BAB 6 Membuntuti Penyihir (3)

2023 Words
Penyihir itu memandangi isi kotak selama beberapa saat. Apapun isinya, tampaknya sangat berharga bagi sang penyihir. Apakah benda di dalam kotak itu adalah cermin kejujuran yang sedang dicari-carinya? Artinya cermin itu tak terlalu besar seperti dugaannya, ia bisa menggunakan bubuk ajaibnya. Bubuk ajaib miliknya berlaku jika benda yang ditaburi bubuk tersebut tak lebih berat dari orang yang menabur bubuk tersebut—Aturan penggunaannya memang seperti itu. Di buku panduannya menjelaskan agar debu-debu ajaib diberi aturan agar tidak disalah gunakan. Bagaimana jika bukan cermin itu? Pikiran ini mengganggunya. Jika cermin itu lebih besar dari yang ia bayangkan, maka ia harus putar otak untuk mencurinya. Kalau tak bisa mencuri cermin itu, dia punya ide lain yang lebih menggoda. Terbersit di pikiran Milena untuk mencuri apapun isi dari kotak tersebut. Mungkin, mungkin saja itu bisa membuat segala penderitaannya setimpal! Ia tersenyum kecil memikirkan ide itu. Ia tak ingin rugi sedikitpun dengan segala hal yang telah dilaluinya dan pulang dengan tangan kosong! Setelah cukup lama memandangi isi kotak itu. Sang penyihir menutup dan menaruhnya kembali pada tempatnya. Buku mantra terbuka yang ada di atas meja, disentuhnya sesaat lalu berjalan menuju meja yang penuh dengan berbagai macam botol-botol ramuan. Milena tak bisa melihat dengan saksama apa yang tengah dilakukan oleh sang penyihir karena memunggunginya, rasanya ia ingin melempari punggung sang penyihir dengan buah arbei, semua itu gara-gara buah arbei sialan! Ia kini terjebak dalam lemari hitam penyihir yang demi hutan yang luas, entah apa isinya! Pupil Milena melebar, sang penyihir tengah berjalan menuju lemari hitam tempat persembunyiannya. Gawat! Pekiknya dalam hati. Ketika tangan kanannya hampir menyentuh lemari, sesuatu yang aneh terjadi pada tangan kiri sang penyihir. Seketika itu juga sang penyihir memekik, memegang tangan kirinya yang membuat Milena ngeri setengah mati. Tangan itu terlihat seperti tangan nenek-nenek, kurus dan berkeriput sebatas pergelangan dan perlahan merambat naik sebatas siku. Ada apa dengan sang penyihir itu? Apa dia terkena kutukan atau salah meramu ramuan? Apakah ia terkena racun? Pertanyaan demi pertanyaan bergelayut di hati Milena. Bagaimanapun juga, tak ada satu pun penjelasan mengapa tangan si penyihir menjadi seperti itu, jadi ia hanya mengabaikannya saja dan tak mau ambil pusing. Toh, sekali lagi itu bukan tujuannya datang ke tempat itu. Raut wajah sang penyihir terlihat gusar sesaat, detik berikutnya ia menghela napas dan mengerang kesal. Niatnya untuk membuka lemari sepertinya diurungkan, ia berbalik kembali menuju meja yang penuh dengan botol-botol ramuan, mengambil sebuah botol berwarna merah, meneguknya sampai habis dan melempar botolnya ke lantai. Milena berjengit. "Ini tidak berguna!" raungnya murka. Wajah cantik sang penyihir sepersekian detik berubah menjadi wajah yang mengerikan, lalu normal kembali. Dadanya naik turun seirama dengan emosinya yang makin meluap-luap. Tampaknya sang penyihir punya masalah dengan kecantikan. Milena terkikik dengan menutup mulut. Dia bukan saingan apa-apa bagi Milena kalau begitu! Ia kembali melangkah menuju arah lemari tempat persembunyian Milena. Kali ini walau bukan untuk membuka lemari, hati Milena berdegup kencang. Sang penyihir meraih sapu yang patah dan dengan langkah tergesa-gesa menaiki tangga. Milena membuka sedikit lemari dan mengintip ke arah perginya. Suasana hening. Ia menelan ludah berat. Matanya melirik kotak yang berada di atas meja. Ia bisa mengambil apapun isi dari kotak itu sekarang, tapi sang penyihir akan segera tahu ada yang memasuki pondokannya. Hal terburuk yang dipikirkannya adalah sang penyihir akan memeriksa seluruh ruangan dengan mantra kegelapan, kemungkinan besar ia akan tertangkap. Lalu? Lalu apa? Diawetkan dalam stoples kaca dingin? Terkungkung sendirian dalam kegelapan tanpa cahaya hangat mengenai kulitnya? Segala kegembiraan dan kesenangan direnggut darinya hanya demi menjadi bahan ramuan penyihir kegelapan? Membayangkan hal itu membuat tenggorokannya kering, isi perutnya serasa jungkir balik. Suara langkah kaki terdengar menuruni tangga. Derap langkah itu terdengar pelan dan mantap. Milena buru-buru kembali bersembunyi. Dilihatnya sang penyihir membopong sebuah kotak yang lumayan besar. Ukiran di kotak itu lebih rumit dengan hiasan emas di segala sisinya. Kotak yang sangat indah! Mata Milena berbinar. Suara gedebuk terdengar ketika kotak itu diletakkan di atas meja yang penuh dengan botol-botol ramuan. Kotak itu terlihat lebih rumit dari yang ada sebelumnya. Ada huruf-huruf rune kuno yang terukir di setiap sisinya. Di bagian atas terdapat sebuah kombinasi yang mungkin seumur hidupnya tak akan bisa ia pecahkan. Sepertinya kotak itu terbuat dari besi. Peri alergi terhadap besi. Benda itu bisa jadi masalah buatnya. Pertanyaan besar mengusik batinnya: Benda apa yang paling berharga yang ada dalam kotak itu lebih dari isi kotak sebelumnya? Bahkan ada huruf-huruf rune kuno dan kombinasi palang aneh sebagai pelindungnya? Apakah buku sihir paling gelap? Atau harta yang memiliki kekuatan paling hebat yang pernah ada? Milena bergerak-gerak gelisah di balik lemari, ia sangat penasaran dengan isi kotak itu. Sang penyihir menggerak-gerakkan tangan kanannya pada bagian atas kotak berhuruf rune itu. Ia mendendangkan sebuah mantra yang hanya berupa bisikan, lalu sebuah cahaya ungu hitam gemerlap bersinar keluar dari bagian atas kotak itu. Tangannya membuka kombinasi yang ada tanpa menyentuhnya, palang-palang itu bergerak sendiri bagaikan ular yang menari-nari riang mengejar mangsanya, berputar dengan arah yang membingungkan, kadang ke kiri, ke kanan, ke bawah, ke atas, lalu bergerak bersamaan ke arah tertentu hingga sebuah batu permata merah muncul di tengah-tengah kotak. Ia menekan batu permata itu, kotak itu membuka dengan cara yang sangat unik—Bukan seperti kotak pada umumnya yang terbuka dari atas. Kotak ini terbuka pertama dari depan, beberapa pola balok bergerak maju mundur soeolah-olah mencocokkan suatu kombinasi lain. Sebuah garis lurus membagi bagian depan kotak itu, dilanjutkan dengan suara 'klik'. Sisi depan kotak itu terbelah dua, membuka secara perlahan dan memperlihatkan sebuah kombinasi lagi. Milena nyaris berteriak dengan kegilaan kombinasi pada kotak itu. Kenapa tidak menggunakan kotak biasa saja dan memantrainya? Seberapa pentingkah isi dari kotak itu? Kombinasi berikutnya terlihat berupa kotak-kotak yang ditumpuk tak beraturan, sisi-sisinya sama sekali tak satu arah. Ia membisikkan mantra lain, meniupkannya pada kombinasi itu dan menggerakkan telunjuknya di tengah-tengah, seolah-olah membagi kombinasi itu menjadi dua bagian, atas dan bawah. Pada mulanya, kotak itu bergerak-gerak gila tak terkendali, lalu diam statis. Hal berikutnya yang terjadi, kotak-kotak tak beraturan itu bergerak-gerak liar, saling berputar berlawanan arah satu sama lain. Dan bunyi 'klik' terdengar tiga kali sebelum akhirnya sebuah desisannya terdengar dan kotak terbuka separuh. Kemarahan dan kemurkaan sang penyihir beberapa saat lalu kini berganti dengan suara tawa melengking yang membuat bulu kuduk merinding. Apa isi kotak itu hingga membuat sang penyihir begitu senang? Pikir Milena. Sang penyihir membuka tutup kotak itu dengan perlahan, lalu meraih sebuah cermin dengan sebuah batu rubi biru di puncak tengahnya. "Itu cerminnya!" spontan Milena memekik setengah berbisik di dalam lemari. Tanpa di duganya, sang penyihir berbalik ke arah lemari. Mata sang penyihir berubah awas. Wajahnya tegang, tapi Milena lebih tegang lagi. Bukan suaranya yang membuat sang penyihir sadar ada yang aneh di dalam ruangan itu, semua itu gara-gara ia memekik sambil melompat ke belakang, hasilnya ia mengenai sesuatu hingga bunyi gedebuk terdengar dari dalam lemari. "Apa itu?" ucap sang penyihir curiga, matanya memicing tajam. Panik menyerang Milena, tenggorokannya terasa berduri. Seluruh tubuhnya mendadak dingin, perutnya seperti tertekan sesuatu yang berat. Ia tak sanggup mengerakkan satu anggota badan pun saat ini, membeku dalam ketakutan. Bola matanya membesar. Dari jauh ia melihat sang penyihir berjalan ke arahnya, ia harus memikirkan sesuatu atau akan tertangkap basah memasuki tempat terlarang bagi peri. Milena mengumpulkan seluruh tenaganya dan berusaha fokus, dadanya berdegup begitu kencang hingga ia takut-takut sang penyihir mengetahui keberadaannya hanya dengan suara detak jantungnya. Tangannya gemetar hebat, diraihnya sebuah kantong kain dan merogoh isinya lalu menaburkannya pada seluruh tubuhnya. Ia berkonsentrasi memikirkan sesuatu yang sering ada di tempat penyihir. Sialnya ia tak bisa berkonsentrasi dengan baik! Pikiran bahwa dirinya akan menjadi koleksi dalam stoples selanjutnya, membuat otaknya diperas dengan berbagai macam skenario buruk. Kenapa debu berwarna hijau gelap lebih susah dipakai ketimbang debu berwarna ungu, sih? "Mari kita lihat ada apa di dalam sini?" kata si penyihir dengan cengiran lebar. Si penyihir membuka lemari dan menemukan seekor tikus abu-abu besar gendut tengah mengendus-endus sudut lemari---pikiran Milena akhirnya fokus dan mungkin bukan hal yang patut dibanggakan, ia hanya mampu memikirkan tikus di saat lemari terbuka. Dalam hati ia mengumpat kesal. Kenapa harus tikus? Kecoak mungkin lebih cocok! Dia bisa bersembunyi di balik botol atau benda apapun, tidak dengan penyamarannya saat ini. Tikus! Seekor tikus! Tikus gendut pula! Sungguh memalukan! Gerutunya kesal. "Ah! Seekor tikus!" kata si penyihir itu dengan suara dalam dan penuh ketenangan. Milena tak melihat bagaimana reaksi wajah sang penyihir, ia takut jika menatap matanya maka ia akan ketahuan kalau bukan tikus sungguhan. Melalui tatapan, seseorang mampu menembus hati orang lain, hal itu yang paling ditakutkannya selama ini. Dan hal itu salah satu alasan mengapa ia tak suka bergaul dengan warga desa. Peri itu tak suka mendapat belas kasihan dari pancaran matanya yang penuh dengan drama dan tangis di masa lalu. "Sungguh tikus yang sangat gemuk, eh?" ia meraih Milena dan memandangnya dengan seksama, tapi Milena hanya gemetar ketakutan dan menutup matanya dengan kedua tangannya yang kini begitu mungil dan bercakar tajam. Tindakan paling berani yang mungkin dilakukannya adalah mencakar wajah cantik sang penyihir, kemudian akan berusaha melarikan diri sebelum kemurkaan sang penyihir menyihirnya hingga hanya tersisa bekas gosong di lantai. Skenario yang berputar dan bermain-main di otaknya kini semakin menjadi-jadi. Horor menghantui jiwa dan otaknya. Jika ia tidak dalam bentuk tikus, ia yakin seluruh tubuhnya akan dingin seperti es. Oh, Alfred! Maafkan, aku! ucapnya dalam hati penuh penyesalan. "Kau tikus yang berani rupanya." ia mengelus Milena yang ketakutan dengan penuh kasih sayang. Hal baik sempat terbersit di benaknya mengenai penyihir itu. Mungkin ia tak seburuk perkiraan semua orang? Sebuah harapan perlahan muncul ke permukaan, tapi hatinya tiba-tiba mencelos saat sang penyihir meraih sebuah kandang di lantai, menaikkannya ke meja yang penuh dengan botol-botol ramuan, lalu membuka pintu kandang. Mimpi buruk! Neraka! pekiknya dengan perasaan horor. Seberapa keras ia memekik, yang terdengar hanya berupa cicit tikus yang tengah memberontak dengan tubuh semakin lemah mendekati kandang tersebut. Kandang itu terbuat dari besi. Peri alergi dan lemah terhadap besi. Sekujur tubuh Milena terasa lemas dan beruntung ia masih dalam bentuk tikus, jika ia kembali dalam bentuk peri-nya, maka sekujur tubuhnya akan mulai memerah dan mengelupas. Sang penyihir tertawa terbahak melihat Milena yang terkulai lemas. Ia mengunci pintu kandang dan mengamati Milena yang masih dalam bentuk tikus. "Ini lebih mudah dari yang kubayangkan. Kau benar-benar tikus yang bodoh." seru sang penyihir dengan nada penuh kemenangan. Milena terkejut. Apa maksudnya itu? Ia hendak melihat sang penyihir dengan saksama dan mengamati ada apa sebenarnya? Apa yang dimaksudkan sang penyihir dengan 'lebih mudah' tersebut? Apa dia sudah tahu sedari awal kalau ia adalah peri yang sedang menyamar sehingga dimasukkan ke dalam kandang besi? Benarkah itu? Mata Milena tampak berair, entah ia mulai menangisi hidupnya atau karena kini besi di bawah perutnya mulai terasa hangat menyakiti kulitnya. Sihir dari debu yang dimilikinya bertahan sesuai dengan kekuatan fisik dan mental sang pengguna, dengan tubuh yang semakin lemah setiap detiknya, ia tak akan mampu mempertahankan sihir debu tersebut. Milena benar-benar tergolek tak berdaya di dalam kandang. Oh, sungguh memalukan dan tragis.... "Aku masih punya kesibukan lain. Jadi jangan berusaha kabur dari kandang ini." ia mengguncang-guncang kandang, tubuh Milena berguncang tak berdaya mengikuti arah guncangannya. Pandangan matanya mulai kabur, kepalanya terasa sakit berdenyut. Milena yakin beberapa detik lagi ia akan kehilangan kesadaran. Setelah puas mengguncang kandang Milena, ia berjalan menaiki tangga dan menghilang dari balik tembok bundar. Rupanya, inilah akhir dari Milena, Si peri pemarah yang terkenal itu.... Akhir yang tragis.... Ia ingin memutar waktu dan memperbaiki semuanya.... Tapi, apakah kesempatan kedua itu akan datang kepadanya? Milena ingin hidup bahagia dan berkumpul bersama yang lain, bukannya menyendiri dan menyembunyikan perasaannya yang menyedihkan dengan cara berbuat onar di mana-mana... Peri cantik itu terisak sejenak, airmatanya mengalir menuruni kedua pipinya yang berbulu kelabu. 'Aku berharap diriku bisa berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya...' Ucapnya dengan tulus, meski yang terdengar hanya berupa cicit lemah tak berarti. Detik berikutnya ia terlelap dalam keheningan malam. Di meja satunya, dari dalam kotak kecil sebuah cahaya hijau bersinar keluar dari sela-sela kotak selama beberapa saat. Hal itu sepertinya mempengaruhi cermin kejujuran yang tergeletak di atas buku mantra, karena batu rubi yang ada di cermin itu berkilau sekali dan di cermin menampilkan seorang lelaki muda tengah berlari melewati lapangan luas. Gambaran itu hanya bertahan tak kurang dari lima detik, lalu cermin itu kembali normal. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD