BAB 7 Tipu daya Sang Penyihir (1)

1538 Words
Sekujur tubuh Milena terasa sangat berat, lelah, dan nyeri sekali. Sayapnya yang cacat, kini bukan apa-apa lagi dibanding rasa sakit yang menyerangnya. Ia membuka mata perlahan, agak kabur, tahu dan sadar apa yang telah terjadi. Akan tetapi, otaknya masih belum mau menerima kenyataan itu.  Milena ingin terlelap selamanya saja. Mungkin ia sedang dihukum oleh karma, bahkan untuk tertidur lelap selamanya ia tak bisa. Bau tak sedap berputar-putar dalam ruangan, menusuk hidung seperti bau bangkai. Milena mengerang lemah.      Takdir macam apa ini? Konyol sekali... Keluhnya dalam hati. Ia sudah kembali ke bentuk aslinya. Tubuhnya yang semakin lemah serta kulit yang memerah dan terkelupas membuat dirinya tak mampu bergerak sama sekali.  Mati saja sekalian... Pikirnya sarkastik. Tanpa peringatan, sang penyihir menguncang kandang, membuat Milena tambah merana. Tubuhnya menggelinding ke kiri dan ke kanan. Milena mengintip melalui celah mata kanannya, cahaya dari jendela bundar tampaknya menandakan hari sudah sore. Apakah ia pingsan sebegitu lamanya? Besi memang hal yang mengerikan bagi para peri. "Bangun peri pemalas!" seru sang penyihir. Milena ingin bangun, kabur, dan melupakan soal cermin kejujuran yang ada di depan matanya. Secara harfiah, ada di depan matanya! Sang penyihir membuka kandang dan meraih Milena dalam genggamannya. Ia menatap Milena yang terkulai lemas. "Kau peri terbodoh yang pernah kutemui selama ini." Sang penyihir tertawa terbahak. Usai tertawa terbahak, ia meletakkan Milena di samping kandang—tahu bahwa peri yang kontak langsung dengan besi cukup lama memakan waktu untuk kembali pulih, ditambah saat ini Milena diletakkan di samping kandang yang terbuat dari besi.  Peri itu tak sanggup berbuat apa-apa. Apa dia akan diawetkan? Apakah ramuan busuk yang dibuat sang penyihir adalah ramuan untuk mengawetkannya? Ia melihat penyihir itu melenggak-lenggok di dalam ruangan sambil meraih berbagai bahan yang dimasukkan ke dalam kuali satu persatu. Milena memejamkan mata. Berharap bahwa semua ini hanya mimpi buruk. Berharap bahwa ia ada di tepi sungai bersama Alfred, masih beragumen mengenai niatnya mencuri cermin kejujuran. Senyum putus asa terpasang di wajahnya sesaat. Semua sia-sia.... Tak ada yang bisa menolongnya saat ini.... Hanya kematian yang diharapkannya menjadi penolong nomor satunya. Tapi, apakah kematian akan berlaku kejam atau lembut padanya? Adakah kematian yang lembut?  Sang peri membuka mata. Penyihir itu tampak duduk di kursinya dengan kotak kecil di tangan. Ekspresi wajahnya tampak bingung. Ada apa? Ada yang berjalan tak sesuai rencananya? Alih-alih tertawa, Milena terbatuk-batuk dan membuatnya menarik perhatian sang penyihir. "Kau sudah sadar sepenuhnya, eh?" Ia mendekati Milena, menyodok-nyodoknya seolah-olah dirinya adalah seonggok benda menjijikkan. "A—" Milena hendak mengatakan sesuatu, tapi tenggorokannya yang kering membuatnya susah berbicara. "A? A apa? Apa kau tahu kalau kau adalah peri terbodoh yang pernah kujebak?" Senyum menyeringai penuh kemenangan terpasang di wajahnya. Apa maksudnya itu? Jadi, benar kalau sang penyihir itu sudah tahu tentang dirinya selama ini? Tapi, bagaimana mungkin? Apa yang salah dengan rencananya? "Mungkin kau akan bertanya-tanya mengapa berkata demikian, bukan?" ia meraih cermin kejujuran dan memperlihatkannya pada Milena. Desa peri tempatnya tinggal terlihat begitu jelas dan sangat nyata di dalam proyeksi cermin itu. "Kau memata-matai kami?" berang Milena. Meski tubuhnya lemas, amarah dan keputusaan membuat adrenalinnya terpompa, tanpa sadar ia duduk terbangun, tangannya berusaha merenggut cermin kejujuran itu, tapi sang penyihir dengan cepat menariknya dari jangkauan Milena. "Kau! Kau penyihir jahat!" "Itulah sebabnya mereka memberiku julukan penyihir kegelapan." Ia tersenyum licik, sebelah alisnya terangkat. "Apa maumu sebenarnya?" tubuh Milena kembali lemas, ia menahan tubuhnya dengan tangan kiri, matanya menatap tajam pada sang penyihir. Napasnya tersengal-sengal, bisa-bisa ia kembali pingsan jika tak segera pulih! "Oh! Itu sangat sederhana!" Ia memutar-mutar cermin kejujuran di udara, memonyongkan bibirnya yang begitu merah. "Kau!" katanya dengan nada tegas, menunjuk Milena dengan ujung cermin kejujuran. "Apa?" Milena mengeryitkan kening. "Aturan pertama peri: Peri hanya bisa masuk ke dalam rumah, jika mereka di undang." Terang sang penyihir dengan raut wajah berseri-seri. Horor memenuhi wajah Milena. Oh, sungguh kesalahan fatal! Ia lupa mengenai aturan itu! Jika saja ia mengetahui alasan betapa mudahnya memasuki rumah seorang penyihir, ia tak mungkin berakhir dengan keadaan menyedihkan seperti sekarang!  "Ada apa? Lupa dengan aturan sendiri? Itu sebabnya kau target yang mudah. Saat pertama kali aku mendapat cermin kejujuran ini," ia melirik cermin kejujuran itu tanpa ekspresi sedikitpun, "aku harus membunuh beberapa penyihir kegelapan yang lebih kuat dariku. Pengorbananku tak akan bisa kau bayangkan," kali ini, ia melirik Milena yang matanya mulai menampakkan horor yang nyata, sesaat ia terdiam melihat peri itu. "Tapi, tak mengapa, aku akan mendapat hal yang lebih besar lagi setelah ini." ia memandangi dirinya di cermin. Awalnya ia tampak muram, lalu ia tersenyum misterius. "Jadi, kau tahu kalau aku mengikutimu sejak awal?" tanya Milena, suaranya nyaris berupa bisikan, kepalanya terkulai lemas, rasanya ada jarum yang menusuk-nusuk di tengah-tengah kepalanya—besi yang tak jauh darinya masih mempengaruhi tubuhnya secara fisik dan mental. "Kau memang peri yang bodoh. Keras kepala, pemarah, dan ceroboh. Tak pernahkah kau mendengar kalau kami para penyihir, utamanya penyihir kegelapan, mampu merasakan kehadiran peri dari jarak yang cukup jauh?" ia menekan-nekan dahi Milena, perbuatannya itu membuat Milena merasa terhina, terlebih lagi dengan kalimat merendahkan yang terlontar dari mulut penyihir licik itu. Darahnya serasa mendidih. "Bagaimana kau bisa melakukan semua ini?" tanya Milena dengan amarah tertahan. "Apa? Kau masih belum mengerti juga? Kau benar-benar peri terbodoh yang pernah kutemui. Sungguh kasihan. Peri soliter, namun bukan soliter sungguhan. Peri kerajaan, namun ditolak oleh para kaumnya. Keturunan legendaris tak berguna." ledeknya, tatapan matanya melihat Milena dengan penuh iba yang dibuat-buat. Hal itu membuat darah Milena semakin mendidih! "Berhenti menatapku dengan mata jahatmu itu!" teriaknya marah. "Bagaimana kau tahu hal itu?" "Hah! Cermin ini. Cermin yang sangat berguna. Apa kau masih belum mengerti? Aku memancingmu dengan rumor cermin ini." Ia mendekatkan wajahnya pada Milena, menyeringai lebar penuh kemenangan dan mulai tertawa dengan suara melengking. "Memancingku?"  Milena terlihat sedikit syok.  Mungkinkah semua kejadian ini dirancang khusus untuk menangkapnya? Mengiming-iminginya dengan rumor cermin kejujuran yang pastinya akan menarik minatnya? Ada apa sebenarnya ini? Ia menatap nanar jemarinya yang terkelupas mengerikan.  Dengan penguasaan diri penuh, ia mendongakkan kepala dan bertanya dengan suara tertahan. "Apa kau yang merusak pohon persediaan kami? Apa kau memiliki kaki tangan di desa kami?" "Akhirnya!" sang  penyihir berdiri, merentangakn kedua tangan di udara. "Kau menggunakan otakmu dengan benar!" Lagi, ia menunjuk Milena dengan ujung cermin kejujuran. "Kita bisa menjadi pasangan kriminal yang hebat jika kau mau!" tawarnya dengan seringai licik. Milena meludah terhadap tawaran itu. "Jangan samakan aku denganmu! Sebenarnya apa maumu?" "Hah! Sungguh peri yang sombong." Ia berkacak pinggang. "Jika kau terus bersikap begitu, aku akan mengawetkanmu di dalam stoples!" ancamnya setengah bercanda. "Kalau begitu, bunuh saja aku."  dengusnya jijik. "Ah! Sungguh peri yang berani!" kepalanya dimiringkan ke kiri. Ia menatap Milena dengan saksama. "Kau benar-benar keturunan Fortis Fidelis." kepalanya mendongak menatap Milena, matanya menyipit tak senang, suaranya terdengar begitu merendahkan. "Bagaimana kau tahu nama kakek buyutku? Apa kau menyonteknya lagi di cermin kejujuran?" ledek Milena, ia memiliki firasat buruk mengenai penyihir licik itu. Tak ada yang tahu mengenai kakek buyutnya, selain pihak kerajaan dan teman semasa kecilnya, Alfred. "Oh! Untuk hal yang satu itu, aku tak mendapat bantuan dari cermin ini." Ia memandangi dirinya di cermin. "Lalu, bagaimana?" desak Milena, tak sabar. Ia melirik Milena, diam sesaat, lalu dengan nada suara dingin dan terdengar iri, ia berkata, "apa kau tak sadar kalau kau memiliki aura yang berbeda dari peri-peri lainnya?" Milena mengerjapkan mata. "Aura yang berbeda? Apa maksudmu?" tangan kirinya gemetar, sepertinya mulai tak bisa menahan tubuhnya. "Kau!" serunya dengan nada naik satu oktaf, ia berjalan ke arah Milena dengan  ekspresi tak bisa ditebak, "memiliki kekuatan yang misterius. Aura kakek buyutmu sangat khas, sama seperti dirimu. Anehnya, kau memiliki aura yang lebih kuat dan terkadang berubah menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang luar biasa!" ia memicingkan mata di depan wajah Milena. "Omong kosong!" Milena tertawa geli mendengarnya. Jika ia seistimewa itu, ia tak akan diperlakukan bebas oleh pihak kerajaan. "Kau tak percaya?" sebelah keningnya terangkat. "Itu bukan masalah. Karena yang aku butuhkan adalah kekuatan dan  jiwamu, sayang. Kekuatanmu itu akan membuatku memiliki sihir yang lebih kuat! Jiwamu akan menjadi persembahan paling berharga. Aku bisa merasakannya! Saat kaki tanganku bersinggungan denganmu, auramu melekat selama beberapa saat, sejak itu aku terus mengawasimu, memperhatikan gerak-gerik dan tingkah lakumu. Kemudian, pada saat yang tepat, aku pun menjalankan rencana indah yang telah kupersiapkan untukmu. Hanya untukmu! Semula, kupikir kau seistimewa dengan kakek buyutmu, tapi kau lebih dari itu! Aku merasakannya ketika merasakan auramu secara langsung saat ini. Harusnya kau bersyukur, kau istimewa dan bernilai, dasar bodoh!" ia menyentil dahi Milena.  Duk!  Peri cacat itu terjatuh ke belakang, alih-alih meluapkan rasa sakitnya dengan berteriak, ia hanya mampu bergelung, meringis menahan rasa sakit yang bertubi-tubi menyerang tubuhnya. Kepalanya sakit seperti baru saja terkena hantaman palu godam raksasa.  "Siapa-kaki-tanganmu-itu?" tanyanya dengan terbata-bata menahan perih.  "Oh! Sungguh manis! Kau bertanya siapa kaki tanganku? Kayak bakalan aku mau memberitahumu saja!" ia menyeringai lebar.  "Huh! Jadi, ada yang lebih buruk dariku, eh?" ucap Milena berbisik, lebih dari kepada dirinya sendiri.  "Tenang saja. Kau akan kuperlakukan istimewa. Malam Halloween sebentar lagi akan tiba. Malam yang sempurna untuk persembahan. Kau akan menjadi persembahan yang paling istimewa bagi sang kegelapan! Jiwamu akan menjadi b***k kegelapan dan kekuatanmu akan beralih padaku! Oh! Aku tak pernah begitu bersemangat dalam melakukan ritual penting ini!" penyihir itu terlihat begitu kegirangan. Mata membesar dan berbinar, senyum liciknya membuat raut wajahnya yang cantik terlihat mematikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD