BAB 6 Membuntuti Penyihir (2)

1605 Words
Kening Milena tiba-tiba bertaut. Meski telah membuka portal aneh di hutan dan menampilkan istana yang mungkin saja adalah istana terindah di dunia, sang penyihir tidak menjejakkan kakinya selangkah pun ke dalam istana itu, malah berbelok ke kanan di mana sebuah pondok kecil reyot dengan sumur tua di depannya. Milena memaksakan sayapnya untuk mengikuti ke arah itu, dan meringis kesakitan. Ujung sayapnya yang patah mengirim sinyal-sinyal perih ke sekujur tubuhnya ketika terkena angin. Sebelum menjangkau batas sumur tua itu, tangan kanan sang penyihir bergerak-gerak di udara kosong, tampak sebuah kilasan biru elektrik menyerupai kubah perlahan muncul, membelah terbuka secara pasti mulai dari puncak tengah hingga menyentuh tanah. Pelindung, eh? Pikir Milena mengelus dagunya. Ia mendengus, sungguh beruntung dirinya pada saat-saat seperti ini. Sangat jarang seseorang bisa memasuki rumah penyihir yang memiliki pelindung, utamanya pondokan penyihir kegelapan. Selama beberapa saat, sang penyihir tak bergerak. Ia hanya berdiri mematung. Dengan nuansa mengerikan, ia menggerakkan kepalanya ke kanan, tampak mengamati sesuatu. Lalu, dengan kepala tertunduk, dan menatap isi keranjang rotannya. Milena sampai terheran-heran. Apa sebenarnya yang dilakukan oleh si penyihir itu? Dan apa yang ada di dalam keranjang rotan itu sebenarnya? Sayap Milena mulai tak kuat untuk mengepak, ia butuh istirahat secepat mungkin. Menelan pil pereda rasa sakit hanya akan membuatnya tertidur saat ini, artinya kesempatan langka akan lepas dari genggamannya kapan saja. Masuklah! Masuklah! Masuklah cepat ke dalam pondok jelekmu itu! Dasar penyihir bego! Umpat Milena dalam hati. Seolah-olah mampu mendengar umpatan Milena, sang penyihir melangkahkan kakinya memasuki pondokan, membuka pintu dan membantingnya ketika Milena nyaris memasuki pintu itu. Buk! Milena menabrak pintu dengan kepalanya. Dengan keadaan sayapnya yang patah, ia tak mampu mengendalikan berat tubuhnya, terjatuh ke keset kaki sang penyihir begitu saja. "Ouch!" rintihnya kesakitan, "penyihir itu keterlaluan! Membanting pintu seenaknya! Rupanya ia sedikit bermoral juga dengan memiliki keset kaki di depan pintu!" Milena memegang bahu kirinya yang kesakitan. Untung saja sayapnya tak patah, hingga tak perlu mengalami hal serupa dengan nasib Alfred. Ketika dibandingkan dengan nasib peri lelaki itu, ia kini lebih memilih sayap yang patah daripada sayap yang cacat! Milena berdiri, menoleh ke belakang untuk melihat sayapnya yang kini terpotong sempurna. Apa kali ini dia akan mendapat julukan Peri Cacat, ketimbang Peri Pemarah? Penduduk desa pasti senang dengan hal ini! Pikiran itu semakin membuat Milena kesal. Ia melipat tangan di d**a. Rasa sakit dan kepala yang berdenyut membuatnya ingin membakar pondok penyihir itu, niat itu hilang dalam sekejap ketika bayangan cermin kejujuran terlintas di benaknya. "Sebaiknya ini sepadan!" ucapnya kesal, lalu terbang mengelilingi pondokan sang penyihir meski dengan keadaan tak seimbang. Ia memeriksa keadaan sekitar pondokan tersebut, mungkin saja ada jendela yang terbuka walau hanya sedikit. Itu sudah cukup baginya untuk masuk. Rasa kecewa dan putus asa memenuhi benaknya, tak ada satupun jendela yang terbuka. Ia bisa saja melempar batu ke arah jendela itu dan membuat keributan. Namun, menarik perhatian bukanlah tujuan utamanya. Milena berpikir keras. Mengintip isi pondokan itu saja tak bisa—tirai putih menutupi semua jendela. Pondokan jelek semacam itu, harusnya memiliki celah untuk dimasuki. Kaca yang pecah atau apapun, ataupun juga sebuah lubang tikus jika ada! Sesaat Milena nyaris girang memikirkan ide 'lubang tikus', tapi surut ketika mengingat tikus merupakan salah satu bahan untuk ramuan penyihir atau apalah yang berkaitan dengan sihir. Sangat kecil kemungkinan ia membiarkan ada tikus hidup berkeliaran di dalam pondokannya. Milena menghela napas panjang, perlahan turun menuju keset tadi dan duduk bertopang dagu selama beberapa menit di sana. Suasana di sekitar pondokan itu sangat tak mengenakkan. Meski di sisi lain adalah hutan, namun hutan itu tampak tak berpenghuni, gelap, mengerikan, dan memiliki aura mematikan di mana-mana. Tanpa disadarinya, malam sudah tiba. Tak ada tupai atau suara serangga malam itu. Berbanding terbalik dengan di hutan tempat tinggalnya, hutannya sungguh berisik, sampai-sampai ia harus memasang penutup telinga di malam hari. Utamanya beberapa burung hantu yang kadang hinggap di pohon rumahnya. Terkadang ia harus menjahili burung hantu itu agar pergi menjauh dari rumah pohonnya dan tak kembali. Burung? Satu kata itu mengusik batinnya. Sebuah senyum kecil terpasang di wajahnya yang indah. Bola matanya membesar, wajahnya sungguh berseri-seri, seolah-olah sesuatu tiba-tiba saja menjadi obat bagi semua penderitaan yang dilaluinya beberapa saat lalu. Hatinya berdebar tak karuan, ia sungguh bersemangat. Adrenalin memenuhi tubuhnya bagaikan aliran lava yang mengalir ke seluruh penjuru syarafnya. Ia menegakkan tubuh, sayap terbentang lebar. Dengan sekali hentakan, ia menerjang udara bebas di depannya, melakukan putaran di udara kemudian terbang menuju atap pondokan sang penyihir. Matanya berseri-seri, nyaris saja ia berteriak kegirangan saat itu. Apa yang dipikirkannya ternyata benar! "Jendela bundar di atap!" ia memicingkan mata, tersenyum kecil. Perlahan ia mendekati jendela kecil yang ada di depan atap pondokan itu. Milena was-was jika saja pintu itu ikut-ikutan terkunci. Tangannya menyentuh salah satu ujungnya dan seketika itu juga dadanya merasakan sensasi aneh luar biasa, sesuatu yang hangat seolah-olah ingin membuncah keluar dari dadanya. Ia kegirangan luar biasa! "Yeay!" pekiknya dengan suara tertahan, tangannya mengepal kuat di udara. Rupanya ada sebuah jendela bundar kecil di atap pondokan itu. Kenapa ia tak memeriksanya sebelumnya? Mungkin ia terlalu tergesa-gesa dan tak perhitungan dalam bertindak kali ini. Jantungnya berdebar keras. Ini adalah pertama kalinya akan memasuki rumah seorang penyihir. Ia mengintip sejenak. Aman. Pikirnya dengan perasaan girang. Peri itu menggeser ujung jendela lebih dalam dan mendaratkan kedua kakinya di kusen jendela. Menghela napas sejenak, lalu terbang perlahan memasuki ruangan tersebut. Di lihatnya kiri kanan ruangan itu dengan saksama. Ruangan kerja si penyihir! Sungguh beruntungnya dia! Ia terkikik sendiri memikirkan hal itu. Tak ada hal yang menggembirakan di dalam ruangan itu. Hanya nuansa coklat gelap, hitam, dan ramuan-ramuan warna-warni di dalam botol-botol besar dan kecil, serta bau aneh yang apak di udara. Ia mengernyitkan hidung. Di sudut ruangan terdapat lemari hitam yang cukup besar setinggi manusia dewasa. Ada sebuah sapu tergeletak dengan gagang yang patah di sampingnya. Kening Milena bertaut. Apa yang dilakukannya pada sapu itu hingga terbelah dua begitu? Matanya memandang ke seluruh penjuru ruangan itu, memicingkan mata. Cahaya di dalam ruangan itu sangat buruk. Hanya ada sebuah lilin yang menerangi ruangan itu di atas meja. Di meja itu ada buku-buku tebal bersampul kulit yang sudah usang, sebuah jam pasir, lumpang kecil, beberapa perkamen yang digulung, sebuah tengkorak, sebuah pena bulu, rak kecil yang berisi botol-botol ramuan kering, dan beberapa benda aneh yang tak pernah dilihat Milena sebelumnya, dan tak mau terpaksa memeriksanya lebih jauh—terlalu mengerikan dan gelap. Lalu selanjutnya, ada sebuah kotak kecil dengan ukiran aneh di atasnya berada di sisi buku mantra yang terbuka lebar. Di buku itu terdapat gambar pentagram rumit dan mungkin instruksi mengenai pentagram tersebut di halaman selanjutnya. Terdapat beberapa meja lagi di dalam ruangan itu dengan botol-botol besar berbagai bentuk dengan berbagai warna cairan yang mengisinya, sepertinya itu meja kerja sang penyihir. Salah satu meja kerja itu berada di dekat meja yang sebelumnya, terdapat sebuah timbangan timah yang telah digunakan—ada sisa-sisa bubuk hitam yang menempel pada salah satu dasarnya. Lalu ada sebuah lumpang lagi, kali ini agak besar. Beberapa kotak berisi botol-botol dengan berbagai macam bahan ramuan kering dan cair. Di tengah-tengah ruangan terlihat sebuah kuali besar—yang isinya sedang kosong rupanya. Sebuah rak besar berisi stoples yang berjejer di dinding di dekat lemari hitam membuat otaknya mengingat sesuatu yang tak menyenangkan. Isinya tak begitu jelas, cahaya lilin tak menyentuh dengan jelas isi botol-botol tersebut, akan tetapi Milena yakin itu bukan hal bagus yang ingin dilihatnya dengan kedua matanya saat ini. Pikiran dirinya diawetkan berada dalam stoples dingin itu menghantui benaknya, hatinya sungguh kesal dengan hal itu, kedua tangannya tiba-tiba menjadi dingin. Semua ini gara-gara penjaga bertubuh kurus itu! Menyebut-nyebut peri yang diawetkan dalam stoples segala! Selama beberapa menit Milena mengelilingi ruangan itu. Isinya sungguh menarik, meski sangat menyeramkan bagi siapapun yang berpikiran normal tentunya. Ada sebuah tangga di sebelah kanan pintu ruangan itu, tampaknya menghubungkan sisi lain dari pondok—sebuah menara kecil memang terlihat dari luar pondokan sang penyihir, entah untuk apa dan ada apa di sana, saat ini ia tak mau ambil pusing. Di sisi tangga, di dekat rak botol-botol mengerikan, sebuah bola Kristal memantulkan proyeksi cahaya lilin dari arah meja. Ia hendak memeriksanya ketika sebuah derap langkah kaki terdengar menaiki tangga, rasa panik menyerangnya. Ia harus bersembunyi! Matanya sibuk mencari-cari tempat persembunyian yang jauh dari kecurigaan sang penyihir. Ia terbang ke sana kemari dengan perasaan panik dan was-was, tubuhnya yang oleng di udara membuatnya sedikit pusing dan mual. Derap langkah kaki itu terdengar semakin dekat. Milena tak tahu harus bersembunyi di mana. Pikirannya rasanya kacau saat itu. Ia berhenti di tepian kuali, mengamati keadaan sekitarnya, napasnya naik turun, lalu menarik napas perlahan, menutup mata dan melihat ke sekelilingnya sekali lagi, lebih fokus dari sebelumnya. Suara kenop pintu di buka, tapi nampaknya terkunci. Suara gemerincing kunci yang ditarik memenuhi keheningan dari balik pintu. Milena berbalik menatap pintu itu, menelan ludah pahit. Klik! Suara kunci pintu terbuka. Kenop berputar dan sebuah sepatu lancip melangkah masuk. Si penyihir membuka tudungnya. Rambut hitamnya tergerai panjang menutupi kedua sisi wajahnya yang sangat cantik. Dari balik lemari, Milena mengintip sang penyihir yang baru memasuki ruangan. Baru kali ini ada seseorang yang ia yakini bisa menyaingi kecantikannya di dunia peri. Penyihir itu tampak mengendus sesuatu sejenak, lalu melihat ke arah bola Kristal—sekiranya seperti itulah menurut Milena dari sudut pandangnya yang agak terbatas. Semula si penyihir melangkah ke sebelah kiri, tapi tampaknya ia berhenti sejenak, ragu. Kemudia berbalik, berjalan menuju meja bacanya dan meraih kotak kecil. Dielusnya sebentar, kemudian dengan senyum mengerikan di wajah cantiknya, ia membuka kotak itu. Kekesalan bertalu-talu memenuhi benak Milena. Ia tak tahu isi kotak kecil itu, rasanya sungguh menjengkelkan! Ia menggelengkan kepala, bukan itu tujuannya kemari. Yang ia inginkan adalah cermin kejujuran! Fokus Milena! Fokus! Ujarnya pada diri sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD