BAB 7 Tipu daya Sang Penyihir (3)

1102 Words
"Menarik. Baiklah." Ia mengamati Milena yang sesak napas tanpa ekspresi. "Akan aku beritahu sedikit rencana luar biasaku. Menjadi penyihir di hutan sepi seperti ini terkadang membuatmu kesepian." Ia melambaikan tangan kirinya di udara, nada suaranya terdengar menyedihkan. "Sepertinya aku memiliki hobi baru. Berbicara dari hati ke hati dengan persembahanku sebelum menemui ajal. Uhm. Aku suka ide itu." Ia menganggukkan kepala, terlihat agak senang. Sinting! Umpat Milena dalam hati. "Oh! Sampai di mana kita? Ya! Ide!" serunya senang. "Kau sebenar bisa menjadi asistenku. Seperti masa-masa sebelum perang terjadi." Ia memandang Milena dengan sebelah kening terangkat. "Teruslah bermimpi!" "Kau yang rugi kalau begitu. Oh! Mari kita lanjutkan sesi dari hati ke hati ini. Sampai di mana lagi kita?" telunjuk kirinya menyentuh dagu, mata menarawang jauh, "Ah! Ide!" katanya, antusiasnya terhadap sesi dari hati ke hati itu membuatnya sedikit bersemangat tanpa disadarinya. "Aku sudah memberitahumu sebagian alasan mengapa aku menjebakmu, bukan? Pada mulanya, kau bukanlah incaranku. Bahkan aku tak tahu kau ada. Kau memang istimewa, aku akui itu. Akan tetapi, kau tak cukup bagiku, istilahnya, kau hanya kudapan di saat senggang." Ia memandang Milena dengan tatap nanar dibuat-buat. "Berhenti menatapku dengan tatapan seperti itu!" koarnya galak, tetapi hanya berupa sayup-sayup sebuah bisikan marah yang mengambang di udara. Tanpa memikirkan perkataan Milena, sang penyihir meneruskan ocehannya. "Usiaku jauh lebih tua dari yang terlihat. Aku bahkan lebih tua dari kakek buyutmu. Kau tahu hal yang paling menarik, eh? Aku menyantap kakek buyutmu sampai tak ada yang tersisa." Ia tertawa keras. Milena tak tahu harus bereaksi apa. Sekujur tubuhnya sakit dan ia harus mengulur waktu agar ide jenius datang padanya. Dan kejutan lainnya, sebuah fakta menyedihkan mengenai kakek buyutnya yang ternyata menjadi santapan penyihir kegelapan sinting. Lalu, dirinya akan menjalani nasib yang sama? Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, eh? Otak Milena masih sulit mencerna semuanya secara bersamaan. Nasib macam apa yang menimpanya saat ini? "Kau pasti terkejut, bukan?" sang penyihir menyeringai lebar. "Ya." Milena melambaikan tangan , namun tak ada nada terkejut sama sekali. "Oh. Kau tipe yang tak begitu peduli dengan keluarga rupanya." Sang penyihir terkikik. "Baiklah. Kita lanjutkan cerita tadi," ia berdeham, "setelah menyantap kekuatan kakek buyutmu, aku langsung menandainya dengan sebuah kata 'luar biasa'. Rasanya sungguh berbeda, begitu langka dan istimewa. Kaki tanganku yang selalu melapor terkadang berpapasan denganmu dan membuatnya terpercik aura-mu yang begitu kuat. Aku tak tahu kalau aura peri bisa mempengaruhi seseorang sampai aku mengetahui tentangmu. Rencana yang telah kususun, tiba-tiba saja memiliki rencana ekstra yang luar biasa." Milena sebal dengan ucapan yang itu-itu saja sejak tadi, tapi ditahannya untuk protes. Dasar penyihir tua reyot! Umpat Milena dalam hati. "Siapa, sih, kaki tanganmu itu? Sungguh menjengkelkan aku diperlakukan seperti peri buangan, sementar ada peri yang berkomplot dengan penyihir sepertimu." Ia mengernyitkan kening tak puas. "Apa salah satu penjaga di perbatasan?" selidiknya. Ia tertawa terpingkal-pingkal. "Aku tahu kau akan berpikir demikian. Oh, kau sungguh lucu! Orang seperti mereka tak berguna sama sekali. Jika kau membutuhkan kaki tangan, setidaknya peri itu harus cerdik dan licik, serta memiliki penampilan tak mencolok. Poin pentingnya adalah memiliki nilai baik di mata peri pada umumnya." "Oh! Seorang munafik rupanya!" cemooh Milena, nyengir. "Terserah apa katamu. Kinerjanya—Her performance (Her-bentuk kepemilikan perempuan dalam Bahasa Inggris) sungguh memuaskan. Bekerja begitu rapi dan tepat waktu. Penjaga perbatasan itu hanya faktor keberuntungan. Katalis yang memperlancar segala rencanaku!" Ia terkikik lagi. Oh. Jadi pengkhianat itu adalah seorang peri perempuan. Akan kujambak rambutnya jika aku tahu siapa dia! Raung Milena dalam hati. "Jika kau sudah memiliki asisten seperti dia, kenapa masih menawariku? Dan, aku sungguh tak mengerti, apa sebenarnya yang kau incar? Berdasarkan arah pembicaraanmu yang bertele-tele, kau seperti mengincar sesuatu di desa kami. Apa itu?" "Yeah! Kau memang cerdik, meski terkadang agak bodoh dan ceroboh. Analisismu benar. Aku mengincar sesuatu di dunia peri. Seperti yang kukatakan tadi, aku lebih tua dari kakek buyutmu. Menyerap energi sihir peri mampu membuat siapapun awet muda dan abadi, sayangnya harus dilakukan secara periodik. Dan aku muak dengan perburuan peri yang memakan waktu. Lagi pula, metode peri itu terlalu merepotkan dan sama sekali tidak praktis. Aku suka yang simple. Kau tahu? Tak membuatku bingung." Ia bersandar pada kursinya, matanya melirik kuali yang masih tersulut api. "Segala yang hidup pada akhirnya akan mati, kau tahu? Jangan suka melawan sesuatu yang sudah pasti." Milena mencemooh dengan nada merendahkan. Buk! Suara tongkat dihentakkaan ke lantai. "Beraninya kau menceramahimu seperti itu! Dengan nada seperti itu pula!" geramnya marah. "Lalu apa? Apa yang akan kau lakukan? Menenggelamkanku ke dalam kuali busuk itu?" ia menunjuk kuali dengan ujung bibirnya. "KAU!" raungnya galak, suaranya menggema memenuhi ruangan. Hawa dingin menuruni sumsum tulangnya, keahliannya berakting membuat Milena mampu menyembunyikan ketakutannya. Ia melihat penyihir itu bangkit dari kursinya, berjalan menghampiri dan berkata dengan nada mengancam. "Jika itu yang kau mau, maka aku akan menenggelamkanmu ke dalam kuali saat ini juga." Desisnya marah. "Hormatilah orang yang akan segera menemui ajalnya." Ucapnya membela diri. "Katakan secepatnya permintaanmu! Atau aku akan menelanmu dalam keadaan utuh!" mulut sang penyihir terbuka, memperlihatkan rahang yang tertarik ke arah berlawanan, seperti ular yang hendak menelan mangsanya bulat-bulat, secara harfiah. Sekujur tubuh Milena menjadi dingin. Penyihir itu hanya luarnya saja yang cantik, dibalik hal itu kengerian tersimpan begitu rapih. "Baiklah! Baiklah!" Ujar Milena dengan suara yang dipaksakan, tenggorokannya terasa sakit sekali. "Nah, begitu. Jadilah peri yang baik sebelum menemui ajal." Ia menutup mulutnya, memperbaiki rahangnya, menguyah-nguyah, kemudian tersenyum kecil. "Katakan!" "Lakukan sumpahnya dulu." Dengan nada menggerutu, sang penyihir merapal mantra. Tongkatnya digerakkan di depan wajah searah jarum jam tiga kali, berlawanan arah jarum sekali. Ujung tongkatnya menyentuh tubuh Milena, sebuah benang hijau berkilau tampak tertarik keluar dari tubuh Milena. Untaian benang hijau itu melekat kuat pada ujung kepala tongkat itu, hal selanjutnya yang ia lakukan adalah melingkarkannya pada pergelangan tangan kirinya, dan dengan nada setengah membentak berseru, "Katakan sekarang!" Samar-samar Milena tersenyum kecil. "Aku Milena, Si peri pemarah, sebagai permintaan terakhir, meminta pada sang penyihir kegelapan..." ia memiringkan kepalanya, kening Milena naik sebelah. "Katrina!" serunya seraya memutar bola mata. Nama yang terlalu bagus untuk penyihir seperti dia, keluh Milena dalam hati. Sang peri kemudian  melanjutkan kata-katanya tadi, "... Meminta pada sang penyihir kegelapan, Katrina, agar mengabulkan satu permintaan sang peri dengan sebuah syarat agar terlindungi darinya, sang penyihir kegelapan sampai malam Halloween tiba. Dan permintaan terakhir itu bukanlah untuk dibebaskan. Apakah Engkau, Katrina, Sang penyihir kegelapan, bersedia mengabulkannya?" Tanya Milena dengan suara serak. Ia ingin melihat dengan saksama ekspresi sang penyihir, dengan tubuh yang lemah, ia hanya mampu terbaring seperti seorang pesakitan yang mengumumkan surat wasiat. Oh, sangat menyedihkan.... "Aku, Katrina, sang penyihir kegelapan, bersedia." Jawabnya tegas. "Baiklah, dengan begini kita akan menyegelnya." Lanjut Milena. Sang penyihir bernama Katrina itu hanya mengangguk setuju.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD