BAB 2 Massa yang Marah (2)

1109 Words
"Baguslah jika kau mau pulang." Goda Alfred, ia terbang dengan gaya punggung, tersenyum semanis mungkin pada Milena agar emosi peri pemarah itu bisa reda kembali. "Kau bodoh? Tentu saja! Jika aku tidak pulang ke desa, mereka akan berpikir bahwa memang akulah pelakunya!" ucapnya kesal, ia melempar pandangan galak pada Alfred, masih tak percaya temannya itu meragukannya. "Sungguh bukan kau pelakunya?" seru Alfred tanpa sadar. "Aku tak bodoh, Al! yeah, meski aku pernah berbicara dengan tupai sekali di hutan." Gerutu Milena, kesal. "Oh! Aku sungguh senang!" Alfred memeluknya hingga nyaris tak bisa bernapas. "Apa yang kau lakukan?" Milena meronta dengan nada melengking. Alfred tertawa puas, Milena yang melihat wajah teman kecilnya itu bersinar secara diam-diam, hatinya luluh dan tersenyum sendiri. *** Malam itu, desa peri tidak seperti biasanya. Cahaya-cahaya kecil memenuhi hampir tiap sudut jalan. Beberapa peri bersulang, tertawa puas, dan sesekali membuat ekspresi lucu nan aneh. Rupanya mereka berhasil menyelamatkan sebagian besar persediaan yang hanyut. Ketika Milena menjejakkan kakinya memasuki desa, tatapan tak suka menghujamnya bagaikan anak panah berapi. Ia membalasnya dengan raut wajah tak kalah gusar. "Jangan pedulikan mereka. Kau tak bersalah itu sudah cukup buatku." Bujuk Alfred. "Tetap saja mereka menjengkelkan. Kenapa mereka selalu menaruh perhatian berlebihan padaku?" Milena berjalan pelan, ia ingin menendang suatu, tapi jalanan nyaris kosong, hanya tanah yang mulai gersang. "Yah. Mungkin kau bisa berhenti memasang wajah mengerikanmu itu." Alfred mengelus rambut panjang pirang gelap Milena. "Hentikan itu!" protesnya galak. "Yah, salah satunya itu dia" Alfred terkekeh. Semakin mereka berdua berjalan memasuki desa, semakin banyak yang menatapnya dengan tatapan tak suka, lalu ada tatapan benci, jijik, gusar, dan tatapan buruk lainnya. Milena berpikir bahwa ini sesuatu yang lain dari biasanya. Stigma yang melekat padanya tentang pembuat onar sudah lama disandangnya, menerima perlakuan benci juga sudah biasa, namun sepertinya hal kali ini melebihi perkiraannya. "Usir dia dari desa ini!" seorang peri perempuan gempal berteriak, telunjuknya mengarah pada Milena. Tanpa diduga teriakan itu memicu keributan penduduk desa, mereka berteriak, mengumpat, dan memaki tak habis-habisnya sepanjang jalan. Milena dan Alfred terkejut. Baru kali ini penduduk desa semarah itu. Tiba-tiba semangkuk pai apel mengarah ke Milena, buk! Tak sampai disitu, beberapa peri lainnya juga ikut-ikutan melemparinya dengan apa saja di dekat mereka. Alfred panik, ia melindungi Milena dengan tubuhnya. "Ayo, cepat! Kedainya tidak jauh lagi!" "Kenapa mereka melakukan ini? Aku tak salah apa-apa!" protesnya kesal. "Percuma memberikan penjelasan pada massa yang sedang marah, Milena, mereka tak akan mendengarkan apapun, selain melampiaskan amarah mereka." Mereka berdua bergegas berlari menuju semak belukar, berusaha menghindari lemparan kerumunan yang marah. "Ini adalah jalan rahasia Tim Mawar. Jika menempuh jalan ini, kau akan lebih cepat sampai ke kedai dengan berjalan kaki. Siapa bilang terbang itu menyenangkan? Kau tak pernah merasakan bagaimana lelahnya kami terbang seharian ke sana kemari mengumpulkan persediaan. Rasanya sayapku mau copot!" Alfred terkekeh, ia menuntun jalan melewati rumput-rumput tinggi dan tajam. "Yah, mungkin aku tak tahu bagaimana rasanya. Maaf. Aku bukan peri pekerja seperti kalian, nampaknya aku bakalan jadi peri soliter sungguhan dalam hitungan jam." Milena membersihkan dirinya dari sisa-sisa pai dan acar di tubuhnya, sayapnya menjadi lengket dan susah di kepakkan. "Jangan berkata hal sial seperti itu." Alfred memandang galak Milena. "Ok! Ok! Kenapa jadi kau yang marah, sih?" Milena keheranan. "Kau mendapat perlakuan tak adil, tentu saja aku marah." Ucapnya sungguh-sungguh, kali ini dia tak berbalik, ia terus berjalan menuntun Milena menuju kedai. Milena hanya memutar bola mata dan mendesah pelan. Alfred membuka rerumputan yang tinggi dan di baliknya terlihat bagian belakang kedai tersebut. Kedai itu sangat terang dengan dua lentera yang tergantung di kedua sisinya. Milena mencuri-curi pandang pada kedai itu dari kejauhan, itu kedai terkenal yang ada di desanya. Ia belum pernah memasuki kedai itu seumur hidupnya. Itu karena kebanyakan peri-peri yang telah diganggunya (termasuk yang membencinya) akan membicarakannya di kedai itu. Tak memasuki kedai, tak berarti ia tak bisa mencuri dengar percakapan mereka. Mendengar percakapan mereka yang beragam tentang dirinya membuat telinganya panas. Hal itu juga yang selalu menjadi alasan lahirnya kekacauan baru olehnya. "Apa kita akan ke kedai itu?" tunjuk Milena segan. "Yah! Kau pikir kedai itu apa? Makanan?" Alfred terkekeh, potongan pai kecil terjatuh dari kepalanya. "Kurasa mereka tak akan suka kehadiranku di sana." Milena menyilangkan tangan di d**a, wajahnya cemberut. "Aku pasti mendapat lemparan panci alih-alih pai apel." "Ayolah! Jangan berpikiran negatif dulu. Aku akan menjelaskan pada mereka." Ia menarik tangan Milena sebelum sempat membantah perkataannya lagi. Alfred tampak bahagia, ia mencengkeram tangan Milena seolah-olah tak ingin melepaskannya. Ia sampai tersandung beberapa kali gara-gara Alfred menyentaknya terlalu kuat ke sisinya. "Kau yakin mereka tak akan melempariku panci?" koar Milena kesal. "Ayolah!" Alfred membuka pintu dan semua pengunjung tiba-tiba terdiam. Mereka mengamati para pendatang baru itu. "Eh? Alfred?" bisik Milena pelan, ia menarik pinggiran baju temannya itu. "Tersenyumlah! Senyum saja!" balasnya pelan, ia tersenyum sangat lebar. Milena ragu akan taktik itu, ia melihat ke sekelilingnya, mereka masih terdiam sambil menatap tajam ke arahnya. Sudut bibirnya membentuk senyuman, alih-alih senyuman, ia tampak seperti menyeringai. Kening para pengunjung kedai itu saling bertaut melihat ekspresi aneh itu. "Ah... hai!" sapa Milena riang, tangan kanannya melambai cepat. Prang! Sebuah cangkir melayang ke arahnya. Untungnya Milena dengan cepat menghindar. "Yeah! Cangkir!" ucap Milena dengan nada sarkastik dari bawah meja. Beberapa cangkir dan piring masih melayang ke arahnya secara bertubi-tubi. "Hentikan! Hentikan semuanya!" dengan sigap Alfred meraih beberapa pecah belah dan mengamankannya di meja satu persatu. Selebihnya melayang, membentur tembok dan pecah. "Kenapa kau membela peri jahat itu?" Teriak Lucinda kecewa, matanya tampak berkaca-kaca. "Kau tahu? Aku kelelahan seharian ini! Cuaca semakin dingin dan kami harus bekerja ekstra keras dengan perut lapar! Kau pikir itu menyenangkan?" berangnya marah. "Benar! Bahkan ada peri yang nyaris tenggelam gara-gara ulah Milena!" Peri yang di sudut ruangan berteriak dengan nada pilu dan tercekat. "Kejam! Biadab!" "Jangan-jangan kau adalah kaki tangannya!" teriak seorang peri dari sudut ruangan. "Bisakah kalian diam sejenak dan hentikan melempar barang-barang milik kedai ini?" lengking Alfred membahana. "Aku tak keberatan! Selama targetnya adalah peri jahat itu!" seorang peri berteriak dari arah dapur. "Ide buruk mengajakku kemari, bukan?" dengus Milena sarkastik, memandang Alfred yang panik. Alfred mendecakkan lidah, dan berjalan ke tengah ruangan. Ia memasang tampang segalak mungkin hingga nyali satu persatu pengunjung di kedai itu ciut. "Kalian tak boleh menilai seseorang secara sepihak seperti ini! Milena belum memberikan tanggapan terhadap kejadian tadi siang! Walau ia terkenal akan pembuat onar dan suka marah-marah, bukan berarti segala hal buruk yang terjadi di desa ini adalah ulahnya! Sebagian dari kalian sudah dewasa, tak bisakah kalian memikirkannya secara rasional? Apa gunanya kalian sebagai orang dewasa di antara kami jika tak bisa menilai dan menimbang sesuatu dengan hati-hati?" Mereka tiba-tiba terdiam. Tak ada yang berani membantah ataupun melayangkan pecah belah lagi ke arah Milena.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD