BAB 1 Milena dan Keonaran (3)

1251 Words
"Bagaimana mungkin pihak kerajaan tak memperingati kita tentang masalah ini? Apa yang dipikirkan pihak kerajaan?" omel peri tua yang berada disamping Gustraf. "Sungguh tidak bijak!" lanjutnya lagi, geram. "Ini baru rumor semata, makanya pihak kerajaan tak memberi peringatan resmi. Kalian tidak boleh memberitahu ini pada siapapun! Warga akan panik dan mereka akan berontak meminta perlindungan pada pihak kerajaan! Aku bisa dalam masalah! Kita bisa dalam masalah!" Gustraf menarik kerah baju peri tadi, matanya melotot tajam. "Ba-baiklah! Kami tak akan memberitahu siapapun, benarkan?" Ia melirik pada peri lainnya yang kini mengangguk cepat. Gustraf menghela napas lega, cengkeramannya dilepas dan ia duduk terhenyak di kursi. "Ingat saja janji kalian dan jangan keluyuran tidak jelas saat ini." Dia memanyunkan mulutnya, putus asa. "Gustraf, darimana kau mendengar informasi ini?" celutuk Grace, penasaran. "Oh! Itu…"baru saja Gustraf hendak menceritakannya seseorang menghantam pintu masuk dengan keras sembari berteriak dalam kekalutan: "Bencana! Kutukan! Malapetaka! Dasar peri terkutuk!" Mereka semua berbalik memandangi peri yang baru masuk itu, wajahnya pucat pasi, bola matanya melotot ngeri, seolah-olah baru saja melihat kematian. "Apa? Kenapa kau berteriak begitu?" Tanya Gustraf, penasaran. "Kalian tak akan percaya! Peri terkutuk itu kali ini benar-benar keterlaluan!" wajahnya memerah seperti tomat, dadanya naik turun. "Apa yang terjadi kali ini?" Alfred berjalan menghampiri peri yang baru masuk itu. "Dia merusak persediaan musim dingin kita! Peri itu jahat sekali!" teriaknya dengan nada melengking, tangannya menarik kerah baju Alfred, bola matanya nyaris keluar dari tempatnya. Mereka semua terhenyak. Persediaan mereka adalah harta tak ternilai, jika mereka tak memiliki persediaan cukup untuk tahun ini, kecil kemungkinan mereka akan bisa bertahan melewati musim dingin yang akan segera tiba. "Tunggu! Apa maksudmu dengan merusak persediaan?" Gustraf menyipitkan mata. "Dia melubangi pohon persediaan! Air danau masuk ke dalamnya! Semua persediaan kita mengapung terbawa ke hilir!" pekiknya dengan suara nyaris habis. " SEMUANYA!" lanjutnya merana dengan kedua tangan bergerak-gerak di udara, kemudian ia terperosok duduk di lantai. Kedai itu tiba-tiba menjadi heboh, mereka terlihat panik dan tampak mulai putus asa. Jika kejadian itu benar, maka mereka akan mengalami masa-masa sulit selama musim dingin. Yang terburuk adalah kelaparan panjang yang akan melanda mereka. Persediaan madu mereka berada ditempat lain, tapi itu hanya bisa menghidupi mereka sampai pertengahan musim. Dan siapa pula yang suka melahap madu tiap hari sebagai makan pagi, siang, dan malam? Jika mereka mulai dari awal, hanya akan bisa memetik setengah dari hasil yang mereka dapat—itu pun harus bekerja sepanjang hari tanpa istirahat. Udara semakin dingin dari hari ke hari, terlebih dengan adanya rumor penyihir yang lalu lalang di jalan utama. Semuanya jadi serba salah! "Ini pasti ada kesalahan! Milena tak mungkin melakukan hal sekejam itu!" bela Alfred. Ia menyapu pandangan matanya ke seluruh penghuni kedai, namun yang didapatnya hanyalah tatapan marah dan kecewa. "Milena tak sejahat itu…" lanjutnya setengah berbisik. Wajah Alfred jauh dari bahagia saat itu juga. "Sebaiknya kita ke Nyonya Malissa guna memastikan tragedi ini!" saran Frida, tangannya bergerak-gerak gelisah. "Kau benar, mari kita pergi!" seru Grace. Seketika itu juga Tim Mawar itu meninggalkan kedai menuju pohon persediaan yang berjarak lima meter sebelah barat. Lucinda terlihat lemas, entah karena ia masih teringat akan rumor penyihir kegelapan atau karena jerih payahnya mengumpulkan persediaan kini lenyap dalam sekejap mata. Mereka terbang secepat yang mereka bisa menuju pohon persediaan, sepanjang jalan mereka melihat para peri kalang kabut, menangis, meratap, dan berbagai macam tingkah laku yang dicap nyaris gila oleh orang-orang yang melihatnya. Mereka berempat mulai terlihat cemas, semakin mereka mendekat ke pohon, semakin cemas hati mereka. "Apa kau pikir dia tahu kalau salah satu dari kita yang melemparinya buah arbei?" Frida melempar pandang pada Alfred. "Kau tahu? Milena?" "Aku tak percaya Milena sejahat itu." Ia mengerutkan kening. "Jika benar ini terjadi, semua ini salahmu, Grace!" Lucinda melempar tatapan marah pada Grace yang terbang di hadapannya. "Tidak mungkin! Dia itu bodoh! Ia bahkan menuduh tupai malang sebagai pelakunya! Dan berbicara padanya! Gila, bukan?" Grace membalas tatapan Lucinda, ia tak mau disalahkan atas tragedi yang menimpa desa mereka. "Mungkin kau tak seharusnya melakukan hal itu pada—" Lucinda hendak menyelesaikan kalimatnya, tapi kata-kata itu terhenti ketika mereka tiba di pohon persediaan. Pemandangan kacau balau menyambut mereka, air danau yang berjarak satu meter (ukuran manusia), entah kenapa tiba-tiba menenggelamkan pohon itu tiga perempat. Para peri yang ada di sana sibuk hilir mudik berusaha menyelamatkan sisa-sisa persediaan yang bisa dijangkau oleh tangan mereka. Mereka berempat ternganga kehabisan kata-kata. Semua jerih payah mereka, kini bertebaran kemana-mana. "Kalian dari mana saja!" bentak seorang peri perempuan dari belakang. Mereka berbalik cepat, itu Nyonya Malissa. Wajahnya sungguh berantakan, segala emosi terpancar di wajahnya hingga sulit dikenali lagi apakah ia sedang marah, kecewa, putus asa, atau merana. Di tangan kiri tergenggam perkamen yang sobek, dan ditangan satunya tinta penanya meluber keluar, menetes ke bawah setitik demi setitik. "Aahhhhh… Nyonya Malissa, a-apa yang terjadi?" Alfred gelagapan. "Seperti yang kalian lihat! Ini malapetaka! Tim yang lain sedang berusaha mengambil persediaan yang hanyut sebanyak mungkin di sungai, kuharap kalian bisa menyelamatkan buah yang hanyut sebanyak mungkin. Ayo, bergerak! Kalian tak mau bekerja sepanjang hari untuk mengumpulkan buah dan biji-bijian selama seminggu penuh, kan!" Nyonya Malissa menunjuk sungai di sisi kanannya, beruntung sungai tersebut tidak begitu deras, mereka punya kesempatan mengejar buah-buah yang hanyut sebelum jatuh ke hilir. "Jangan banyak Tanya! Gunakan otak kalian! Dapatkan sebanyak mungkin buah yang hanyut!" Meski menggerutu dan menghela napas panjang, Tim Mawar terbang menuju sisi sungai, Alfred berbalik dari formasinya dan terbang kembali menuju Nyonya Malissa, ia tengah menulis di perkamen dengan tinta kabur. "Apa Anda tahu kenapa ini bisa terjadi?" Alfred berusaha menjaga intonasi suaranya terdengar cukup serius, meski ia sudah tahu jawaban terburuk. Ia tak bisa mempercayainya. Nyonya Malissa tak seketika itu juga menjawabnya, ia melirik Alfred dengan pandangan menyipit. "Apa kau tahu sesuatu tentang hal ini?" "Tidak! Tidak! Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi!" sergahnya cepat, kedua telapak tangannya mengarah ke depan, bergerak ke kiri dan ke kanan. "Kurasa kau bisa menebak siapa yang suka berbuat kekacauan di desa kita dan membawa malapetaka kemanapun dia pergi." Ucapnya dengan penuh nada sarkasme. "Itu tak mungkin! Dia memang punya tabiat jelek, tapi melakukan hal seperti ini bukanlah hal yang dengan teganya ia lakukan! Ia tak bodoh! Ia juga bisa mati kelaparan selama musim dingin!" Alfred berbicara tanpa jeda, napasnya tersengal-sengal. Nyonya Malissa hanya terkekeh, ia menyeringai. "Cinta memang membutakan siapapun." Dia berbalik meninggalkan Alfred yang mematung, "sebaiknya kau mulai bekerja, jangan membuat tim-mu kewalahan tanpamu. Tim yang paling sedikit membawa persediaan yang hanyut, akan dikurangi jatah makan malamnya selama sebulan!" ia melambaikan tangannya yang memegang perkamen. Alfred memucat. Ia masih tak percaya jika peri yang dicintainya tega melakukan hal sekeji itu. Milena memang terkenal akan sifatnya yang buruk. Sangat kontras dengan tampilan fisiknya yang rupawan. Ia sudah mengenal Milena semenjak kecil, maka dari itu, ia tak bisa percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Dengan hati penuh tanda tanya segunung, ia terbang perlahan menuju sisi sungai. Di kejauhan, anggota timnya mulai memungut buah satu persatu dan di letakkan ke tepian sungai. Beberapa dari mereka mengeluh dan menggerutu dalam celotehan tak jelas. Cuaca bulan Oktober semakin dingin dari hari ke hari menuju penghabisan bulan. Siapa yang tidak kesal jika harus berurusan dengan air pada musim seperti sekarang ini? Meski persediaan mereka hanyut terbawa air, sesungguhnya tak seburuk yang diucapkan oleh peri yang panik di kedai tadi, ia masih melihat beberapa buah arbei dan anggur tergenang rendah di sela-sela semak belukar yang tinggi. Hatinya mencelos mengingat sang pelaku, ia terbang perlahan dan mulai mengambil buah anggur sebagai permulaan kerja keras keduanya hari itu. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD