpi-mimpi indah seperti yang dikatakan oleh Mrs. Pompkin tadi. Kemungkinan ia akan terjebak oleh mimpi buruk yang tak bisa diketahui kapan akan berakhir. Hal itu lebih mengerikan daripada mengalami sayap yang patah. *** Cukup lama Milena terbang di sepanjang jalan utama. Hari sebentar lagi sore, namun hutan nyaris sunyi bahkan dari suara-suara terkecil apapun. Mungkin ini adalah hasil pengumuman resmi pihak Kerajaan. Informasi seperti itu biasanya akan mengalir seperti air dingin yang tumpah, ia akan menyebar kemana-mana dan tanpa henti, mengejutkan dan membuat siapapun bergidik. Dalam benaknya, Milena bertanya-tanya, apa yang sebenarnya yang diincar oleh sang penyihir itu? Para peri pada dasarnya merupakan pelindung dan penyeimbang hutan dan alam, maka dari itu para peri soliter dianggap hama karena sikap mereka yang suka seenaknya sendiri tanpa mempedulikan orang lain, tak jarang mereka juga bekerja sama dengan makhluk jahat lainnya. Apakah sang penyihir itu memiliki sekutu di dunia peri? Atau penyihir itu sedang merencanakan sesuatu untuk menerobos dunia peri? Apapun itu, Milena tak peduli, ia hanya mau mendapatkan cermin itu dan membuat onar lebih heboh dari sebelumnya. Mungkin dia bisa melihat rahasia siapa pun yang ia mau melalui cermin kejujuran itu dan memanfaarkannya, memeras misalnya. Milena tersenyum puas hanya dengan memikirkannya. Jarak yang dilaluinya lebih jauh dari sebelumnya, ia memasuki daerah perbatasan hutan terlarang. Daerah itu cukup dalam menuju jantung hutan. Pepohonan di sana, lebih tampak mati daripada merana karena pergantian musim. Cahaya yang masuk hanya sedikit melalui celah-celah ranting yang saling menumpuk layaknya tangan-tangan mati yang kering. Semakin dalam Milena terbang, cahaya semakin sedikit. Sebagai gantinya, dirinya yang seorang peri lebih bersinar dan menarik perhatian beberapa pasang mata dari balik kegelapan. Milena berusaha menampik rasa takutnya dengan memikirkan kemenangan super megahnya nanti. Ia terbang cukup lama di daerah itu, tapi hasilnya nihil. Dirinya tak cukup bodoh untuk memasuki daerah terlarang tanpa ada satupun pemandu—terlebih lagi hari semakin gelap. Maka diputuskannya kembali menuju jalan utama sebelum ia lupa jalan kembali. Kakinya mendarat pada salah satu pohon Oak besar, ia duduk melepas letih dengan kaki berselonjor ke bawah pada bagian terdalam batang pohon Oak, matanya memandang jalan utama di bawah. Sebelah alisnya tiba-tiba terangkat, ada bekas jejak kaki di tanah. Bukan jejak kaki baru, tapi cukup membuatnya yakin memang ada yang berkeliaran di hutan itu. Mungkin saja itu adalah jejak kaki sang penyihir, dilihat dari arah datangnya yang berasal dari daerah hutan terlarang dan mengarah ke jalan utama hutan. Hatinya hendak mengikuti jejak tersebut, tapi dia lebih memilih menunggu sambil mengistirahatkan kedua sayapnya yang lelah terbang seharian. Dia memang tak cocok jadi peri pekerja. Sembari menunggu sang penyihir, ia menghela napas panjang, memikirkan berbagai cara agar bisa mendapatkan cermin kejujuran. Ketika senja tiba, sang penyihir belum juga terlihat, ia mulai ragu jika jejak kaki itu milik sang penyihir. Mungkin saja itu jejak kaki pemburu yang sedang mencari hewan buruan di hutan. Tapi, jejaknya hanya satu arah? Sungguh berani jika ada manusia yang mengelilingi hutan lalu terjebak di hutan terlarang dan berhasil keluar pada akhirnya! Bagaimana jika begitu? Rasa kesal menggelayut di hatinya, ia melipat tangan di d**a dan menggembungkan sebelah pipi. "Ini sungguh menjengkelkan," katanya dengan nada tak sabaran, "menunggu seperti ini rasanya seperti bertahun-tahun!" Saking lelahnya, ia memutuskan akan berjaga di sekitar pohon. Berjaga sepertinya bukan hal yang mudah. Pelupuk matanya semakin berat, ia menguap sekali dan memutuskan tidur dengan tas ransel sebagai bantalnya. Masih ada hari esok. Berkeliling hutan di malam hari bukanlah ide yang bagus. Ia tidur menghadap jalan utama, jaga-jaga jika sang penyihir tiba-tiba muncul tanpa peringatan.[]  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD