BAB 7 Tipu daya Sang Penyihir (2)

1488 Words
Setidaknya aku tak akan berada sendirian di dalam stoples dingin dan sempit. Milena terbahak memikirkan hal itu. "Kenapa kau terbahak?" seru sang penyihir, ia merasa tersinggung. Milena merentangkan kedua tangannya di kedua sisi, menatap langit-langit ruangan itu. Terdiam sesaat. Tubuhnya kini sudah menyesuaikan diri dengan rasa sakit yang melekat padanya. Ia memiringkan kepala pada sang penyihir lalu bertanya dengan nada mengejek, "apa kau hanya mampu membuat ramuan busuk seperti itu? Bau bangkai yang sangat mencerminkan dirimu, eh?" "Yeah! Berbicaralah sesukamu! kau pikir aku mengeluarkanmu dari kandang besimu hanya untuk ngobrol dan membiarkanmu mengejekku? Asal kau tahu!" telunjuknya dinaikkan setinggi mata, wajahnya begitu dekat dengan Milena. "Ramuan itu khusus untukmu. Bukankah sudah kubilang kau istimewa? Sesuatu yang istimewa, harus diperlakukan istimewa pula, bukan?" ia terkikik nyaring. "Kau tak berniat mengawetkanku dalam stoples, eh? Seperti yang kalian lakukan pada leluhurku di masa-masa kegelapan?" tantang Milena. Muka sang penyihir mengkerut, tampak kesal. "Mengawetkan peri bukanlah hobiku! Aku menyantap segala sesuatunya yang masih segar! Segar itu lebih nikmat!" ia menjilat bibir atasnya. "Kau menjijikkan." ledek Milena, mendengus tak percaya. "Kau tak akan percaya betapa menjijikkannya aku." penyihir itu meletakkan kembali cermin kejujuran ke dalam kotaknya dan berlalu meninggalkan Milena menuju kuali yang kini mengeluarkan uap berbentuk tengkorak. "Yeah... Hari yang buruk untuk mati. Malam Halloween? Apa itu? Semacam waktu ritual khusus kah? Seberapa buruk malam Halloween itu? Seberapa gelap Halloween itu?" Milena berbicara sendiri pada diri sendiri, kembali memandang langit-langit ruangan, ia tak bisa merasakan sayapnya lagi. Mungkin sudah mati rasa, memikirkan ide kabur dari tempat itu tanpa bisa terbang apa gunanya? "Milena bodoh..." umpatnya pada pada udara kosong. Otaknya memikirkan beberapa skenario, misalnya salah satunya adalah jika tak berada di samping kandang besi dan pulih sedikit, mungkin hal itu percuma saja. Sayapnya tak akan sanggup menopang berat tubuhnya. Ia bahkan tak sanggup merasakan sayapnya! Bagaimana ia bisa terbang? Apa yang harus dilakukannya kalau begitu? Haruskah ia pasrah begitu saja? Sungguh memalukan mati tanpa perlawanan. Bagaimana ia bisa menghadap leluhurnya nanti? Oh! Jiwanya akan menjadi b***k kegelapan, mungkin ia tak akan bertemu leluhurnya. Lagi-lagi, Milena tertawa memikirkan skenario konyolnya. Ia mencoba mengumpulkan semua kekuatan yang dimilikinya. Ranselnya yang berisi kotak P3K peri sepertinya tertinggal di dalam lemari saat berubah menjadi tikus. Jarak lemari dan meja tempat dirinya terkapar berada cukup jauh, ia tak bisa menggapainya. Milena berusaha mengangkat tangan kanannya, meraba pinggangnya mencari-cari kantong-kantong kain kecil dibalik rumbaian roknya yang tersisa. Senyum kecil terpasang di wajahnya, namun pura-pura kesakitan kembali. Entah debu apa yang tersisa di pinggangnya, beberapa di antaranya sudah mengempis. Tangannya kembali mencoba merogoh kantong itu. Sial! Tersangkut! Makinya dalam hati. Tangannya sekuat tenaga menarik kantong itu hingga lepas dari tangan dan meluncur terbang di udara bebas; kantong itu terlempar keluar cepat dari tangannya secara diagonal, benda itu tersangkut di celah-celah kotak botol ramuan. Tidak! Milena nyaris memekik putus asa dalam kebisuan. Ia terlalu tergesa-gesa hingga kantong itu terlempar ke tempat lain! Seketika itu juga ia merasa marah dan putus asa. "Kakek buyut, aku tak tahu apa masa lalumu dengan penyihir cantik mengerikan ini, tapi aku akan membuatnya menyesal telah mengurungku seperti binatang malang menjijikan di dalam kandang besi ini." Milena komat-kamit sendiri sambil menatap langit-langit. Ia menoleh ke arah sang penyihir yang sibuk mengaduk kualinya, sesekali ia memeriksa warna dan kekentalannya, dan meraih sejumput ramuan kering sebagai tambahan. "Hei!" teriak Milena sekeras mungkin. Entah si penyihir itu mendengarnya, ia tak peduli, setidaknya ia berusaha menarik perhatiannya. "Jika memang ini adalah takdirku. Apakah aku boleh meminta satu permintaan terakhir?" bujuk Milena. Muka peri cantik itu mengkerut sebal, sepertinya suaranya tak cukup keras untuk didengar sang penyihir. Ditambah ia tak sanggup lagi berteriak, seluruh kekuatannya sudah dikerahkan untuk kalimat super panjang itu. Terpaksa ia memutar otak mencari rencana lain menarik untuk perhatian. Bahkan di titik ini, rasanya Milena tak sanggup memikirkan satu rencana pun. "Kau menginginkan satu permintaan terakhir? Suara lembut menggoda terdengar menghampiri Milena. Dari sudut matanya, ia melihat sang penyihir tersenyum puas. "Yah. Kau bisa mendapatkannya. Kami para penyihir menghormati permintaan terakhir persembahan kami. Tak begitu buruk, bukan?" ia mendekatkan pandangannya pada Milena. "Apa? Kalian beretika juga?" Milena mendengus tak percaya. "Apa kau tahu kalau kami para penyihir sangat beretika terhadap aturan kegelapan? Sedikit kejutan, bukan? Steriotip kalian tentang kami sepertinya tak selalu benar. Jadi, katakan sekarang, apa permintaan terakhirmu? Sebelum aku meminumkanmu ramuan yang akan membuat tubuhmu kaku bagaikan mayat sementara kesadaranmu nyata bagaikan kembang api bersinar terang di malam hari." Bola mata sang penyihir membesar seolah-olah ia mampu melihat tembus pandang ke dalam benak Milena Rasanya Milena ingin meninju kedua mata besar mengerikan itu, jika saja sang penyihir berada pada jangkauannya. Baiklah. Sebuah permintaan sebelum mati. Apa sebaiknya? Apakah dengan memintanya agar tak menjadi persembahan akan dikabulkan? Apakah saat ini adalah waktu yang tepat untuk menerima tawaran sang penyihir untuk menjadi rekannya dalam kejahatan? Oh, Milena sangat suka mengacau, bisa jadi hal itu adalah hal yang membuatnya senang. Meski demikian, apakah dengan menjadi rekan kejahatan sang penyihir akan bebas dari niat jahatnya? Aturan pertama mengenai bekerja sama dengan penyihir: Jangan pernah percaya sepenuhnya, meski mereka menunjukkan kesetian dan kejujuran—khususnya yang berada di jalan yang gelap. Dahulu kala, sebelum terjadi perang antar penyihir dan peri, semua makhluk supernatural saling tolong menolong. Walaupun tak sampai begitu memegang kepercayaan seratus persen, mereka bisa hidup saling berdampingan. Penyihir dan peri saling bergantung satu sama lain. Peri merupakan asisten pribadi atau sahabat bagi sang penyihir, semakin kuat sang peri, maka sang penyihir akan memiliki level yang lebih baik di mata para penyihir lain. Mereka saling berbagi aura, saling menguatkan satu sama lain. Tidak seperti penyihir sekarang, hanya ingin mengosongkan gelas orang lain, sementara gelas miliknya penuh sampai luber kemana-mana. Percuma bekerja sama dengan penyihir, apalagi yang memilih sisi gelap. Hanya menguras tenaga dan memenjarakan kebahagiaannya. Begitulah akal sehat Milena menasehatinya. Ia tak memiliki rencana khusus, hanya mengikuti arus kemana permainan itu mengalir. Hal terbaik saat sedang terdesak, otak akan lebih keras dalam memecahkan masalah. Itulah yang dianut Milena. Resikonya juga besar. Orang-orang nekat saja yang suka melakukan hal semacam ini tanpa pikir panjang. "Aku punya permintaan penting." "Apa itu?" "Pertama-tama, kau harus berjanji dulu padaku." Ucapnya dengan nada lemah dibuat-buat. "Berjanji? Apa itu?" kepalanya tersentak ke belakang, bingung. "Ya. Kau harus menuruti satu syaratku." Milena mengedipkan mata. "Oh! Kau licik, meski detik-detik kematianmu sudah dekat." Dia tertawa. "Lalu, apa itu?" "Berjanjilah dulu padaku." Dilihatnya kening sang penyihir bertaut, Milena buru-buru menambahkan, "tenang saja, aku tak memintamu melepaskanku. Aku juga tak mau jadi rekan kejahatanmu menyembah Iblis di malam Halloween atau apalah itu!" Milena memutar bola mata. Sang penyihir merasa tersinggung, detik berikutnya ia tersenyum dan berkata dengan nada menyakinkan. "Baiklah. Aku berjanji." Milena menatapnya. "Lakukan sumpah penyihir agar aku tahu kau tak akan melanggar permintaan terakhirku." Sang penyihir tampak terkejut. Belum pernah ia bertemu peri yang begitu cerdik. Ternyata ia tak sebodoh itu! Pikirnya. Para penyihir tak bisa melanggar sumpah mereka, jika dilanggar hal buruk akan terjadi. Ia menganggap remeh peri ceroboh itu. Mau tak mau ia harus melakukan sumpah itu. "Baiklah." Katanya dengan nada pasrah. " Akan aku lakukan!" tangan kanannya mengarah pada tangga, sebuah kilatan merah meluncur turun dan melekat pada genggaman sang penyihir. Sebuah tongkat sihir setinggi mata, berpendar beberapa detik. Selanjutnya, pendar itu lenyap, digantikan oleh sebuah permata merah berkilau yang ada di puncak tongkat. "Kau sungguh-sungguh berniat menjadikanku persembahan, eh?" Milena terkekeh lemah. "Kau tak akan tahu betapa senangnya diriku mengetahui bahwa kulitku akan kembali cantik dan halus," ia mengelus telapak tangan kanannya yang kurus, nyaris bagaikan tengkorak—kulitnya menempel pada tulang dan berkerut, ia tersenyum dengan mata berbinar dan dalam sekejab senyumnya hilang saat berkata, "meski hanya untuk sementara...." Sungguh menyeramkan! Pikir Milena ngeri. "Ada apa dengan tanganmu?" tanpa sadar ia bertanya. Milena tak ada niat untuk mengetahui masalah pribadi sang penyihir, hanya saja rasa ingin tahunya kadang-kadang membuat mulutnya berceloteh duluan tanpa berpikir panjang. "Ada apa dengan tanganku, uhm? Tangan ini?" nada suara sang penyihir terdengar tak senang dengan pertanyaan itu. "Maaf. Hanya penasaran. Lupakan saja kalo begitu." Milena nyengir. "Oh. Tidak. Akan aku beritahu." Ia tersenyum licik. Milena sungguh tak menyukai senyuman sang penyihir itu, bibir yang indah tapi tampak seperti mengandung racun dan terlihat jahat. Mungkin saja jika ada pria yang menciumnya, sang pria akan meninggal seketika. Pikiran konyolnya kembali mengutak-atik otaknya, ia hendak tertawa keras, tapi ditahannya. Itu hanya akan membuatnya kehilangan sebuah peluang untuk melarikan diri. "Kau akan mengingat alasan mengapa kau menjadi persembahan yang istimewa. Mendapatkan cermin kejujuran tak semudah yang dipikirkan siapapun. Kau terlalu bodoh untuk dikelabui." "Tunggu dulu!" potong Milena. "Apa salah satu penjaga di istana adalah kaki tanganmu? Itu benar, kan?" Sang penyihir terdiam. Ia duduk di kursinya dengan satu tangan memegang tongkat. "Dan kenapa aku mau memberitahumu hal itu?" nada suaranya berubah tajam. Milena tergelak. "Sebentar lagi aku akan mati. Setidaknya beritahu aku bagaimana caranya aku sampai termakan rencanamu yang luar biasa hebat ini! Oh! Perlu kau tahu, ini bukan permintaan terakhirku. Aku hanya ingin tahu." Usai berkata demikian, napasnya mulai terasa sesak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD